Pemilihan presiden secara langsung merupakan sistem yang menjadi pilihan dalam penerapan demokrasi di Indonesia, pasca amandemen UUD 1945. Lazimnya, dalam pemilihan langsung, para pasangan calon (paslon/candidate) menawarkan program atau kegiatan apa yang akan dijalankan dan diwujudkan manakala yang bersangkutan terpilih.
Materi yang ditawarkan ini, di Indonesia, disebut sebagai visi dan misi, yang kelak akan dan harus dituangkan di dalam Rencana Pembangunan. Itulah hakikat dari debat Paslon di Indonesia.
Analisis Visi Misi vs “Serangan Fajar”
Dalam pemilihan secara langsung visi dan misi inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan pemilih untuk menentukan pilihannya. Untuk itu pemilih seharusnya bisa melakukan analisis dan penilaian, apakah visi dan misi Paslon tersebut masuk akal atau kah hanya harapan hampa.
Penilaian ini memerlukan daya analisis yang memadai dari para pemilih. Artinya, para pemilih harus memiliki derajat pendidikan yang memadai juga.
Kenyataannya, sebagian besar derajat pendidikan masyarakat kita hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (BPS, 2020). Wajarlah kalau mereka belum bisa menganalisis apa yang menjadi visi dan misi Paslon.
Karenanya, terkait dengan pemilihan langsung di Indonesia, ada pendapat bahwasanya, mengingat derajat pendidikan dan derajat ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah, maka Indonesia belum saatnya untuk melakukan pemilihan Presiden secara langsung (Lijphart, 1999).
Dampak praktis dari kondisi ini adalah maraknya mobilisasi pemilih dengan melakukan “vote buying”, atau yang kita kenal sebagai “Serangan Fajar.”
Sebagian besar korban “Serangan Fajar” tidak memedulikan lagi apa yang ditawarkan Paslon, karena tidak mengerti, tetapi siapa yang memberikan “paket” yang paling besar dan paling banyak. Inilah salah satu ironi pemilihan langsung di Indonesia.
Format Debat dan Serangan Pribadi
Bagaimanapun karena sistem yang diterapkan di Indonesia adalah pemilihan langsung, maka Debat Paslon ini menjadi satu elemen dari proses Pemilihan Umum.
Setelah beberapa kali dilakukan Debat Paslon untuk Pemilu 2024, banyak yang mempersoalkan format debat tersebut. Di antaranya, dipicu oleh adanya kecenderungan melakukan serangan secara pribadi kepada Paslon yang bersaing. Kecenderungan ini akan terus berlangsung apabila tidak dilakukan format ulang untuk acara debat berikutnya.
Model debat antar Paslon tentunya mengadopsi dari sistem yang sudah terbiasa terjadi di negara-negara lain. Contoh yang sering kita saksikan adalah debat antar Paslon Presiden di Amerika Serikat.
Mereka patut dan pantas berdebat dan mempertahankan pendapat serta program yang akan dijalankannya. Kenapa? Karena sistem politik dan pemerintahan di Amerika Serikat memungkinkannya.
Di antaranya, seorang presiden memiliki Hak Veto terhadap Rancangan Undang-undang. Hak ini setidaknya dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk beradu argumen dengan parlemen dalam mempertahankan program-program yang ditawarkannya ketika masa kampanye.
Sementara di Indonesia, Presiden tidak memiliki hak veto. Dengan demikian, visi dan misi Paslon Presiden RI, dapat dengan mudah di-“halangi” oleh parlemen. Kita sudah saksikan fenomena ini semenjak dilakukannya pemilihan presiden secara langsung.
Untunglah, RPJMN cukup diteken oleh Presiden, sehingga pada dasarnya RPJMN ditetapkan tanpa melalui DPR dan DPD. Masalah akan timbul ketika rencana dalam RPJMN tidak dapat diakomodir dalam APBN, yang menjadi ranah Parlemen.
“Hanya” Presentasi atas Visi dan Misi
Berdasarkan berbagai alasan tersebut maka Format yang tepat untuk debat Paslon, adalah “hanya” mempresentasikan apa yang sudah tertuang di dalam “Visi dan Misi” para calon, yang sudah secara resmi disampaikan kepada KPU.
Setiap acara debat ditentukan topiknya oleh KPU. Misalnya, ihwal Penciptaan Lapangan Kerja, maka setiap Paslon menjelaskannya apa yang akan dilakukan dan melalui program apa, sebagaimana yang telah dicantumkan di dalam “visi dan misi” mereka.
Materi presentasi dan penjelasan inilah yang menjadi bahan perdebatan. Dengan format ini para Paslon akan terlihat kemampuannya untuk melakukan analisis, pertanyaan dan kritikan terhadap apa yang disampaikan oleh Paslon presenter.
Kemudian, ini pula yang dijelaskan atau dijawab oleh Paslon presenter. Sehingga debat akan menjadi ajang penjelasan, dan penilaian.
Dengan format seperti ini hal-hal yang tidak terkait dengan “visi dan misi” Paslon tidak perlu ditanggapi. Pada gilirannya hal-hal yang selama ini dianggap tidak akurat, menyerang pribadi atau etika tidak akan muncul.
Sebagai gantinya para Paslon harus membaca dan mempelajari “visi dan misi” Paslon lainnya. Tentu ini yang bisa dibantu oleh Tim Sukses masing-masing untuk menyimulasikan pertanyaan, dan kritikan yang akan disampaikan.
Demi Efisiensi Anggaran Pemilu
Konsekwensi dari format seperti ini akan sangat efisien dari segi anggaran dan pelaksanaan, karena tidak diperlukan lagi suatu panel para ahli, untuk membuat pertanyaan.
Pertanyaan dari Paslon lain hanya berdasarkan visi dan misi Paslon yang mempresentasikannya. Anggaran yang sudah tersedia untuk para ahli bisa direvisi dan dialihkan untuk kegiatan lain di KPU.
Jadi, ke depan, seyogyanya kita pikirkan lagi, sistem politik yang kita berlakukan seperti apa, dan kita sesuaikan model pemilihan umum yang sesuai dengan sistem itu. Sehingga, konsistensi dan kompatibilitas sistem dapat kita jaga. Juga tidak mubazir.
Namun demikian, meskipun masih banyak kekurangannya, mari kita ramai-ramai memanfaatkan hak suara kita dalam Pemilu Serentak 2024. Kekurangan dan kealpaan dapat kita perbaiki kelak. Selamat memilih.
Praktisi Pemerintahan, Kepala Program Studi Magister Administrasi Publik, Univ Esa Unggul
Deddy is an individual consultant in some consulting firms from 1977 until 1986. Since 1986 he is working in National Development Agency (Bappenas)/Ministry of National Development Planning, his position among others; (1) Development Planner, (2) Chief of the Local Autonomy Study Center, (3) Chief of the National Civil Servant Training Center, (4) Advisory Expert to Minister on Governance and Local Autonomy, (5) Deputy Minister for Governance, and (6) Senior Planner and Trainer in Governance.
In addition, he also serves as an individual national and international consultant for infrastructure investment and development in Indonesia.
Assalamualaikum K. Dedi … Leres pisan…. RPJMN jadi basa basi saja di era reformasi khususnya akhir-akhir ini lebih banyak ke maunya RI satu aja yang pragmatis dari tahun ke tahun. Meskipun diproses bak lintas K/L/D, tapi RPJMN terasa made in Bappenas tidak digadang gadang sebagai made in eksekutif. Begitu juga RPJPN yang sebenarnya made in legislatif. Tidak ada yang serius dari kedua lembaga besar tersebut yang memahami dan melaksanakan UU 25/ 2004. Duhhh