Pengantar redaksi:
Menulis ternyata bisa menyembuhkan diri sendiri (self-healing). Karenanya, kita tidak bisa merendahkan manfaatnya. Penelitian menunjukkan bahwa menulis dapat membantu seseorang mengatasi tekanan dan trauma. Bahkan, menulis bermanfaat untuk meningkatkan imunitas tubuh seseorang.
Hal itu bukan karena kata-kata yang ditulisnya, tetapi karena energi positif yang mengalir dari pemikiran diri dalam bentuk susunan kalimat. Energi ini bisa menyembuhkan mental dan berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik seseorang, terutama ketika sedang mengalami suatu proses kegagalan, seperti diberhentikan dari pekerjaan, bercerai dari pasangan, ditinggalkan oleh keluarga yang dicintai, atau bagi para remaja, ketika ditinggal oleh pacar tercinta.
Ternyata, bagi mereka yang bekerja di instansi publik, menulis juga mempunyai peran penting. Utamanya, ketika mereka tidak lagi difungsikan oleh pimpinan instansinya. Ketika tsunami neo-liberal reform melanda Indonesia saat ini, tidaklah aneh jika kita melihat begitu banyak mereka yang tidak difungsikan di instansi publik. Bahkan, bisa jadi mereka sebelumnya berada pada posisi eselon 1 sebuah instansi.
Mereka tidak difungsikan bisa karena tiba-tiba pemimpin instansinya berganti. Sebelum reform melanda Indonesia, sebuah instansi publik bisa bertahun-tahun dipimpin oleh pejabat yang sama. Bahkan, sebuah instansi bisa dipimpin sampai pejabat tersebut pensiun di usia senjanya. Hal itu kini sulit terjadi. Sebab, dengan berbagai alasan, reform telah membuka peluang pemimpin sebuah instansi berganti dalam hitungan detik.
Selain itu, akibat neo-liberal reform ini tidaklah aneh jika kita melihat suatu fungsi yang tadinya informal di instansi publik diformalkan dengan membentuk sebuah struktur baru. Akibatnya, mereka yang sebelumnya berperan penting di posisi informal itu malah tidak difungsikan dan digantikan oleh orang baru, yang belum tentu kompeten.
Karenanya, setiap pegawai instansi publik bisa mengalami tekanan (tension) and konflik (conflict) karena ketidakpastian (uncertainty) akibat program reform itu. Namun, yang terpenting bagi aparat instansi publik adalah bukan tentang ketidakpastian itu, tetapi bagaimana kita mampu menyembuhkan diri akibat ketidakpastian itu dan membangun kembali diri kita dari titik terendah.
Menulis bisa membantu kita melakukan hal itu. Bahkan, menulis bisa membantu kita berperan lebih jauh. Artikel berikut membuktikan hal tersebut. Penulis menguraikan bagaimana pengalaman menulisnya dapat menjadi sebuah terapi diri yang juga akhirnya bermanfaat bagi dirinya dan menginspirasi banyak orang lain di sekitarnya.
—
Sebuah petuah lama menyatakan:
Sejauh mana keinginan, kesungguhan, dan kesabaran Anda, maka sejarah akan menuliskannya. Kemuliaan tidak diberikan secara cuma-cuma. Kemuliaan didapat dari kesungguhan dan diperoleh dengan pengorbanan (Dr. Aidh al-Qarni).
Petuah itu mengembalikan ingatan saya pada suatu peristiwa di awal Juli 2017. Sore itu, saya hendak terbang ke kota Yogyakarta. Menjelang pesawat take-off, saya sejenak terdiam di sudut jendela pesawat. Saya memandang jauh ke depan. Saya merenungkan tentang hal yang telah saya lalui dari perjalanan hidup sepuluh tahun terakhir.
Secara cepat, banyak hal yang saya ingat kembali. Terutama perjalanan awal mula saya menulis. Perjalanan ini dimulai ketika saya lengser dari redaktur majalah di sebuah instansi publik. Setelah dua tahun lebih mengelola majalah tersebut, saya harus rela melepaskan posisi penting redaktur karena adanya struktur formal yang dibentuk oleh instansi tersebut.
Lepas dari posisi redaktur itu tidak membuat saya rendah diri. Akan tetapi, malah mendorong saya untuk terus menulis. Beruntungnya, semangat saya menulis malah membuka jalan saya bertemu dengan beberapa tokoh penting di negeri ini, seperti bupati, wali kota, gubernur, dan menteri. Pertemuan dengan mereka telah memberanikan saya untuk menulis tentang mereka.
Ketika di awal-awal menulis buku para kepala daerah, saya merasa tulisan saya masih standar dan tawar, jika tidak dapat dikatakan buruk atau kurang berkualitas. Hanya karena modal nekat saja saya akhirnya mampu bertahan sekitar lima tahun menulis berbagai buku tersebut.
Namun, dari menulis para kepala daerah itu, saya mendapatkan pengalaman luar biasa. Saya secara langsung dapat berguru kepada para praktisi politik dan pemimpin masyarakat. Dari merekalah kemudian saya belajar banyak hal, terutama tentang kepemimpinan, motivasi, maupun gairah hidup (passion).
Setelah lima tahun berlalu, saya kemudian mendapatkan banyak pertemanan. Merekalah yang kemudian hari membantu saya dalam menuliskan buku tentang para kepala daerah. Tim kecil inilah yang senantiasa mendorong saya untuk tetap menulis dan berkarya. Mereka seakan tak pernah lelah mengingatkan saya bahwa menulis adalah pekerjaan mulia.
Di kemudian hari, saya tidak lagi menulis buku tentang para kepala daerah. Saya kemudian menulis buku motivasi. Sebagaimana pernah saya tulis, buku motivasi ini sebenarnya adalah catatan harian saya. Catatan motivasi untuk diri saya sendiri, dan sebenarnya bukan untuk memotivasi orang lain. Saya membukukannya karena merasa terdorong bahwa apa yang saya rasakan perlu dibagikan kepada orang lain. Karenanya, saya mengumpulkan tulisan-tulisan pendek itu dan menerbitkannya menjadi sebuah buku.
Perjuangan menulis buku motivasi ini pun tidak kalah beratnya dengan menulis buku tentang para kepala daerah. Awalnya, banyak orang mencibir apakah saya bisa merampungkan buku di tengah kesibukan rutinitas saya sebagai birokrat. Ada juga yang mengkritik tentang kualitas tulisan saya. Bahkan, ada juga fitnah yang menohok sekali, seperti saya sekedar ingin menjual buku ketika bersedia mengisi suatu pelatihan.
Semua itu kadang membuat saya galau. Namun, tekad saya telah bulat untuk terus menulis. Cibiran mereka malah menjadi tambahan energi penguat tubuh saya. Ia ibarat jamu yang rasanya pahit saat dilidah, tetapi menguatkan tubuh saya saat larut di dalam tubuh.
Dalam menyikapi cibiran itu, saya berpandangan bahwa hidup ini bukanlah untuk berpikir dan mendengarkan banyak cibiran orang. Hidup itu adalah bertindak. Lebih baik bertindak daripada sekedar menggerutu. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
Pandangan hidup itu kemudian mengantarkan saya melahirkan buku Birokrat Menulis. Buku itu cukup berhasil mengambil hati para birokrat. Banyak yang memperbincangkannya. Bahkan, buku tersebut telah mengantarkan saya bertemu dengan para birokrat hebat — yang juga mempunyai gairah yang sama dengan saya — di komunitas yang kebetulan namanya sama dengan judul buku tersebut, yaitu ‘Pergerakan Birokrat Menulis’.
Kelahiran buku Birokrat Menulis juga semakin menguatkan tekad saya untuk terus menulis. Saya terus bermimpi menjadi penulis hebat dengan bermodal nekat dan keteguhan. Pertemuan dengan para birokrat yang juga penulis hebat di Pergerakan Birokrat Menulis semakin menguatkan langkah saya untuk terus maju melangkah dan menikmati setiap rintangan yang ada.
Menjadi birokrat memang adalah panggilan negara untuk mengabdi pada negeri ini. Akan tetapi, menulis juga adalah panggilan hati untuk berkontribusi dalam mengubah tradisi birokrat saat ini agar tidak hanya sekedar menyibukkan diri sendiri dengan rutinitas dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Intinya, saya tidak ingin hanya sekedar menjadi birokrat yang menghabiskan waktu dengan rutinitas kerja tanpa inovasi, refleksi, dan bertindak.
Reform Leader Academy (RLA) yang baru-baru ini saya ikuti juga telah memberi inspirasi baru yang luar biasa. Saya merasakan ikatan yang kuat di akademi ini. Dari akademi ini, saya semakin menyadari bahwa kemajuan bisa dicapai dengan melakukan sinergi, bekerja dalam tim (team work), serta inovatif.
Saya yakin, pilihan saya saat ini untuk tetap menulis, selain sebagai birokrat, akan mengantarkan saya pada arah yang tepat. Saya bermimpi langkah ini akan menginspirasi para birokrat untuk mau keluar dari zona nyamannya.
Semoga semakin banyak birokrat yang terinspirasi untuk berkarya melalui tulisan di laman Pergerakan Birokrat Menulis yang nantinya akan menginspirasi anak negeri.
Pegawai BPKP yang dipekerjakan di Kementerian PAN dan RB dan kandidat Doktor pada Program Doktor Ilmu Sosial di Universitas Pasundan. Seorang penulis buku dan sudah menulis lebih dari 20 buku.
0 Comments