
Aku masih ingat sore itu, ketika jemariku gemetar menyentuh layar gawai. Di sana, setelah memasukkan angka porsi pendaftaran, aplikasi Haji Pintar menampilkan angka yang membuat dadaku sesak “perkiraan keberangkatan anda tahun : 2046”.
Sejenak aku terdiam.
Layar ponsel dengan ukuran huruf yang mulai kunaikkan 1 tingkat dari ukuran standar, tiba-tiba terasa seperti pintu takdir yang tertutup rapat. Aku menatapnya lama, seakan berharap angka itu berubah, seakan berharap ada keajaiban.
Tapi tidak, di balik kilau layar itu, masa depan menungguku dengan sunyi. Dan dalam hati, sebuah pertanyaan menyeruak ”Apakah aku masih hidup ketika panggilan itu datang?” mungkin hanya Dia Yang Memanggil yang tahu jawabannya.
Ingatan itu membawa aku kembali ke masa pandemi COVID-19, tahun 2020. Dunia sedang kacau, jalan-jalan lengang, masjid sepi, dan manusia belajar arti keterbatasan.
Di tengah ketidakpastian itulah aku dan istriku memberanikan diri mendaftar haji, setelah bertahun-tahun menabung sedikit demi sedikit dari gaji dan tunjangan kami berdua yang tak pernah berlebih.
Saat itu aku berpikir, setidaknya aku sudah melangkah. Bukankah niat baik seharusnya segera ditunaikan sebelum ajal datang mengetuk? Kami memantapkan diri setelah membaca Firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 27:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus (dhaamir), yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Kini, aku menghitung usia. Jika Allah memberi umur panjang, mungkin aku akan berangkat di usia 62 atau 63 tahun, usia yang menjadi acuan umat muslim akan ajal, sesuai usia Rasulullah saat wafat.
Dalam hitungan waktu, dua dekade bukan sekadar angka. Itu berarti menunggu dalam doa, dalam harapan, sambil menyaksikan kulit keriput, rambut memutih dan tenaga kian rapuh. Ada rasa haru, tapi juga rasa takut, bagaimana jika panggilan itu tak pernah sampai?
Sementara di luar sana, kenyataan berbicara dengan suara yang lebih nyaring. Mereka yang mampu membayar lebih banyak dapat menikmati haji plus atau furoda tak harus menunggu puluhan tahun.
Beberapa hanya butuh waktu satu atau dua tahun sebelum terbang ke Tanah Suci. Aku tidak iri, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Apakah panggilan suci ini harus menunggu tebalnya kantong? Apakah antrian untuk menunaikan rukun yang sama-sama diwajibkan ini bisa ditukar dengan rupiah lebih banyak?
Kegelisahan ini kian dalam ketika aku membaca sebuah pernyataan kontroversial dari Dr. Erwandi Tarmizi, seorang ustadz yang dikenal luas. Ia mengatakan “Haji bagi orang Indonesia saat ini tidak wajib.”
Argumennya sederhana, tetapi menggetarkan, jika antrean bisa mencapai 30 tahun atau lebih, maka kewajiban itu seakan berada di luar jangkauan. Bagaimana mungkin sebuah ibadah diwajibkan jika pelaksanaannya tak bisa dipastikan hingga ajal datang menjemput?
Pandangan ini bukan satu-satunya yang pernah kubaca. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, misalnya, pernah menguatkan pandangan bahwa ibadah haji cukup diwajibkan sekali seumur hidup.
Alasannya sederhana namun menohok, ”antrean yang mengular puluhan tahun bukan hanya membebani calon jamaah, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang belum pernah berangkat sama sekali”.
Di titik ini, ingatanku melayang ke ruang kuliah dulu, saat membahas kerangka sosiologi hukum. Beginilah wajah nyata pertarungan antara hukum normatif dan living law – hukum yang hidup dalam denyut nadi masyarakat.
Aturan-Nya jelas dan tetap bahwa ibadah haji adalah kewajiban setiap umat muslim, tetapi realitas sosial memaksa tafsir ulang agar keadilan tak sekadar indah di atas kertas.
Sebagai seorang birokrat, aku juga bertanya, apakah solusi dari semua ini adalah pembentukan Kementerian Haji? Gagasan ini mencuat di publik belakangan ini, dengan alasan koordinasi yang lebih fokus dan profesional.
Secara teori Social Engineering oleh Roscoe Pound, hukum sebagai alat atau instrumen untuk merekayasa atau membentuk masyarakat menuju tatanan yang lebih baik dan mencapai tujuan keadilan sosial.
Teori ini menempatkan hukum tidak hanya sebagai seperangkat aturan normatif, tetapi juga sebagai kekuatan sosial yang dinamis, mampu mendorong perubahan positif dan menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam masyarakat.
Namun, apakah lembaga baru ini cukup untuk memangkas antrean yang mencapai 20 – 30 tahun? Atau jangan-jangan, ia hanya akan menjadi menara gading yang jauh dari denyut keresahan jamaah? Menambah alur birokrasi dan memperumit masalah?
Dalam lamunan, aku kembali menatap layar ponsel, angka 2046 tetap terpampang, dingin dan tak bergeming dan tak berkurang. Setiap kali melihatnya, aku merasa seperti menatap takdir, samar, jauh, dan penuh misteri.
Aku masih sangat percaya bahwa suatu hari aku akan berangkat, menjejak tanah suci, berziarah ke makam Rasulullah SAW, wukuf di Padang Arafah, mencium Hajar Aswad, dan menatap Ka’bah dengan mata berkaca dan menutupnya dengan tahalul.
Tapi jika takdir berkata lain, aku ingin Allah tahu ”aku sudah berniat, sudah berangkat” paling tidak dari hati.
Dan di sinilah refleksi itu bermuara, haji bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Menunggu dalam sabar adalah bagian dari ibadah itu sendiri.
Namun, di tengah ketidakpastian ini, kita berharap negara hadir dengan solusi nyata, bukan sekadar wacana, bukan sekadar janji. Karena panggilan suci ini seharusnya bukan hak istimewa bagi yang kaya, melainkan hak spiritual setiap Muslim yang telah berikhtiar.
Hingga saat itu tiba, atau mungkin tak pernah tiba, aku tetap memeluk doa. Sebab, dalam doa, tak ada antrean. Namun sekarang, sesuatu terasa berbeda, DPR dan pemerintah telah mengangkat palu, menandai pengesahan RUU Haji dan Umrah menjadi Undang-Undang.
BP Haji bak tertidur dalam lumbung sejarah, dan dari sana lahirlah harapan baru, sebuah Kementerian Haji dan Umrah yang diharapkan mampu merajut keadilan dalam antrean yang begitu menggurita dan membelah mimpi-mimpi kami selama puluhan tahun.
Aku membayangkan, jika kementerian itu benar-benar hadir
bukan sebagai bentuk simbolik semata, tetapi sebagai lembaga transformasional
yang menata ulang sistem dengan integritas dan empati, lalu menyentuh hati jamaah yang dalam diam memimpikan Ka’bah, mungkin saatnya doa bersama kita akan menjawab antrean panjang dengan pelayanan lebih manusiawi, transparan, dan setia kepada esensi ibadah.
Begitu pula harapan ini kuselipkan untuk RUU Haji yang baru disahkan. Bukan puas dengan tinta di atas kertas, tapi ada doa bahwa pasal-pasal itu akan menuntun perubahan konkret, kuota lebih adil, mekanisme lebih efisien, transparansi dan integritas menjadi nyawa pelayanan.
Karena kami tahu, panggilan suci ini tidak boleh jadi mimpi yang terganjal waktu, namun harus jadi janji yang ditepati umat, meski dalam penantian bertahun-tahun.
Jika aku masih diberi umur untuk menyaksikan buahnya, semoga aku bisa menunaikan haji dengan penuh rasa syukur. Jika tidak, maka doa ini yang akan tetap berangkat terlebih dulu dari hati, lebih cepat dari peluh waktu dan lebih dekat dari ridha-Nya.
0 Comments