Metode membangun kebiasaan membaca di Amerika
Seorang guru bahasa Inggris dari Amerika bertutur tentang cara sekolah-sekolah di negaranya membangun kebiasaan membaca sejak usia dini. Salah satu metode membaca yang guru gunakan adalah reading buddies.
Metode ini memberi kesempatan bagi siswa tingkat satu hingga dua sekolah dasar untuk membaca bersama dengan siswa tingkat delapan. Aktivitas ini merupakan semacam tutor sebaya, di mana guru menunjuk tiap satu orang siswa senior untuk mendampingi satu siswa junior. Mereka membaca satu hingga dua buku selama tiga puluh menit.
Kebiasaan membaca bersama ini bukan hanya mampu menumbuhkan minat baca sejak dini, tetapi juga mengembangkan keterampilan berkomunikasi antarsiswa, menjalankan tanggung jawab dan saling sinergi antarindividu.
Selain reading buddies, guru juga menerapkan metode membaca nyaring (read aloud). Dalam metode ini, seperti halnya sekolah–sekolah di Indonesia, guru atau salah satu siswa di kelas bertugas membaca nyaring sebuah buku sementara siswa lainnya menyimak. Setiap tahun ajaran siswa sekolah dasar berhasil menuntaskan satu buku bacaan menggunakan metode ini.
Setelah menuntaskan bacaan, guru akan memberikan tugas menulis bagi siswa terkait pesan moral, karakter, setting, dan aspek lainnya dari buku yang telah dibaca. Orang tua siswa pun bisa mendukung program sekolah di rumah masing–masing dengan menggunakan metode membaca nyaring bagi anak–anaknya, seperti kegiatan membacakan dongeng menjelang tidur. Metode ini dapat melatih keterampilan mendengarkan sehingga anak terbiasa untuk berempati terhadap orang lain.
Beragam program kegiatan dirancang untuk menumbuhkan keterampilan berpikir kritis (critical thinking) siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah. Program pertama adalah book report bagi siswa tingkat lima atau enam yang telah menuntaskan bacaan. Guru memberikan tugas membuat laporan tentang buku yang telah dibaca kepada siswa berupa outline setiap paragraf yang telah dibaca.
Kedua, free reading atau membaca buku favorit sekali seminggu. Siswa sekolah menengah diberi kesempatan untuk membaca buku apa saja yang mereka sukai. Bukan sekedar membaca buku, tetapi aktivitas membaca ini disertai dengan menuliskan hasil analisis mereka terkait buku yang telah dibaca dan disetorkan di akhir tahun ajaran.
Dengan metode kedua ini, siswa dilatih untuk membandingkan buku, mengupas tuntas pandangan dan latar belakang pengarang, sejarah, budaya, serta peristiwa sosial politik yang mewarnai terbitnya suatu karya.
Ketiga, invite the author yaitu sekolah memfasilitasi pertemuan penulis buku dengan warga sekolah untuk berbincang-bincang tentang kebiasaan membaca di antara mereka. Selain itu, yang lebih penting ialah ketika penulis buku berbagi pengalaman dalam menghasilkan karya tulis.
Menariknya, sebagai pelengkap ketiga kegiatan itu, guru juga mengadakan kompetisi bagi siswa yang paling banyak membaca buku. Biasanya kompetisi ini disampaikan pada awal tahun ajaran untuk dievaluasi di akhir periode tahun ajaran.
Guru akan memberikan penghargaan kepada siswa atas usahanya membaca buku terbanyak dengan mengadakan pizza party pada akhir tahun ajaran. Sikap guru tersebut dapat memupuk rasa percaya diri siswa dan membangkitkan semangat mereka untuk terus membaca lebih banyak lagi buku di tahun–tahun mendatang.
Menumbuhkan budaya membaca di Indonesia
Lalu, apa kabar kegiatan membaca di sekolah–sekolah Indonesia? Kemendikbud telah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sejak tahun 2015. Sekolah didorong untuk mengalokasikan setidaknya 15 menit waktu untuk membaca buku, selain buku teks, setiap hari bagi siswanya. Harapannya, sekolah mampu menghasilkan siswa yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia melalui kebiasaan membaca.
Namun, apakah sekolah telah mengimplementasikan GLS secara optimal? Apakah sekolah berhasil menumbuhkan minat baca siswa dan guru? Metode dan program kegiatan apa saja yang telah dijalankan sekolah? Apakah sekolah berupaya meningkatkan koleksi sumber bacaan non-teks di perpustakaan?
Kurang lengkapnya koleksi buku non-teks di perpustakaan sekolah
Salah satu guru SMK mengeluhkan kurangnya koleksi buku non-teks di perpustakaan sekolahnya. Menurut beliau, keterbatasan ini berdampak pada rendahnya minat siswa untuk membaca buku. Beberapa siswa juga kerap kecewa karena sumber bacaan yang disediakan sekolah tidak menarik bagi remaja.
Bagaimana guru dan siswa dapat mengembangkan dirinya, memperluas wawasannya, melejitkan potensinya, jika yang disuguhkan itu–itu saja. Dari perpustakaan, kelas, rumah, hingga kamar tidur, mereka hanya bertemu dengan buku teks.
Padahal, Hernowo dalam bukunya “Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza” mengatakan bahwa andai buku–buku di rak–rak perpustakaan ibarat makanan kesukaan, tentunya kita akan lahap memakannya. Sayangnya, sekolah lebih memilih memenuhi rak–rak perpustakaan dengan buku–buku teks pelajaran. Ibarat makanan, buku teks adalah makanan yang tidak mengundang selera.
Tolak ukur keberhasilan pendidikan adalah budaya membaca
Menurut Billy Antoro, tolak ukur keberhasilan pendidikan adalah banyaknya anak yang gemar membaca, bukan dilihat dari banyaknya anak yang mendapat nilai tinggi dalam pelajaran di kelas tersebut. Namun seringkali yang terjadi di lapangan adalah baik siswa, orang tua maupun sekolah hanya berpatokan pada angka–angka di atas kertas.
Siswa malas membaca karena kurangnya bacaan yang menarik minat. Lingkungan keluarga pun tak memberikan ruang bagi mereka untuk mengembangkan wawasan keilmuan melalui ketersediaan buku di rumah. Sekolah yang menjadi andalan orangtua untuk mencerdaskan putra–putrinya pun tidak sanggup menyediakan buku bermutu.
Bagaimana pendidikan mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, jika hanya berfokus pada nilai tinggi dan melupakan kegiatan literasi? Sudah saatnya sekolah memberi asupan bergizi bagi warga sekolah melalui buku–buku yang mencerahkan.
Sekolah dapat menyediakan buku–buku motivasi dan pengembangan diri di samping buku teks pelajaran. Selain itu, sekolah dapat melibatkan warga sekolah dalam membuat program kegiatan literasi yang menarik.
Terakhir, dorong orang tua dalam menciptakan suasana keluarga cinta baca. Jangan malu mengadopsi program sekolah rujukan maupun negara maju untuk melakukan perubahan.
*Tulisan ini pernah dimuat di Antologi Pendidikan: 1001 Cara Membuat Guru – Siswa Suka Baca, diterbitkan oleh Yayasan Anak Bangsa Indonesia, Kota Bogor, tahun 2019. Disajikan kembali dengan sedikit perubahan.
ASN guru provinsi Kalimantan Timur. Lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Hasanuddin, Makassar. Menetap di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
0 Comments