Perhelatan pilkada serentak 2018 tinggal menghitung hari. Atmosfir politik makin memanas seiring makin kerasnya gesekan kepentingan antarkandidat. Percaturan kepentingan tersebut ikut menyeret berbagai kelompok masyarakat dalam pusaran politik praktis.
Salah satu kelompok masyarakat yang ikut terseret adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau sekarang dikenal dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Mengingat jumlahnya yang cukup besar yaitu 4,3 juta jiwa dan posisinya yang strategis di tengah-tengah masyarakat, maka ASN merupakan kekuatan yang paling rentan dipolitisasi.
Jargon “Netralitas ASN” pun lantang diteriakkan. ASN tidak boleh berpolitik praktis. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, ASN harus netral dan tidak melakukan aksi dukung-mendukung terhadap kontestan pilkada. Begitulah kira-kira harapan masyarakat agar birokrasi tetap profesional.
Utopia Netralitas ASN
Regulasi sebenarnya sudah mengatur dengan tegas tentang netralitas birokrasi. Setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun (Pasal 2 huruf f Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN).
Dalam ketentuan lainnya, kita juga bisa menjumpai adanya larangan ASN terlibat politik praktis, misalnya kegiatan kampanye pemilu yang mengikutsertakan ASN (Pasal 280 angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu).
Setiap ASN dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah (Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53).
Selanjutnya Kementerian PAN dan RB melalui surat edaran nomor B/2355/M.PANRB/07/2015, juga melarang ASN untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Namun, kondisi ideal tersebut tampaknya sulit diwujudkan di lapangan. Ada beberapa faktor yang membuat netralitas ASN di biokrasi menjadi sekadar utopia.
Pertama, adanya birokrat ataupun juga incumbent yang menjadi kontestan pilkada. Kondisi tersebut mengakibatkan sikap birokrat yang menjadi bawahannya cenderung tidak netral. Hal itu mungkin saja terjadi karena selain adanya kepentingan pribadi dari ASN agar tetap ‘dipakai’, juga adanya upaya penggalangan dukungan secara terselubung dalam birokrasi.
Kedua, ketergantungan ASN itu sendiri terhadap kekuasaan kandidat usai pilkada. Untuk mengamankan masa depan kariernya, ASN harus mengambil sikap yang jelas agar selamat dari “hukuman” sang pemenang yang menjadi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).
Pada pilkada serentak tahun 2017 lalu, ada 96 ASN yang menjadi calon kepala daerah. Pada tahun 2018 calon yang berlatar belakang ASN jumlahnya meningkat menjadi 156 orang.
Saat ini banyak dijumpai para ASN menjadi kontestan pilkada. Di samping ASN, sebanyak 205 orang yang masih berstatus sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah tampil sebagai kontestan, baik untuk jabatan yang sama maupun untuk jabatan yang lebih tinggi.
Keikutsertaan pejabat dan ASN dalam pilkada tentu memberikan pengaruh terhadap netralitas birokrasi, baik secara kelembagaan maupun secara individual. Apalagi jika yang bertarung adalah bekas atasan atau sama-sama dari incumbent, maka pastilah kenetralan birokrasi menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan.
Selanjutnya, terkait dengan ketergantungan birokrasi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian, maka harus disadari bahwa birokrasi tidak berada di ruang hampa yang bebas dari “intervensi” politik. Pejabat politik pemenang pemilu akan menjadi nakhoda dan mempengaruhi keberlangsungan individu dan organisasi birokrasi.
Terlebih dari sudut pandang normatif, peran sentral kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang memiliki wewenang dalam mengangkat, memberhentikan, dan memindahkan pegawai menjadi senjata ampuh untuk mempengaruhi pandangan politik birokrasi.
Bukan rahasia lagi, jika ada kepala daerah yang melakukan mutasi maupun demosi terhadap ASN yang dianggap menjadi lawan politiknya. Agenda-agenda kerja yang akan dilakukan sebuah instansi juga syarat kepentingan. Agenda kerja dan kebijakan sering digunakan sebagai kampanye terselubung dan kepentingan politis kepala daerah.
Birokrasi Tidak Dapat Lepas dari Proses Politik
Birokrasi merupakan bagian integral dari sistem politik sehingga tidak bisa dilepaskan dari proses politik itu sendiri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, posisi dan peran politik ASN berubah sesuai dengan kondisi aktual yang terjadi.
Pada era Orde Baru, PNS menjadi mesin politik dari penguasa. Seluruh jajaran birokrasi dijadikan ‘sekrup’ untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto hingga 32 tahun.
Proses deparpolisasi dilakukan melalui penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 12 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 1970. Melalui kedua peraturan perundang-undangan itulah, sikap antipartai di kalangan birokrasi dibentuk. Dengan demikian, direnggutlah basis-basis massa yang selama ini menjadi sumber dukungan partai politik.
Disterilkannya birokrasi dari partai politik dan ditanggalkannya atribut partai politik dalam birokrasi menjadikan ASN tidak mempunyai pilihan lain kecuali masuk ke dalam barisan Golkar.
Kedua peraturan tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya keputusan presiden tentang pembentukan Korpri sebagai satu-satunya wadah organisasi pegawai negeri yang membawa ASN menjadi subordinasi dari Golkar (Keppres Nomor No. 82 tahun 1971).
Kooptasi terhadap PNS untuk kepentingan Golkar waktu itu berkembang menjadi pemberian beban tambahan bagi ASN sebagai aktivis politik. Tujuannya hanya satu, memastikan Golkar keluar sebagai pemenang pemilu.
Kebijakan monoloyalitas tersebut pada akhirnya mengakibatkan marjinalisasi dan diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi terhadap masyarakat. Politisasi pegawai negeri pada era tersebut terjadi akibat kebijakan massa mengambang melalui depolitisasi. Pegawai negeri dibuat sedemikian rupa agar buta terhadap politik.
Perlunya Kesadaran Politik ASN
Pada zaman now, ASN bukan lagi hanya sebagai implementator dari kebijakan tetapi juga berusaha ikut andil dalam pembuatan kebijakan. Disukai atau tidak, kehidupan ASN tidak bisa jauh dari pertarungan politik. Sudah seharusnya ASN ikut mengambil bagian dalam mempengaruhi kebijakan.
Misalnya, jika ada kebijakan dari pimpinan yang tidak sesuai dengan kemanusiaan, maka ASN zaman now wajib memberikan kritik dan masukan kepada pimpinan tersebut. Contoh lainnya, apabila ada atasan yang melanggar peraturan, maka ASN wajib hukumnya untuk menegur.
Penerimaan ASN baru pada era Presiden Joko Widodo tidak kemudian menjadikan mereka berhutang budi pada Jokowi dengan menjadi mesin politik pada pemilu mendatang. Mau memilih siapapun nantinya merupakan hak politik warga negara, termasuk CPNS.
Sudah seharusnya ASN justru tidak boleh netral, melainkan memiliki kepentingan, yaitu berpihak dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, bukan pada pemimpin. Untuk itu, jika perlu, ASN sebaiknya mendukung kandidat yang paling memiliki jiwa melayani masyarakat.
Dengan demikian ASN bukan lagi mesin yang bisa dijalankan sesuai dengan kepentingan politik pimpinan seperti pada zaman Orde Baru. ASN zaman now harus menunjukkan prinsip politik kritis sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penyair terkemuka dari Jerman, Bertolt Brecht, pernah mengatakan:
“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semuanya tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya dengan mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi terburuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”.
Tampaknya, apa yang dikatakan Brecht juga bisa terjadi pada ASN. Oleh karena itu, pada kondisi dimana ruang demokrasi terbuka lebar seperti saat ini ASN harus lebih melek politik. Sepertinya, sudah tidak ada ruang lagi bagi ASN yang apolitis. Pilihannya hanya dua: memiliki kesadaran politik kritis atau akan tergilas oleh kepentingan politik orang lain. ASN zaman now harus mampu berpikir kritis dan memosisikan dirinya tetap pada tujuan utama birokrasi, yaitu sebagai pelayan rakyat.
Epilog
Sikap apatis dan apolitis harus dihindari oleh ASN zaman now, bahkan mesti dibuang jauh-jauh. ASN harus mulai aware terhadap proses politik, tetapi bukan dengan ikut terjun dalam politik praktis.
Batasannya ada pada Undang-Undang tentang ASN dan Undang-Undang tentang Pemilu yang melarang ASN terlibat politik praktis. Namun, yang lebih penting dan utama adalah perlunya menumbuhkan kembali nalar serta kesadaran politik kritis dari ASN. Saya termasuk salah satu CPNS yang seharusnya juga memiliki nalar demikian. ***
Mahasiswa Program Doktoral FIA UB dan lulusan Magister Administrasi Publik UGM. Saat ini bekerja sebagai dosen STIA LAN Jakarta.
0 Comments