Bocoran nama calon menteri mulai mewarnai debat politik jelang pelantikan presiden terpilih. Antusiasme masyarakat pada isu ini menunjukkan bahwa line up calon pembantu presiden dianggap mencerminkan keseriusan presiden mengelola negara ini kelak. Dalam suasana seperti ini, seperti biasa, muncullah istilah “Zaken Kabinet”.
Zaken kabinet merupakan konsep susunan menteri yang dipilih atas dasar keahliannya. Menteri yang ahli berarti adalah kaum pakar profesional (expertise). Menteri kesehatan, misalnya harus berasal dari tenaga medis atau aktivis yang sudah malang melintang di bidang kesehatan. Oleh karena itu, zaken kabinet sering juga disebut dengan kabinet ahli.
Sebaliknya lawan zaken kabinet ialah kabinet politik. Berbeda dengan zaken kabinet, kabinet politik merupakan susunan menteri yang diisi oleh kader partai politik (parpol) berdasarkan pertimbangan atau hitung-hitungan politik presiden. Lalu apa yang terbaik bagi presiden terpilih, Joko Widodo, zaken kabinet atau kabinet politik?
Bagi kita yang tidak terlibat langsung dengan politik perebutan kekuasaan, zaken kabinet nampaknya menjadi pilihan terbaik. Namun pendapat ini bisa keliru. Sebab kenyataannya, kaum profesional yang ahli di bidangnya belum tentu mampu bekerja mengelola pemerintahan dengan baik.
Tidak terhitung berapa banyaknya kaum profesional di kementerian/lembaga atau manajer-manajer ternama di BUMN yang tersangkut masalah korupsi dan kolusi. Jadi, kekaguman kita terhadap kaum profesional bukan karena pengalaman empirik, tetapi karena pengaruh pemikiran modern.
Antara Pakar dan Politisi
Peradaban modern ditandai oleh dua kondisi. Pertama, ditemukannya metode ilmiah yang mengusung semangat objektivitas. Argumennya, dunia akan maju apabila direkayasa oleh pemikiran objektif yang bersih dari nafsu dan kepentingan.
Politik adalah dunia yang sarat dengan kepentingan dan nafsu kekuasaan. Maka untuk mencari pandangan dunia yang objektif, politik harus menyingkir. Kita sebagai anak kandung modernitas terpapar oleh gagasan ini.
Kedua, modernitas melahirkan nomenklatur manusia baru yang disebut dengan pakar. Seiring dengan berkembangnya metode ilmiah, muncul berbagai ilmu pengetahuan seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Muncullah suatu gagasan bahwa kaum sarjana sebaiknya mempelajari dan mendalami satu disiplin ilmu. Orang yang mendalami ilmu tertentu ini disebut dengan pakar.
Masalahnya dunia dan segala persoalannya, atau disebut dengan realitas, tidak terkotak-kotak sebagaimana dibayangkan pakar modern. Apel yang jatuh bukan hanya karena gaya gravitasi bumi, tetapi juga karena volume apel, angin yang menggoyangkan pohon, bahkan karena ada mata sehat yang memandang.
Masalah kesehatan mata juga bukan hanya perkara genetik namun juga melibatkan distribusi sumber daya makanan, pendapatan per kapita, distribusi kekuasaan dan sebagainya. Semua itu, fisika, geografi, biologi, ekonomi, politik, hadir dalam suatu apel yang jatuh.
Seorang pakar tidak didesain untuk memahami itu semua. Ia cukup berdiri pada satu perspektif sesuai minat, pengetahuan dan pengalamannya. Artinya, pakar memiliki pengetahuan yang sangat spesifik, alih-alih mengetahui segalanya. Keterbatasan itu menyulitkan pakar untuk mengintervensi realitas.
Penelitian yang dilakukan oleh Tania Murray Li (2012) menunjukkan bahwa banyaknya pakar yang terbentang sejak zaman kolonial hingga sekarang telah gagal menyelesaikan persoalan kemasyarakatan di Sulawesi Tengah. Pendapat Bertrand Russel pantas dicuplik di sini, “bahkan ketika semua pakar sepakat, mereka masih mungkin salah”.
Dengan keterbatasan yang dimiliki para ahli atau pakar, apakah pilihan harus jatuh pada politisi parpol? Harus diakui, keunggulan politisi adalah luasnya jaringan politik dan kemampuan berkomunikasi. Menteri berlatar belakang politik akan lebih mudah bernegosiasi dengan DPR, misalnya, untuk membahas suatu rancangan undang-undang atau undang-undang tertentu.
Namun menteri berlatar belakang parpol punya dua masalah besar. Pertama, parpol tidak memiliki mekanisme pengusulan kader berdasarkan kapasitas dan kapabilitas. Sehingga jabatan menteri apapun yang ditawarkan oleh presiden, parpol hanya akan mengusulkan beberapa nama kader pucuk pimpinan partai.
Presiden juga tidak bisa mengkhususkan jabatan menteri tertentu untuk partai tertentu karena hampir semua partai di republik ini memiliki karakteristik ideologi yang sama.
Kedua, menteri yang berasal dari parpol potensial terlibat konflik kepentingan. Memang benar, tidak ada manusia tanpa kepentingan. Menteri juga harus punya kepentingan menyejahterakan rakyat.
Persoalannya, kondisi politik hari ini ditandai dengan “pergulatan antarmereka (partai politik) yang tertuju pada upaya dominasi lebih lanjut terhadap lembaga negara yang mencakup sumber daya” (Hadiz, 2005).
Artinya, setelah berebut suara pada pemilu, partai politik akan berebut posisi di kementerian demi mendapatkan kontrol atas sumber daya politik dan ekonomi. Argumen ini dapat menjelaskan mengapa ada menteri berlatar belakang parpol yang terlibat kasus-kasus rasuah.
Kalau ahli dan politisi punya kelemahan di dalam dirinya, apakah presiden tetap harus memilih salah satu? Atau adakah jalur alternatif yang dapat dipilih oleh presiden tanpa harus mengorbankan satu sama lain?
Skenario antisipatif
Pada sistem presidensial seperti yang kita anut, presiden memang memiliki kewenangan penuh memilih menteri dalam kabinetnya. Namun di ruang politik yang multipartai ini, suka atau tidak, pilihan presiden menjadi terbatasi. Apalagi jika presiden tidak memenangi pemilu dengan angka yang mutlak dan partai yang mengusung presiden tidak bisa mendominasi DPR.
Oleh karena itu, daripada menyarankan kepada presiden untuk menegakkan presidensialisme dengan cara memilih menteri sesuai kehendak hatinya, lebih baik berupaya menyeimbangkan kebutuhan teknis sambil menghormati dinamika multi partai politik di negeri ini.
Ada dua upaya strategis bagi presiden untuk mencapai win win solution. Pertama, presiden harus memastikan bahwa pejabat di kementerian yang notabene merupakan aparat sipil negara (ASN) ialah orang-orang yang berintegritas dan mampu menerjemahkan visi presiden. Jadi siapapun menterinya, apapun latar belakangnya, akan sulit mengobok-obok sumber daya di kementerian.
Struktur birokrasi dan budaya birokrasi yang baik dapat mengerem badai korupsi yang selalu potensial terjadi, apalagi dalam budaya politik Indonesia sekarang. Hal ini tentu pekerjaan rumah besar bagi presiden sebab politisasi birokrasi masih kental terasa.
Untuk menguatkan struktur birokrasi, presiden dapat menyusun talent pool pejabat-pejabat ASN yang memiliki rekam jejak baik dan menempatkannya di kementerian-kementerian yang sesuai dengan kompetensinya.
Selain itu, presiden juga dapat menyediakan lembaga bantuan hukum dan sistem saluran komunikasi langsung dengan ASN yang merasa dirugikan oleh perubahan angin politik pucuk pimpinan kementerian.
Maklum, di hadapan pejabat setingkat menteri, ASN selalu berada pada posisi subordinat. Birokrasi yang baik dapat menambal kekurangan-kekurangan yang inheren dalam sosok menteri, baik yang berasal dari profesional atau politisi.
Kedua, Presiden sebaiknya memilih sendiri kader-kader partai yang hendak dipilih sebagai pembantunya. Selama ini, partai-partai lah yang mengusulkan nama kader kepada presiden untuk mengisi kursi menteri.
Kader yang diusulkan ini biasanya adalah pimpinan (ter)tinggi partai. Mekanisme ini menyimpan kelemahan besar, yaitu kader itu tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan harapan oleh presiden.
Belum lama ini, Presiden Jokowi sendiri yang mengatakan bahwa parpol juga banyak memiliki kader yang profesional. Oleh karena itu, presiden sendirilah yang harus mencari, menyaring dan memilih nama-namanya. Dengan cara inilah kebutuhan teknis dan pertimbangan politis dapat didamaikan.
Peneliti di Sekretariat Jenderal DPD RI. Sedang merintis program “Lets Read Great Again” bersama beberapa aktivis literasi. Pernah menulis buku berjudul Mental Kolonial (2017). Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog pribadi zamzammuhammadfuad.blogspot.com dan birokratmenulis.org.
0 Comments