Topik intoleransi dan radikalisme di lingkungan pendidikan, belakangan ramai diperbincangkan media. Hasil survei, kajian, maupun artikel opini yang diproduksi dengan mengutip data hasil penelitian tentang intoleransi dan radikalisme, menjadi bahan publikasi yang menarik untuk disebarluaskan. Beragam argumen seolah menyepakati bahwa guru merupakan pihak yang dinilai bertanggung jawab atas bertumbuhnya sikap intoleransi dan radikalisme di lingkungan pendidikan. Tulisan ini mencoba membedah apa yang sesungguhnya terjadi di dunia pendidikan terkait dengan isu radikalsime, utamanya mengenai peran guru.
Pemberitaan Tak Berimbang
Dirga Maulana dalam opini “Guru di Pusaran Intoleransi” misalnya, menyatakan bahwa guru Indonesia berada di tengah pusaran intoleransi dan menihilkan keberagaman, yang sejatinya merupakan fondasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara (Tempo, 6/11/2018).
Tidak hanya itu, dalam opini “Guru dan Hasrat pada Syariat”, guru-guru Pendidikan Agama Islam dinilai memiliki pandangan yang cenderung radikal dan eksklusif (Media Indonesia, 31/12/2018) .
Sebagian hasil penelitian dikutip dan menyebar menjadi pemberitaan dengan memosisikan guru sebagai ‘tertuduh’ yang sayangnya banyak pencapaian positif pendidikan. Analisis kemudian dilakukan guna menyusuri validitas hasil penelitian yang menyebabkan reaksi beberapa pihak terkait, yang bermuara pada simpulan untuk mengkaji lebih mendalam lagi penelitian yang pernah dilakukan tersebut. Salah satunya, survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada Diskusi Kelompok Terpumpun yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan dihadiri PPIM UIN, akademisi serta beberapa pemangku kebijakan pada 7 Desember 2018 lalu misalnya, didapatkan kenyataan bahwa data dan analisis hasil survei yang dirilis dan ‘menggurita’ di berbagai media tersebut ternyata baru sekira 25 persen dari total data temuan survei yang ada.
Sayangnya, pemberitaan tidak berimbang dan sulit dikendalikan oleh peneliti atau berbagai pihak lain yang dinilai memiliki andil dalam terpublikasinya hasil survei tersebut tanpa melewati prosedur triangulasi sebagai salah satu bagian dari etika publikasi hasil penelitian.
Beberapa bagian dari hasil survei yang bertendensi lebih positif pun luput dipublikasikan media, misalnya tentang pandangan guru tentang perlunya siswa memahami agama lain dan upaya guru membangun iklim toleransi dalam keberagaman di lingkungan sekolah.
Guru adalah Kunci?
Perilaku dan sikap guru merupakan praktik moral yang dapat memberikan pengaruh pada persepsi dan sikap siswa mengenai beragam hal (Koesoema, 2015). Pada konteks temuan potensi penyebaran paham radikalisme dan intoleransi di lingkungan pendidikan, kapasitas guru dalam mengendalikan penyebaran paham radikalisme dan intoleransi tersebut menjadi fokus perhatian (Tempo, 30/11/2018).
Guru sering kali dinilai menjadi kunci perilaku siswa yang menjadi gambaran secara umum kualitas pendidikan sebuah negara. Banyak orang terlanjur menilai bahwa guru di ruang kelas dan di lingkungan sekolah adalah segalanya.
Doni Koesoema menyebutnya sebagai ‘mistifikasi’ terhadap guru, yaitu penghargaan dan pengharapan berlebihan kepada guru sebagai sosok ideal dengan mengaburkan sifat alami dan manusiawi guru.
Guru dinilai sebagai sosok sempurna yang oleh karenanya harus dapat berlaku ideal dalam lingkungan pendidikan. Padahal, dalam konsep Tri Pusat Pendidikan, guru/sekolah merupakan salah satu unsur yang memberikan pengaruh pada lingkungan pendidikan selain keluarga dan masyarakat, yang artinya, lingkungan pendidikan terbangun dan tidak dapat dipisahkan dari ketiga unsur tersebut.
Praktik Baik Toleransi
Hasil penelitian dan pemberitaan tentang potensi intoleransi dan radikalisme di lingkungan pendidikan khususnya pada guru, seyogianya dapat diterima dengan sikap hati-hati.
Alih-alih menjadi peringatan dini, rilis hasil penelitian dan pemberitaan tersebut dapat kontraproduktif terhadap upaya guru yang telah menumbuhkan sikap toleransi di lingkungan sekolah.
Kajian “Pendidikan Kebinekaan pada Satuan Pendidikan Menengah” yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Balitbang Kemendikbud pada 2017, misalnya, menunjukkan tentang praktik pendidikan kebinekaan yang diimplementasikan dalam keseharian siswa SMA di beberapa kota, antara lain di Kota Singkawang dan Salatiga.
Di Singkawang, guru dan kepala sekolah berupaya memberikan pemahaman mengenai keragaman siswa dengan menetapkan tata tertib sekolah. Aturan itu berisi kewajiban bagi siswa untuk saling menghormati, menerima, dan menghargai keragaman serta menjamin iklim toleransi terbangun dalam keseharian kegiatan di sekolah.
Begitu pula praktik toleransi di Kota Salatiga yang juga diungkap dalam penelitian itu, di mana guru telah berupaya dalam menanamkan nilai kebinekaan dengan memberikan wawasan kebangsaan dan kebinekaan.
Siswa dianjurkan menghormati dan menghargai teman yang berbeda keyakinan, misalnya dengan cara menyampaikan ucapan selamat hari raya, menghormati tempat ibadah, dan lain-lain. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan membuka ruang dialog dalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada sikap saling mencurigai (Puslitjakdikbud, 2017).
Membangun Iklim Toleran
“Kata-kata menggerakan manusia, namun teladan memikat hati”, agaknya tepat menggambarkan kedudukan guru dalam tugas utamanya sebagai pelaku perubahan. Guru tidak sekadar mengubah perilaku individu siswa menjadi lebih baik dan bertanggung jawab, tetapi juga berupaya mewujudkan perbaikan masyarakat melalui pengajaran dan pembelajaran.
Oleh karenanya, Kemendikbud melalui program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dalam pengajaran telah berupaya merespon kebutuhan untuk mendorong sikap siswa agar lebih terbuka terhadap keberagaman. Salah satunya karakter religius yang di dalamnya terdapat aspek toleransi, saling tolong dan menghormati antar-pemeluk agama, serta cinta damai.
Pendidikan karakter sejatinya mengandung empat ciri utama (Koesoema, 2007). Pertama, keteraturan antara tindakan dan nilai normatif. Kedua, koherensi yang menciptakan keberanian dan percaya diri seseorang untuk memegang teguh prinsip yang dimilikinya dan tidak mudah terpengaruh hal lain di luar dirinya.
Ketiga, otonomi yang membentuk kemampuan diri menginternalisasikan aturan menjadi nilai-nilai yang diyakini secara pribadi. Dan keempat, keteguhan serta kesetiaan yang merupakan kekuatan seseorang untuk menjalankan sesuatu yang bernilai baik dan penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Konsep pendidikan karakter sejalan dengan upaya membentuk karakter siswa yang kuat terhadap paham-paham menyimpang seperti radikalisme dan intoleransi.
Upaya pemerintah membendung potensi radikalisme dan intoleransi di lingkungan sekolah melalui PPK sebetulnya telah menjawab kebutuhan pendidikan masa kini dengan menempatkan guru sebagai salah satu bagian dari upaya implementasi PPK tersebut.
Dengan cakupan implementasi PPK di sekolah saat ini yang mencapai 86,14% sekolah di seluruh Indonesia sebagaimana tergambar pada Kilasan Kinerja Kemendikbud November 2017 – 2018 (Kemendikbud, 2018), pada praktiknya telah memberikan manfaat kepada berbagai pihak dalam membangun iklim pendidikan yang kondusif, ekspresif, kreatif, dan harmonis.
Epilog
Menempatkan guru sebagai pihak ‘tertuduh’ dan dinilai paling bertanggung jawab atas sikap intoleran dan radikal yang tergambar pada hasil survei yang dilansir ke media serta disimpulkan secara sepihak sebagai bentuk sikap intoleransi dan radikalisme, sesungguhnya memaksa guru berdiri pada posisi yang tidak menguntungkan dan membahayakan dalam rangka memelihara suasana kondusif guru dalam bekerja.
Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) misalnya, dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Kemendikbud pada 7 Desember lalu menyatakan bahwa guru telah bekerja optimal sesuai dengan tuntutan profesinya secara damai dan menyejukkan.
Yang sesungguhnya terjadi adalah ragam upaya penguatan memahamkan siswa oleh guru tentang ajaran agama masing-masing sesuai dengan syariat, yang belakangan dipersepsikan sebagai penanaman sikap intoleran dan fanatik dalam beragama oleh segelintir orang yang mengarah pada tindakan radikal. Kita pun sering abai memberikan penghargaan pada upaya guru yang telah mengajar dan mengabdi dengan sepenuh hati.
*) Artikel ini pernah dimuat di Koran Harian Republika pada tanggal 10 Januari 2019, dengan judul “Menyoal Guru Radikal”.
Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.
0 Comments