Menyoal Utang Luar Negeri: Negara Sedang Kritis atau Baik-Baik Saja?

by Arief Maulana ◆ Active Writer | Jan 21, 2019 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Pembangunan ekonomi merupakan proses yang harus dilakukan oleh suatu negara untuk memenuhi taraf hidup sosial yang sejahtera di negaranya. Namun, tidak semua negara bisa dengan mudah mewujudkan hal tersebut. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar, tetapi di sisi lain usaha pengerahan dana untuk membiayai pembangunan tersebut mengalami berbagai kendala.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang menggunakan pinjaman luar negeri untuk mendukung pembangunan ekonomi. Utang luar negeri dalam jangka pendek sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutupi kondisi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Sedangkan utang luar negeri dalam jangka panjang sangat merugikan Indonesia karena dapat menimbulkan beban utang luar negeri berupa cicilan pokok dan bunga pinjaman yang bertambah besar dari tahun ke tahun.

Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, Belanda, adalah Indonesia harus membayar semua utang-utang luar negeri Hindia Belanda sebagai salah satu syarat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda. Akibatnya, terhitung sejak tahun 1950 Indonesia memiliki utang warisan Hindia Belanda sebesar US$43 miliar sebagai harga mahal dari sebuah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Saat itu, Presiden Soekarno menyadari bahwa Indonesia memerlukan sumber pembiayaan alternatif. Salah satunya adalah utang luar negeri yang akan digunakan untuk membangun perekonomian Indonesia yang masih terpuruk akibat kolonialisme yang panjang. Meski Soekarno pernah menyatakan “go to hell with your aid” terhadap Amerika Serikat yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik, Soekarno bukan anti utang.

Tercatat  jumlah utang pada akhir pemerintahan Soekarno sebesar Rp3,8 miliar untuk memenuhi pembangunan perekonomian Indonesia dan mewujudkan politik luar negerinya. Namun, pemerintahan Soekarno-Hatta sangat waspada dan menerapkan aturan ketat terhadap setiap perundingan peminjaman utang luar negeri. Hatta, misalnya, menetapkan syarat-syarat berupa negara pengutang tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia, bunga tidak boleh lebih dari 3% – 3,5% per tahun, dan jangka waktu pembayaran utang yang lama.

Pada rezim Soeharto, utang Indonesia semakin menumpuk. Kesalahan pengelolaan utang luar negeri menjadi penyebab utama Indonesia jatuh dalam krisis moneter 1997. Pasca reformasi hingga sekarang, utang Indonesia pun tidak berkurang, malah semakin meningkat. Bank Indonesia mencatat utang luar negeri Indonesia pada tahun ini sebesar US$ 323 miliar (Rp4.199 triliun), utang pemerintah US$159,7 miliar, dan utang swasta sebesar US$163,3 miliar.

Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia menarik utang baru sebesar Rp492,8 triliun. Lalu, tahun 2015 naik menjadi Rp607,2 triliun. Di saat bersamaan, pembayaran bunga utang terus meningkat. Pada tahun 2015, misalnya, beban bunga hutang Rp156 triliun, dan tahun 2016 pembayaran beban utang menjadi Rp189 triliun (Kompas, 29 Oktober 2016).

Sungguh hal yang luar biasa, tetapi sudah dianggap biasa. Meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan jika kemampuan pemerintah menjaga rasio utang terhadap PDB (Pendapatan Domestik Bruto) masih sehat, tetapi tak salah jika pemerintah harus hati-hati. Tujuannya agar pengalaman di masa lalu (krisis moneter 1997-1998) jangan sampai lagi terulang. Jadi utang kita yang menumpuk (Rp4.199 triliun) yang ada saat ini bukan kesalahan mutlak rezim saat ini, tetapi merupakan tumpukan-tumpukan utang yang telah dilakukan sejak rezim-rezim sebelumnya.

 

Sumber : Statistik Bank Indonesia (2017)

Kondisi Utang Luar Negeri Saat Ini

Jumlah utang luar negeri Indonesia pada awal November 2017 bertambah US$5,5 miliar menjadi US$347,29 miliar, atau setara Rp4.618,9 triliun, dengan kurs Rp 13.300 per dolar Amerika Serikat. Jumlah tersebut terdiri atas utang pemerintah senilai US$176,63 miliar atau Rp2.349,2 triliun dan utang swasta US$170,65 miliar atau Rp2.269,7 triliun. Rasio utang jangka pendek pemerintah berdasarkan jangka waktu asal terhadap total utang sebesar 13,86%. Sementara rasio utang jangka pendek berdasarkan jangka waktu asal terhadap cadangan devisa mencapai 36,93%. Sedangkan, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 32%.

Berdasarkan data Bank Dunia (2017), rasio utang Indonesia masih lebih rendah dibanding negara besar lainnya seperti Jepang sebesar 74% terhadap PDB, Jerman (147%), dan Amerika Serikat (109%).

Walaupun rasio utang luar negeri Indonesia mencapai 34% terhadap PDB, tetapi yang harus diperhatikan adalah penggunaan utang tersebut haruslah tepat sasaran, yakni pembangunan yang dapat memacu daya ungkit pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perhitungannya harus cermat agar tidak menjadi bom waktu di masa yang akan datang. Sebagai informasi, PDB Indonesia akhir tahun 2017 sebesar Rp13.589 triliun setara US$1 triliun.

Belajar dari Sejarah

Harus diakui, walaupun saat ini Indonesia masuk ke dalam One Trilliun Dollars Club (sebutan untuk negara-negara yang PDB-nya mencapai USD1 triliun per tahun), tetapi kita masih sangat tergantung pada utang luar negeri.

Sebagian dari utang yang kita peroleh kita bayarkan untuk membayar bunga utang, seperti sebuah lirik lagu pepatah gali lobang, pinjam uang bayar utang. Sebagian utang digunakan untuk membiayai pembangunan berbagai sektor di Indonesia, seperti kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, yang mengungkapkan bahwa pembangunan sejumlah sektor di Indonesia masih bergantung pada bantuan modal utang luar negeri (Tempo, 24 Oktober 2016).

Kemudian, apa yang bisa kita lakukan agar tidak kecanduan ngutang? Yang pertama kita lakukan adalah intropeksi diri. Belajar dari sejarah, setidaknya ada  hal yang menyebabkan utang luar negeri kita menumpuk dan menjadi beban bagi perekonomian Indonesia.

Pertama, kesalahan pengelolaan. Krisis moneter 1997 adalah bukti salah pengelolaan yang pernah dilakukan oleh elit negeri ini, terutama pada rezim orde baru yang melakukan pinjaman uang tanpa memperdulikan kemampuan untuk membayar utang dalam jangka panjang. Kedua, korupsi. Tidak bisa disangkal lagi, masalah utang yang mengemuka seiring dengan krisis ekonomi Indonesia berakar dari maraknya korupsi dan praktik nepotisme sepanjang kekuasaan rezim Orde Baru di bawah Soeharto.

Ketiga, bunga yang terlalu tinggi. Bila pada pemerintahan Soekarno-Hatta mensyaratkan bunga tidak lebih dari 3,5%, sejak rezim Soeharto hingga sekarang, pemerintah terlalu lunak untuk menerima bantuan utang luar negeri dengan pinjaman yang tinggi. Bila dilihat dari beban bunga yang harus dibayar tahun ini (Rp189 triliun) dibanding dengan jumlah total utang (Rp4.199 triliun) bunga yang harus dibayar kurang lebih 4,5%. Jumlah tersebut cukup besar.

Keempat, adanya agenda-agenda terselubung. Biasanya banyak agenda terselubung dari utang yang diberikan kreditur kepada pemerintah kita, yang kadang kerap merugikan negara. Salah satunya adalah ketika kita terpaksa menerima bantuan IMF dengan LOI (Letter of  Intent) sebagai persyaratan yang dianggap dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis moneter.

Belajar dari Kejatuhan Yunani

Salah satu contoh teranyar yang sangat bermanfaat bagi Indonesia adalah krisis Yunani. Kasus Yunani mengingatkan kita tentang bagaimana beban utang yang tidak dikelola dengan benar akan menjadi sumber kejatuhan sebuah negara. Masalah ini memang terkait juga dengan politik dan pengelolaan kinerja pemerintahan. Indonesia telah mengalami hal serupa terkait krisis keuangan pada tahun 1997 dan diingatkan bahwa masalah serupa tampaknya belum sepenuhnya bisa dibersihkan. Belakangan ini, bahkan menunjukkan ada kecenderungan meningkat, terutama dengan menurunnya nilai rupiah hingga posisi tertinggi sebelum krisis itu.

Namun demikian, kita juga harus melihat bahwa kegagalan pengelolaan utang sebuah negara akan merusak aspek kehidupan secara luas. Hal itu umumnya dipicu oleh kejatuhan ekonomi atau kegagalan mengelola politik. Hiruk-pikuk politik di Indonesia dan situasi rupiah bisa menjadi gabungan faktor yang mengarah pada situasi yang berat. Dalam dekade kedua abad ke-21 ini kita menyaksikan banyak negara jatuh dan gagal karena dipicu oleh politik yang kacau, seperti di Afrika dan Timur Tengah, termasuk kejatuhan ekonomi di Yunani. Hal ini harus menjadi pelajaran penting bagi Indonesia.

Epilog

Penggunaan utang luar negeri sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan selama digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif. Jika berhasil, output perekonomian akan meningkat dan pertumbuhan ekonomi akan naik.

Namun, utang luar negeri juga bisa menjadi bumerang bagi republik ini. Alih-alih digunakan untuk sektor-sektor yang produktif, penggunaan utang luar negeri yang tidak tepat sasaran akan mengakibatkan permasalahan serius di kemudian hari.

Oleh karena itu, justifikasi terhadap penggunaan utang luar negeri yang semakin bertambah tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi di atas. Jika tidak, yang terjadi adalah debt trap yang tidak berkesudahan dimana negara pengutang kesulitan membayar bunga dan pokok cicilan. Pemerintah harus tegas dan bertekad untuk mengakhiri kecanduan terhadap utang luar negeri. Semoga!

 

 

4
0
Arief Maulana ◆ Active Writer

Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Arief Maulana ◆ Active Writer

Arief Maulana ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah Peneliti di Pusat Kajian Daerah dan Anggaran, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post