Menuju Indonesia Emas 2045, Pendidikan Harus Memanusiakan

by | Aug 12, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Tahun 2045 bukan sekadar angka bersejarah. Di tahun itu, Indonesia genap 100 tahun merdeka, dan pemerintah mencanangkan cita-cita besar, yakni menjadi negara maju, adil, makmur, dan berdaulat. 

Tapi semua cita-cita itu akan jadi slogan semata jika kita gagal menjawab pertanyaan: apakah sistem pendidikan kita benar-benar membebaskan dan membangun manusia Indonesia seutuhnya?

Percepatan Luar Biasa

Di tengah ledakan teknologi dan perubahan global yang makin cepat, pendidikan tak bisa lagi berjalan di rel lama. Dunia saat ini mengalami percepatan luar biasa, dari revolusi industri 4.0, kecerdasan buatan, perubahan iklim, hingga ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global. 

Semua itu menciptakan tantangan dan peluang baru yang tak bisa dihadapi dengan pendekatan pendidikan yang usang, birokratis, atau sekadar administratif.

Sekolah bukan lagi sekadar bangunan fisik tempat guru mengajar dan murid mendengar. Kita membutuhkan sistem pembelajaran yang cerdas, merata, dan memanusiakan. Tiga kata kunci ini penting untuk dielaborasi, yaitu cerdas, merata, dan memanusiakan.

Sistem pembelajaran cerdas bukan hanya soal penggunaan teknologi dalam ruang kelas, tetapi juga tentang bagaimana sistem mampu merespons kebutuhan peserta didik secara adaptif dan berbasis data. 

Kecerdasan Buatan dan Ironi Di Baliknya

Pendidikan hari ini harus bersandar pada pemanfaatan kecerdasan buatan, pembelajaran berbasis personalisasi (personalized learning), dan sistem evaluasi yang lebih holistik. 

Siswa tidak bisa lagi dicetak dalam cetakan yang sama. Mereka perlu dipahami sebagai individu dengan gaya belajar, potensi, dan konteks sosial yang berbeda. 

Sistem cerdas mampu membantu guru memahami data siswa secara real time, memetakan potensi, dan memberikan intervensi yang tepat.

Kemajuan teknologi akan menjadi ironi jika hanya memperlebar kesenjangan. Di saat sebagian kota besar menikmati akses internet dan sumber belajar digital, masih banyak wilayah yang bahkan kekurangan guru atau listrik. 

Maka, pemerataan pendidikan bukan sekadar slogan,
melainkan agenda keadilan sosial yang harus diupayakan lewat distribusi
sumber daya yang berimbang, infrastruktur digital yang menyeluruh, dan dukungan kepada daerah tertinggal, terpencil, dan terluar. Pendidikan yang merata adalah prasyarat
dari demokrasi dan kemajuan bangsa.

Mendekatkan Kembali pada Kemanusiaan

Di era serba digital ini, manusia justru harus didekatkan kembali dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan yang memanusiakan berarti menghargai emosi, integritas, kreativitas, dan akal budi peserta didik. 

Ini adalah pendidikan yang menempatkan anak bukan hanya sebagai objek kurikulum, tapi sebagai subjek utama dalam proses belajar. Pendidikan yang memanusiakan memberi ruang untuk kesalahan, eksplorasi, dialog, dan rasa ingin tahu. Ia mengasuh jiwa, bukan hanya mengisi kepala.

Maka, reformasi pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan metode, tetapi juga soal cara berpikir. Kita butuh paradigma baru, ekosistem baru, dan keberanian untuk mengubah hal-hal yang telah lama usang. 

Ini bukan hanya pekerjaan kementerian atau sekolah, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh bangsa. Karena di tengah arus global yang makin deras, satu-satunya pelampung yang dapat menyelamatkan masa depan kita adalah pendidikan — asalkan ia cerdas, merata, dan tetap memanusiakan.

Pendidikan Indonesia telah mengalami perluasan luar biasa. Sekolah kini ada di hampir semua wilayah. Tapi ironisnya, kualitas belum mengimbangi kuantitas. Banyak siswa datang ke sekolah, tapi tidak semua pulang dengan pemahaman.

Tantangan menuju 2045 tidak hanya soal angka partisipasi, tetapi soal apa yang benar-benar dipelajari, dan bagaimana cara mereka belajar. Kita butuh kurikulum yang hidup, bukan kaku. Kita butuh guru yang terlatih untuk memfasilitasi pertumbuhan anak, bukan hanya menyampaikan materi.

Teknologi Pembelajaran: Potensi Besar, Risiko Tak Kecil

Teknologi menjanjikan keajaiban seperti kecerdasan buatan, realitas virtual, dan pembelajaran personal yang disesuaikan dengan minat dan bakat anak. Semua itu membuka jalan baru bagi pendidikan yang lebih efektif dan inklusif.

Namun, teknologi bukan peluru perak. Ia bisa mempercepat kesenjangan jika tak diiringi akses yang adil dan kecakapan digital yang merata. Sebagian siswa akan terbang dengan tablet dan chatbot pintar, sementara yang lain masih mencari sinyal di atap rumah.

Menuju 2045, Indonesia harus menjadikan infrastruktur digital
dan literasi digital sebagai prioritas nasional. Tanpa itu, “Indonesia Emas” hanya akan dinikmati oleh minoritas yang berada di pusat-pusat pertumbuhan.

Pendidikan di abad ke-21 bukan hanya soal konten, tapi hubungan antara manusia dan nilai. Teknologi bisa menyampaikan informasi, tetapi hanya guru yang bisa menanamkan nilai, karakter, dan empati. 

Dunia berubah terlalu cepat untuk dihadapi dengan cara-cara lama. Pendidikan kita harus melahirkan manusia yang mampu berpikir kritis, bukan sekadar menghafal, mampu bekerja sama lintas budaya dan teknologi, serta mampu belajar mandiri sepanjang hayat.

Tahun 2045 hanya akan menjadi tonggak emas jika kita menyiapkan manusianya sejak hari ini. Investasi terbaik bukan pada gedung, bukan pada perangkat, tapi pada pikiran dan hati anak-anak kita. 

Jika pendidikan kita mampu memadukan teknologi dengan nilai, memadukan kecanggihan dengan kasih sayang, Indonesia bukan hanya akan menjadi negara maju, tetapi juga negara yang beradab dan bermartabat. 

Karena pada akhirnya, “Indonesia Emas” bukan tentang ekonomi atau infrastruktur saja, tapi juga tentang apakah anak-anak kita bisa tumbuh utuh sebagai manusia.

0
0
Sigit Rais ♥ Associate Writer

Sigit Rais ♥ Associate Writer

Author

Penulis menjabat sebagai Pengembang Teknologi Pembelajaran Pertama pada Badiklat PKN BPK RI. Sejak 2009 telah menulis dan menerbitkan sejumlah buku, baik buku ajar sekolah, sastra, kiat bisnis, cerita anak, maupun buku pengetahuan umum dan ensiklopedi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post