“Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan mestinya yang ada adalah suasana krisis. Kita juga mestinya, juga semuanya yang hadir di sini sebagai pimpinan, sebagai penanggung jawab, kita yang berada di sini ini bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Ini tolong digarisbawahi, dan perasaan itu tolong sama, kita sama, ada sense of crisis yang sama.”
Begitu arahan tegas Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna mengenai Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2021, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2021, dan Kondisi Perekonomian Terkini Dampak COVID-19, pada 18 Juni 2020, di Istana Negara.
Tersirat jelas arahan Presiden kala itu menekankan bahwa seharusnya, seluruh pimpinan kementerian dan lembaga memiliki pemahaman dan sikap yang sama atas kondisi yang terjadi saat ini, memiliki sense of crisis yang sama. Lalu sebenarnya, apa yang dimaksud dengan sense of crisis?
Problematika dalam Memaknai Krisis
Pergel dan Psuchogios (2013) dalam jurnalnya berjudul “Making Sense of Crisis: Cognitive Barriers of Learning in Crisis Situation” menjelaskan bahwa krisis telah menarik perhatian luas para akademisi dari segala bidang dan disiplin ilmu, dalam upaya untuk mendefinisikan dan konseptualisasinya.
Masalahnya, sampai saat ini, krisis merupakan fenomena yang rumit dan sulit untuk didefinisikan. Krisis seringkali dipandang dari konsep persepsi pemangku kepentingan tentang ancaman, ketidakpastian, dan urgensi.
Ancaman besar atau perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, destruktif, mengancam jiwa, dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi, sangat kritis, dan seringkali tidak dapat dipulihkan kembali (Dubrovski, 2009; Malle, 2009; Kouzmin, 2008).
Namun, keberadaan definisi tersebut tidak lantas menyelesaikan perdebatan tentang definisi krisis.
Tidak dapat dipungkiri, masalah utama yang dihadapi saat mendefinisikan krisis adalah ambiguitas yang mengelilingi konsep itu sendiri. Belum ada kesepakatan kolektif atas definisi yang ada dan makna yang tepat dari konsep itu sendiri.
Padahal, evolusi pendefinisian krisis sudah sejak lama terjadi, dimulai dari pendekatan tradisional, melihat krisis sebagai peristiwa yang merugikan organisasi dan memicu organisasi untuk melakukan respons. Kemudian, memosisikan manajemen krisis beriringan dengan manajemen operasional dan taktis.
Evolusi selanjutnya adalah melihat krisis tidak hanya suatu peristiwa yang begitu saja terjadi dan tiba-tiba, tetapi mengenali adanya red-flags sebagai awal mulai krisis dan menuntut organisasi untuk secara proaktif mengidentifikasi dan menerapkan proses dan kegiatan yang mencegah potensi krisis dan/atau dapat mengurangi dampak jika krisis terjadi.
Kompleksitas krisis juga ditandai dengan adanya berbagai macam jenis krisis. Agar organisasi dapat sepenuhnya mengatasi krisis, sekaligus mampu mengembangkan pendekatan strategis yang tepat dalam menanganinya, organisasi perlu memahami berbagai jenis krisis yang dapat terjadi, serta berbagai perspektif dalam melihat krisis.
Krisis, pada dasarnya, menciptakan serangkaian permasalahan yang harus dihadapi organisasi, terutama dalam hal kapabilitas dan kemampuan organisasi untuk mengoordinasikan kegiatan-kegiatan yang ada di saat-saat penuh tekanan yang luar biasa.
Artinya, pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh organisasipun harus tidak biasa, tepat seperti apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi.
Penyebab Krisis Tak Diakui
Organisasi dituntut untuk memiliki pandangan yang utuh tentang krisis. Namun sayangnya, kata Pergel dan Psuchogios (2013), organisasi cenderung menghilangkan pandangan tentang adanya beragam jenis krisis dan hanya terpaku hanya pada dampaknya. Fokusnya hanya pada penerapan mekanisme pengendalian tambahan.
Kecenderungannya, hal-hal yang diidentifikasi sebagai potensi krisis hanyalah hal-hal yang telah ada pengendaliannya dan difokuskan pada penguatan pengendalian tersebut.
Padahal, seharusnya krisis dipahami secara holistik, menyeluruh. Seperti pemahaman tentang hidup dan mati, membangun dan menghancurkan, maka situasi biasa di organisasi dan di kala krisis harus dipahami sebagai suatu kesatuan, bukan sebuah lawan kata.
Jika pemahamannya telah menyeluruh, maka ketika organisasi memandang tujuannya ke depan, organisasi juga harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan hal buruk yang dapat terjadi.
Faktor cognitive bias memiliki andil besar dalam konstruksi pemikiran tersebut. Fatalism bias, bagian dari cognitive bias, merupakan kondisi yang sangat berpengaruh dalam hal ini, di mana organisasi dan orang-orang di dalamnya merasa optimis bahwa skenario yang terbaiklah yang akan terjadi, sehingga tidak perlu memikirkan skenario lain bisa saja muncul.
Selain soal fatalism bias sebagai penyebab organisasi tidak melihat krisis dengan takaran yang seharusnya, terdapat beberapa penyebab lain yang menyebabkan organisasi gagal memaknai dan mengelola krisis.
Pertama, organisasi terjebak dalam diversi masalah. Tidak dapat dipungkiri, ketika krisis terjadi, biasanya bersamaan dengan berbagai masalah yang tersangkut menjadi sekumpulan benang kusut, sehingga organisasi sulit untuk mengurai masalah sebenarnya yang menyebabkan krisis terjadi.
Kedua, Tony Jaques (2007) dalam jurnalnya berjudul “Issue Management and Crisis Management”, berpendapat skeptis bahwa kadang organisasi terlalu sibuk mengurusi soal melindungi reputasinya, tanpa dibarengi dengan respons yang tepat guna mengelola krisis yang terjadi.
Padahal dalam krisis, memahami adanya krisis saja tidak cukup, karena respons harus segera dilakukan secara efektif dan cepat.
Akar Masalah, Salah Menakar Kondisi
Pemaknaan krisis di atas memberikan dasar bagi kita untuk menegaskan bahwa krisis adalah sebuah keniscayaan yang harus diakui keberadaannya, kemungkinan kemunculannya, sehingga kita dapat bersiap menghadapinya.
Namun, terdapat tantangan selanjutnya yang tak kalah rumitnya. Sudahkah kita memahami kapan suatu kondisi telah memasuki fase krisis atau belum? Konsep manajemen isu dan manajemen krisis bisa menjadi pondasi jawaban atas pertanyaan tersebut.
Sebuah kalimat bijak yang sering kita dengar terkait krisis adalah bahwa cara terbaik untuk mengelola krisis dilakukan dengan mencegahnya terjadi. Jika krisis dapat dihindari, baik pemangku kepentingan maupun organisasi tidak akan dirugikan.
Sehingga dapat diartikan bahwa pencegahan krisis adalah “alfa” atau titik awal manajemen krisis. Menurut Tony Jaques, manajamen krisis merupakan fungsi dari manajemen isu sehingga menjadi bagian dari manajemen isu, dan bukan sebaliknya.
Dalam konsep ini, krisis adalah eskalasi dari siklus isu, dimana isu yang meningkat intensitasnya, mulai dari fase potential, emerging, dan current, akan mencapai di intensitas maksimalnya pada fase keempat yaitu krisis.
Organisasi perlu memahami tahapan tersebut dan memiliki pendekatan yang terstruktur dalam setiap tahapannya. Terutama, organisasi harus secara tegas mampu meyakini, kapan suatu isu masih termasuk dalam tahapan pencegahan krisis, kapan isu sudah berubah menjadi krisis sehingga harus dikelola dengan pendekatan yang tidak biasa.
Kata kunci yang dapat menjadi pegangan adalah ketika suatu isu sudah tidak dapat ditangani dengan prosedur-prosedur yang ada dan perlu dilakukan prosedur lain yang tidak biasa, maka pada saat itu isu sudah berubah menjadi krisis.
Hal ini juga tergambar dalam pidato Presiden kala itu.
“Tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, kebijakan-kebijakan kita, suasana adalah harus suasana krisis. Jangan kebijakan yang biasa-biasa saja, menganggap ini sebuah kenormalan. Apa-apaan ini? Mestinya suasana itu ada semuanya, jangan memakai hal-hal yang standar pada suasana krisis. Manajemen krisis sudah berbeda semuanya mestinya.”
Kata kunci keduanya adalah respons atas krisis tersebut harus dilakukan secara cepat dan efektif. Sebuah prasyarat yang tidak mudah dilakukan, tetapi memang begitulah adanya, dalam mengelola kondisi krisis.
Karena itulah penting dilakukan persiapan. Memang tidak harus spesifik pada persiapan atas suatu krisis tertentu, tetapi persiapan dalam hal terbuka atas kemungkinan segala kondisi berbeda yang mungkin terjadi dan menajamkan insting.
Hal ini guna menyadari secara cepat jika terjadi perubahan kondisi, dan memahami apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dengan kata lain, terbangun sense yang baik tentang krisis, atau sense of crisis.
Epilog
Akhirnya, dengan memahami pemaknaan krisis secara utuh, kita, baik secara individu ataupun dalam kesatuan organisasi, diharapkan mampu mengidentifikasi bagaimana kemampuan sense of crisis kita, apakah sudah sesuaikan dengan kondisi yang ada.
Atau barangkali perlu ditingkatkan hingga sampai pada titik yang seharusnya. Hingga kita tahu kapan harus bertindak dengan cara biasa, atau harus segera melangkah dengan cara yang berbeda, dengan pendekatan yang di luar kebiasaan kita.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
Sebenarnya indonesia ini krisis apa? Buktinya rakyat tenang2 saja, buktinya jalanan masih macet? Indonesia ini krisisi atau pemimpin uang panik? Atau sebenarnya ada masalah kesehatan tapi panik gak punya uang?
Pelaut tangguh tak pernah menunggu badai reda, tapi mengakrabinya tuk belajar sesaat dan hadapi (learning by doing) serta tak ada kata yang salah.. hingga tercapai pelabuhan yang dituju.
Jadi tak perlu untuk merencanakan secara detail dan memakan waktu lama, ada perubahan paradigma bahwa tak ada lagi kata mitigasi risiko, melainkan take risk semua yang dihadapi (risk culture in the digital age).
Dalam hadapi ketidakpastian saat ini tak ada kata lagi bench-marking karena masing2 menghadapi dengan caranya sendiri.
Sesuai teori dinamis, bahwa tumbukan atom dan proton atau badai memiliki pola tersendiri (extractor) yang dapat diamati .
Dan tak ada lagi metode heat lamp (merah, kuning dan hijau) hanya untuk memilah mana yg aman dan hazard… mencari jenis badai yang mudah dilewati hingga harus berputar2 arah, tapi gunakan teori monte carlo ” what if”.
Dalam siklus kebijakan publik, kebijakan publik dirancang untuk mengatasi masalah atau untuk mengantisipasi masalah. Yang ingin saya tanyakan dimana letak siklus isu dalam sebuah siklus kebijakan publik?