Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dibentuk untuk menegakkan peraturan daerah (perda), menyelenggarakan ketenteraman, ketertiban umum (trantibum), dan perlindungan masyarakat (linmas).
Sayangnya, penyelenggaraan trantibum dan linmas di level provinsi terkendala dengan ketiadaan perda trantibum dan linmas. Hal ini berbeda dengan level pemerintah kabupaten/kota yang hampir semuanya memiliki perda trantibum dan linmas. Bahkan, beberapa kabupaten/kota juga memiliki perda ketertiban, kebersihan, dan keindahan (K3).
Tulisan berikut hendak mengupas kendala yang dihadapi oleh pemerintah provinsi (pemprov) di Indonesia dalam penyelenggaraan trantibum dan linmas, dari sisi penetapan aturan dan implementasi.
Ketiadaan Perda dan Dampaknya
Kesulitan yang dialami pemerintah provinsi dalam menyusun perda trantibum dan linmas disebabkan oleh persoalan terkait kewenangan provinsi. Pemprov memiliki kewenangan yang sifatnya lintas daerah kabupaten/kota (pasal 13 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Hal itu menjadikan beberapa pemrov gamang dalam menyusun perda tersebut dan seolah kehabisan ide. Substansi apakah yang perlu diatur?
Ketiadaan perda penyelenggaraan trantibum dan linmas ini mengakibatkan kurangnya kepedulian pemerintah daerah terhadap urusan trantibum dan linmas. Permasalahan yang juga dapat timbul dengan ketiadaan perda tersebut adalah tidak adanya acuan, pedoman, dan standar yang jelas dalam bekerja di level provinsi dan kabupaten/kota. Alhasil, pelaksanaan pekerjaan sulit diukur keberhasilannya. Akibat lainnya adalah lemahnya ikatan koordinasi dan fungsional antar Satpol PP di semua tingkatan.
Pokok-Pokok Pikiran Perda, Belajar dari Banten
Terlepas dari kesulitan yang dialami oleh pemprov lainnya dalam menyusun perda, Pemprov Banten telah menjadi provinsi pertama yang menerbitkan perda trantibum berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014.
Hal itu ditandai dengan pengundangan Perda Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat.
Sebagai sebuah perda payung, perda trantibum dan linmas membingkai perda-perda yang sudah ada, khususnya aspek trantibum dan penegakan peraturan daerah.
Perda Pemprov Banten Nomor 3/2016 menjabarkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam UU 23/2014 dan undang-undang lainnya ke dalam pasal demi pasal. Paragraf berikut menjelaskan beberapa pokok pikiran dalam perda tersebut yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi provinsi lain dalam menyusun perda.
Pertama, pengaturan tentang tertib sektor ekologis. Sebagai sebuah urusan konkuren, provinsi juga berkewajiban untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan sektor ekologis. Yang dimaksud sektor ekologis adalah sektor yang berkaitan dengan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral (pasal 14 UU 23/2014).
Sektor tersebut penting karena penyelenggaraan sebuah urusan tentu saja memerlukan situasi dan kondisi yang kondusif termasuk urusan ekologis. Pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dapat memenuhi hajat beraktivitas dengan lancar. Di sinilah Satpol PP memiliki peran dalam memberikan dukungan dengan menciptakan tertib sektor ekologis.
Kedua, pengaturan tertib kawasan strategis provinsi. Kawasan strategis provinsi dapat kita temukan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
Salah satu kawasan strategis Provinsi Banten adalah Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Seluruh KP3B masuk ke dalam wilayah Kecamatan Curug Kota Serang.
Sebagai sebuah kawasan, potensi gangguan trantibum sangat mungkin muncul. Dalam hal ini Satpol PP Provinsi Banten bertanggung jawab terhadap terciptanya suasana yang kondusif atas KP3B.
Sayangnya, perda yang disusun oleh Pemprov Banten tidak mencakup kebijakan pengelolaan trantibum KP3B. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan dalam perda yang akan ditindaklanjuti dengan peraturan gubernur (pergub).
Ketiga, penegakan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah (perda dan perkada). Problema penegakan perda dan perkada adalah adanya tarik-menarik kewenangan antar perangkat daerah.
Sesuai dengan tujuannya, penegakan perda dan perkada diklasifikasikan ke dalam tiga hal, yaitu peningkatan kesadaran, peningkatan ketaatan, dan penerapan sanksi.
Peningkatan kesadaran dan peningkatan ketaatan dapat dilakukan oleh organisasi perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya. Penerapan sanksi dilaksanakan apabila peningkatan kesadaran dan peningkatan ketaatan tidak diindahkan. Penerapan sanksi didahului dengan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Untuk mewujudkan daya guna dan hasil guna dibentuk Sekretariat PPNS yang berkedudukan di Satpol PP.
Keempat, pendanaan. Pendanaan merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kinerja Satpol PP. Perda ini menggariskan bahwa pendanaan penyelenggaraan trantibum dan linmas wajib dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi, yang dialokasikan paling sedikit nol koma enam (0,6) persen atau sesuai kemampuan keuangan daerah dari APBD. Satpol PP harus menyiapkan program dan kegiatan yang menyentuh dan bermanfaat bagi masyarakat agar alokasi minimal 0,6% bermakna.
Kelima, tunjangan khusus. Perda juga mengamanatkan supaya disusun peraturan gubernur yang mengatur tentang tunjangan khusus bagi polisi pamong praja sebagai tindak lanjut Pasal 21(3) Perda 3 Tahun 2016 jo Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
Menjadi polisi pamong praja, meminjam istilah Fogelson, akan menghadapi “kompleks paria.” Paria adalah kasta terendah dalam ajaran agama Hindu. Pengalaman bekerja menghadapi hal-hal “kotor” telah memisahkan polisi pamong praja dari masyarakat.
Di samping adanya larangan untuk berbagi pengalaman yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan dengan masyarakat, juga demi untuk bertahan secara psikologis (psychological survival), polisi pamong praja harus menekan dan menjadikan dirinya kebal terhadap penderitaan. Dengan demikian, amatlah wajar apabila polisi pamong praja mendapatkan kompensasi berupa tunjangan khusus.
Keenam, peran serta masyarakat. Provinsi Banten terdiri dari 8 kabupaten/kota serta dihuni oleh sekitar 11 juta penduduk. Aspek demografi ini membuat permasalahan trantibum dan linmas menjadi semakin kompleks.
Pemekaran wilayah yang diiringi dengan perkembangan kota serta dinamika perpindahan penduduk menuntut pelayanan trantibum dan linmas yang lebih cepat, lebih murah dan lebih baik. Namun, rasio jumlah polisi pamong praja terhadap penduduk belum seimbang.
Selain itu, masalah trantibum bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Oleh karenanya, masyarakat didorong berperan aktif dalam penyelenggaraan trantibum dan linmas. Peran aktif masyarakat diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan tokoh masyarakat, kearifan lokal, dan hukum adat.
Sebagai contoh di kawasan Baduy, Satpol PP tidak terlalu repot membina trantibum dan linmas di sana. Sistem hukum adat dan kearifan lokal setempat sangat mendukung terjaganya suasana yang kondusif.
Enam pokok pikiran di atas merupakan hal penting yang harus ada dalam perda trantibum dan linmas. Namun, sebagus apapun regulasi sangat tergantung bagaimana implementasinya.
Untuk itu, tindak lanjut dalam peraturan gubernur (pergub) yang rinci sangat diperlukan. Yang tidak kalah penting adalah penyiapan sumber daya aparatur polisi pamong praja juga mendesak dilakukan, dalam hal ini the man behind the gun. Profesionalisme polisi pamong praja adalah sebuah tantangan mendesak untuk diwujudkan.
Kendala Implementasi Perda
Perda 3 Tahun 2016 mengamanatkan juga untuk segera diterbitkan 6 pergub sebagai tindak lanjutnya. Pergub yang harus diterbitkan tersebut akan mengatur penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum kawasan strategis provinsi dan sektor ekologis, Standar Operasional Satpol PP, penyelenggaraan satuan linmas, peran serta masyarakat, tunjangan khusus, dan sekretariat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Keenam pergub sangat diperlukan sebagai penjabaran dan pendukung implementasi Perda. Namun, sudah dua tahun sejak diundangkan belum satu pun pergub yang berhasil diterbitkan.
Menurut saya, hal itu disebabkan oleh kurangnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berkualifikasi legal drafter di Satpol PP. Tenaga dan pikiran anggota Satpol PP secara umum tersita dengan tugas rutin pengaturan, penjagaan dan patroli (turjawali), pengawasan serta operasi, sehingga belum bisa fokus untuk menggarap pergub.
Koordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait mesti ditingkatkan karena substansi perda trantibum dan linmas beririsan dengan tugas pokok dan fungsi OPD lain.
Sebagai contoh, perwujudan tertib sektor ekologis mengharuskan Satpol PP berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dalam koordinasi yang dilakukan, perlu adanya penegasan item mana yang dikerjakan dinas teknis, item mana yang ditertibkan Satpol PP, serta item mana yang ditegakkan PPNS dari dinas teknis. Hal tersebut tentunya memerlukan pembahasan yang mendalam dan paripurna.
Pencantuman pasal yang mengatur alokasi minimal 0,6% dari APBD untuk penyelenggaraan trantibum dan linmas baru sekedar angin surga. Realisasi anggaran satpol PP masih jauh dibawah 0,6% dari APBD. Faktor penyebabnya ada dua hal yakni:
Pertama, penormaan yang belum menjamin kepastian hukum dari pasal tersebut. Mari kita cermati bunyi lengkap pasal yang mengatur hal tersebut, terdapat penambahan frasa “atau sesuai kemampuan keuangan daerah”.
Walaupun pada waktu pembahasan dimaksudkan untuk memberikan ruang dialog dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), hal itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Ditambah lagi, perda juga tidak mengatur tentang sanksi bila pemerintah daerah tidak memenuhi pasal tersebut.
Kedua, kepala Satpol PP mempunyai pekerjaan rumah untuk meyakinkan gubernur bahwa Satpol PP penting dan urgen. Cetak biru Satpol PP yang komprehensif perlu disampaikan dan diketahui kepada beliau.
Dengan demikian, sepanjang realistis dan sesuai dengan visi dan misi gubernur, berapa pun anggaran yang diusulkannya, maka gubernur akan dipenuhi. Kepala Satpol PP mestinya diisi dengan ASN pilihan, dan bukan sebagai “tempat parkir pejabat”. Terlebih lagi dengan penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satpol PP yang mengharuskan seorang Kepala Satpol PP memiliki kualifikasi PPNS.
Pergub tunjangan khusus Satpol PP sepertinya juga sulit diwujudkan. Dasar hukum tunjangan khusus, yakni PP 6 Tahun 2010 tentang Satpol PP yang mengatur tentang tunjangan khusus (pasal 7 ayat 2), telah dicabut dan diganti dengan PP 16 Tahun 2018. PP terbaru tidak mengatur tunjangan khusus yang sejiwa dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menganut single salary. Namun demikian, kesejahteraan Satpol PP tidak boleh diabaikan disebabkan adanya faktor risiko yang besar dalam pelaksanaan tugas.
Epilog
Keamanan dan ketertiban tentu saja diperlukan bagi masyarakat di setiap daerah. Untuk itu, sudah selayaknya jika provinsi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di wilayahnya memiliki peraturan daerah yang dapat memayungi aturan dan kebijakan daerah di bawahnya.
Adapun tantangan dan kendala yang dihadapi oleh provinsi di Indonesia dalam hal penyusunan perda dan implementasinya perlu dihadapi dan diantisipasi dengan baik.***
(Artikel ini adalah reproduksi dengan beberapa tambahan dari artikel dengan judul Kado Manis HUT Satpol PP yang pernah dimuat di Harian Kabar Banten, Rubrik Opini Halaman 8, tanggal 6 Maret 2017).
Penulis adalah alumni STPDN tahun 1995, Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta tahun 2000, dan S2 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa tahun 2015. Saat ini Penulis menjabat sebagai Sekretaris Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Banten.
0 Comments