Sosialisasi dan campaign anti korupsi adalah hal yang sering digaungkan oleh semua instansi pemerintahan melalui berbagai program atau gimmick of value, tidak terkecuali Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Kemenkeu dianggap sebagai instansi paling bersih di Indonesia dengan jargon utamanya yang bertajuk “Integritas” di samping keempat nilai lainnya.
Track record reformasi birokrasi yang dilakukan Kemenkeu menunjukkan pembenahan dan perbaikan besar-besaran yang dilakukan sejak sekitar 17 tahun lalu, termasuk anti korupsi yang menjadi salah satu fokus utama.
Fokus pemberantasan korupsi Kemenkeu didasarkan pada peningkatan transparansi serta akuntabilitas pengelolaan keuangan negara melalui tiga pilar pada periode I reformasi birokrasi (2002-2006):
- pilar penataan organisasi & kelembagaan,
- penataan proses bisnis, dan
- peningkatan disiplin & manajemen SDM.
Integrasi sistem pengendalian internal juga semakin diperkuat dengan prinsip dasar zero tolerance terhadap korupsi dan gratifikasi.
Program Anti Korupsi Kemenkeu yang digagas oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) terdiri dari lima langkah yaitu pemetaan, audit sistem atau kinerja, pencegahan, pengawasan, dan penindakan.
Gambaran kompleks tersebut menunjukkan betapa seriusnya Kemenkeu dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Tak Ada Gading yang Tak Retak
Meskipun demikian, tidak ada gading yang tidak retak. Ada satu hal yang jarang atau mungkin tidak pernah disorot, yang bisa menjadi area abu-abu. Potensi itu terletak pada besarnya wewenang Kemenkeu dalam mengelola uang negara pada konteks birokrasi.
Kemenkeu adalah lembaga pemerintahan yang berwenang meregulasi setidaknya tiga hal besar: penerimaan, penganggaran, dan penggajian.
Ketiga hal strategis tersebut direpresentasikan oleh beberapa eselon I seperti DJP, DJBC, DJA, dan DJPb. Dari sini muncul potensi “kebebasan penuh” dalam pengelolaan uang negara.
Otoritas yang besar tersebut di satu sisi memberikan sentralisasi pengelolaan keuangan negara yang lebih bersih, disiplin, dan teratur dari sudut pandang eksternal K/L.
Akan tetapi di sisi lain mengakibatkan minimnya checks and balance terhadap pengelolaan keuangan negara di internal Kemenkeu. Such a big power gives them such a big freedom.
Kultur Privat Internal vs Cost Center
Dari sisi penganggaran, segala pengajuan program dan kebutuhan dana yang diajukan oleh instansi di Kemenkeu besar kemungkinan untuk mendapatkan approval lebih mudah dari DJA (sesama Kemenkeu).
Hal ini jelas sangat sulit dilakukan instansi lainnya. Perdebatan panas dan adu argumen menjadi pengalaman rutin bagian perencanaan dan penganggaran instansi pemerintahan setiap berhadapan dengan DJA.
Kemudian, dari sisi penerimaan negara, ini yang menjadi bahan kritikan umum. Otoritas yang begitu besar dari DJP dan DJBC dalam mengumpulkan penerimaan negara, dikatalis oleh fakta bahwa pendapatan negara mayoritas berasal dari pajak dan bea cukai, melahirkan semacam kultur privat di internal mereka bahwa setiap pencapaian atau realisasi penerimaan harus diikuti dengan pemberian insentif bagi para ASN.
Padahal, monthly take home pay mereka saja sudah terhitung “sultan”. Ibarat pihak sales perusahaan yang menerima komisi atau insentif saat mencapai target penjualan, DJP dan DJBC juga seperti itu saat penerimaan pajak atau bea cukai tercapai.
Hal ini mustahil dilakukan oleh instansi lain karena mereka saja dianggap cost center semata oleh Kemenkeu. IKU atau performance target mereka bukanlah berupa angka keuangan yang harus dicapai, tetapi sering berupa program-based.
Tidak ada alasan bagi Kemenkeu untuk menerapkan sistem pemberian insentif ala swasta bagi instansi di luar Kemenkeu. Otoritas penggajian dan pemberian penghasilan juga menjadi problematik karena berpusat di Kementerian Keuangan.
Kemensultan: Tahta Tertinggi Penghasilan ASN
Kementerian Keuangan adalah tahta tertinggi patokan penghasilan ASN, walau sebenarnya ada segelintir instansi yang lebih tinggi.
Sangat sulit sekali bagi instansi luar Kemenkeu untuk memperoleh kenaikan penghasilan atau peningkatan tunjangan kinerja karena approval sebagian besar berada di Kemenkeu.
Walaupun instansi sudah mencukupi secara persyaratan maupun scoring reformasi birokrasi, jika Kemenkeu mengatakan tidak anggaran mencukupi, maka perjuangan selesai dan harus diulang di tahun berikutnya. Ini menjadi standar ganda dalam konteks dapur mereka sendiri. Tetapi di sisi lain, ada semacam mekanisme untuk “menambah penghasilan” pegawai di internal Kementerian Keuangan melalui efisiensi anggaran.
Penghematan anggaran, misalnya di akun 52, bisa dianggap sebagai sebuah pencapaian. Efisiensi tersebut diajukan untuk direalokasi ke dalam akun 51 atau akun lain.
Pada akhirnya “penghematan” ini bisa dikonversi menjadi semacam tunjangan kinerja tahunan yang diberikan kepada pegawai. Kembali lagi, approval tetap berada di DJA yang mana itu adalah bagian dari mereka.
Satu hal yang melegitimasi otoritas Kemenkeu yang begitu bebas tersebut adalah adanya aturan-aturan yang seolah bisa menormalisasi itu, seperti Perdirjen atau Keputusan Menteri Keuangan (KMK).
Produk hukum internal ini sulit dilacak transparansinya dan sangat powerful untuk mengatur segala kebutuhan internal Kemenkeu akan anggaran.
Kesewenang-wenangan: Sebuah Refleksi Penutup
Insentif cukai, Imbalan Prestasi Kinerja, insentif BLU, TKPKN, tukin tahunan, atau apapun sebutannya bisa dilegalkan dengan ketentuan internal seperti KMK atau Perdirjen saja.
Walau tidak selalu realized dan besarannya tidak pasti, ini tetap menunjukkan bahwa Kemenkeu sangat powerful untuk menjamin kebutuhan akan anggaran dan kesejahteraan dapurnya.
Uang adalah sumber daya yang sangat panas di dalam birokrasi. Bukankah otoritas penuh atas pengelolaan uang juga berpotensi mengarah ke kesewenang-wenangan abu-abu?
Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely. Absolute power to control money corrupts that money absolutely.
Seorang ASN Kementerian BUMN yang sedang kembali ke Kampus PKN STAN
0 Comments