Merebut Kembali Demokrasi: Refleksi atas Putusan MK Terkait Presidential Threshold

by Mirza Sahputra ◆ Active Writer | Jan 18, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Kebijakan Presidential Threshold (PT) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan salah satu isu paling kontroversial dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. 

Aturan ini mensyaratkan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20% kursi di DPR atau memperoleh setidaknya 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya. 

Kebijakan ini telah menimbulkan perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi, partisipasi politik, dan representasi yang adil.

Sejak diberlakukannya kebijakan Presidential Threshold,
telah terdapat lebih dari 30 pengujian materiil (judicial review) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan berbagai argumen hukum dan politik. 

Putusan MK sebelumnya sebagian besar menyatakan bahwa aturan ini termasuk dalam open legal policy, yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Namun, pengujian yang berulang kali menunjukkan bahwa banyak pihak memandang kebijakan tersebut sebagai ancaman terhadap asas representasi yang adil, keterbukaan politik, dan moralitas demokrasi.

Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar pengujian dilakukan oleh individu dan kelompok masyarakat yang merasa hak konstitusional mereka dirugikan karena terbatasnya alternatif calon presiden. 

Fakta bahwa Mahkamah telah menangani lebih dari 30 perkara serupa memperlihatkan perlunya evaluasi kebijakan yang lebih mendalam dan sistemik. Isu yang terus mencuat berkisar pada eksklusivitas pencalonan, yang dianggap menguntungkan partai besar dan membatasi peran partai baru serta kelompok politik lainnya dalam proses demokrasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 menegaskan kembali bahwa kebijakan Presidential Threshold adalah bagian dari open legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. 

Namun, MK memberikan catatan penting bahwa kebijakan tersebut tidak boleh melanggar moralitas, rasionalitas, dan keadilan. Putusan ini menandai perubahan penting dalam cara publik dan pengambil kebijakan melihat Presidential Threshold. 

  • Pertama moralitas demokrasi yang terkikis: MK menyoroti bahwa aturan Presidential Threshold dapat merusak moralitas demokrasi dengan membatasi jumlah calon yang dapat diusung, sehingga rakyat kehilangan kesempatan memilih dari spektrum kandidat yang lebih luas. 
  • Kedua rasionalitas yang dipertanyakan: Menggunakan hasil pemilu legislatif sebelumnya sebagai dasar untuk menentukan syarat pencalonan presiden dipandang tidak relevan dalam sistem presidensial yang ideal, karena dinamika politik yang berubah dapat menghasilkan kebutuhan yang berbeda. 
  • Ketiga ketidakadilan bagi partai politik kecil: Presidential Threshold mempersempit ruang partisipasi politik, menguntungkan partai besar dan merugikan partai baru atau kecil yang mungkin memiliki dukungan signifikan namun tidak memenuhi syarat administratif.

Argumen yang Mendukung dan Menentang Presidential Threshold

Pendukung kebijakan Presidential Threshold meyakini bahwa ambang batas pencalonan mampu menciptakan stabilitas politik dan memperkuat legitimasi pemerintahan. Argumen mereka didasarkan pada keyakinan bahwa ambang batas pencalonan diperlukan untuk:

  1. Memperkuat Sistem Presidensial: Presidential Threshold membantu mencegah fragmentasi dukungan politik dengan memastikan bahwa hanya pasangan calon yang mendapat dukungan signifikan dari partai-partai besar yang dapat maju. Hal ini diyakini meningkatkan stabilitas pemerintahan karena presiden terpilih cenderung memiliki dukungan legislatif yang kuat. Koalisi yang besar dapat meminimalkan potensi kebuntuan politik dan memperlancar proses pengambilan kebijakan.
  2. Mencegah Fragmentasi Politik: Dengan mengurangi jumlah calon yang bertarung dalam pemilihan, Presidential Threshold diyakini menghindarkan situasi di mana suara pemilih terpecah terlalu banyak, yang dapat menghasilkan pemerintahan minoritas atau presiden dengan legitimasi yang lemah. Kebijakan ini juga diklaim mampu mengurangi risiko munculnya kandidat yang hanya memanfaatkan popularitas tanpa dukungan politik yang memadai.

Di sisi lain ada argument yang berpendapat bahwa Presidential Threshold merusak fondasi demokrasi dan menghambat dinamika politik yang sehat, kritik terhadap kebijakan Presidential Threshold mencakup:

  1. Membatasi Keragaman Pilihan Politik: Dengan menetapkan ambang batas tinggi, Presidential Threshold menutup pintu bagi partai-partai kecil untuk mencalonkan presiden, sehingga mengurangi pluralitas dalam politik. Pemilih terpaksa memilih di antara pilihan terbatas yang didominasi oleh partai besar, mengikis esensi demokrasi yang memberikan kesempatan setara kepada semua pihak untuk berkompetisi secara adil.
  2. Meningkatkan Potensi Oligarki: Presidential Threshold memperkuat cengkeraman partai besar dan mempersempit partisipasi politik dengan menjadikan proses pencalonan presiden sebagai hak istimewa segelintir elit politik. Hal ini menciptakan situasi di mana kekuasaan politik terkonsentrasi di tangan kelompok kecil, memperbesar risiko munculnya praktik oligarki yang bertentangan dengan semangat demokrasi partisipatif.
  3. Inkonstitusionalitas terhadap UUD 1945: Kritik ini menyoroti bahwa Pasal 6A UUD 1945 hanya mengatur bahwa pasangan calon presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa menyebutkan adanya ambang batas pencalonan. Oleh karena itu, aturan Presidential Threshold dianggap melampaui mandat konstitusional dan menciptakan ketidaksesuaian antara kebijakan dengan kerangka hukum dasar negara.

Evaluasi Kebijakan Berdasarkan Putusan MK terkait Presidential Threshold

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 memberikan pijakan penting untuk mengevaluasi kebijakan Presidential Threshold dari tiga sudut pandang: moralitas demokrasi, rasionalitas kebijakan, dan keadilan dalam representasi politik. Evaluasi ini memperdalam pemahaman tentang bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi dinamika demokrasi dan partisipasi politik di Indonesia.

Putusan MK memperjelas bahwa Presidential Threshold harus ditinjau ulang agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi:

  • Moralitas Demokrasi: MK mencatat bahwa eksklusivitas yang dihasilkan oleh Presidential Threshold membatasi hak konstitusional rakyat untuk berpartisipasi secara penuh dalam memilih pemimpin nasional. Moralitas demokrasi menghendaki adanya ruang yang lebih besar untuk kompetisi terbuka, di mana setiap individu atau kelompok yang memiliki aspirasi politik dapat mencalonkan pemimpin tanpa hambatan yang ditentukan secara administratif oleh kuota kursi atau suara sebelumnya. Oleh karena itu, kebijakan yang membatasi kompetisi secara tidak proporsional dapat melemahkan prinsip kedaulatan rakyat. Demokrasi menghendaki akses yang lebih luas dan kompetisi yang adil, bukan konsolidasi kekuatan oleh segelintir elit politik.
  • Rasionalitas Kebijakan: Rasionalitas kebijakan yang dipertanyakan dalam Presidential Threshold terkait dengan penggunaan hasil pemilu legislatif sebelumnya untuk menetapkan ambang batas pencalonan presiden. Ini menciptakan hubungan kausal yang tidak relevan antara preferensi pemilih dalam dua proses politik yang berbeda. Sebuah sistem presidensial seharusnya memperlakukan pemilihan legislatif dan eksekutif sebagai proses independen, memungkinkan semua partai yang berpartisipasi untuk mencalonkan kandidat berdasarkan dukungan aktual, bukan kinerja masa lalu.
  • Keadilan dalam Representasi: Dalam prinsip representasi yang adil, setiap suara memiliki nilai yang setara. Presidential Threshold, dengan menetapkan ambang batas tinggi, mendistorsi keseimbangan ini dengan memberikan keunggulan yang tidak proporsional kepada partai-partai besar. Partai kecil atau baru, yang mungkin memiliki basis dukungan signifikan, tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan kandidat. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam akses politik dan mengabaikan pluralitas ideologi yang seharusnya menjadi ciri demokrasi yang sehat.

Rekomendasi Kebijakan

Adapun rekomendasi kebijakan  yang bisa diambil oleh pemerintah terhadap putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 antara lain:

  • Menghapus atau menurunkan ambang batas: Reformasi pertama yang dapat diimplementasikan adalah menghapus atau menurunkan angka ambang batas pencalonan presiden. Ini dapat diatur melalui revisi undang-undang dengan mengurangi batas minimal kursi DPR menjadi, misalnya, 5% atau suara sah nasional menjadi 10%. Langkah ini memungkinkan lebih banyak partai politik yang dapat berpartisipasi tanpa mengorbankan stabilitas, memberikan ruang yang lebih besar bagi kandidat alternatif untuk bersaing, dan meningkatkan pluralisme dalam pemilu.
  • Menerapkan sistem pencalonan yang lebih terbuka: Mengubah proses pencalonan dengan menciptakan mekanisme yang lebih inklusif dan berbasis suara publik dapat meningkatkan partisipasi. Salah satu pendekatan adalah melalui penerapan pemilihan primer nasional yang mewajibkan partai politik untuk membuka proses seleksi kandidat kepada publik. Ini dapat diatur dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mendorong transparansi dan kompetisi yang lebih sehat dalam internal partai.
  • Memperkuat peran pemilih dalam seleksi kandidat: Memberikan hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi langsung dalam pencalonan presiden melalui petisi publik atau mekanisme konvensi terbuka dapat mendorong keterlibatan/partisipasi masyarakat yang lebih besar.

0
0
Mirza Sahputra ◆ Active Writer

Mirza Sahputra ◆ Active Writer

Author

Pemerhati Hukum dan Analis Kebijakan Ahli Pertama pada Pusat Pelatihan Pengembangan dan Kajian Hukum Administrasi Negara LAN RI). Dapat dihubungi pada email: [email protected]

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post