Pada pidato pelantikannya tanggal 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan tantangan berat bangsa ini ke depan. Selain dari luar, katanya, tantangan terberat kita adalah dari diri kita sendiri.
Mengatasi tantangan dari diri kita sendiri tersebut, Prabowo mengajak kita semua membangun kerja sama antar pemimpin bangsa. Namun, ia juga mengakui pada berbagai pidatonya sebelum dilantik, membangun kerja sama antar pemimpin bangsa ini tidaklah mudah di Indonesia mengingat beragamnya etnik, kepercayaan, tingkat pendidikan, dan budaya kita.
Prabowo juga berulang kali mengingatkan bahwa bangsa Indonesia sebenarnya sudah sejak dulu bisa maju jika seluruh pemimpin bangsa mau bekerja sama.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah membangun kerja sama para pemimpin bangsa di Indonesia agar program/kegiatan pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik di masa pemerintahan Prabowo Subianto?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini mengusulkan penggunaan pendekatan atau alat manajemen risiko pembangunan nasional (MRPN) untuk menjalin kerja sama pemimpin bangsa dalam program/kegiatan pembangunan nasional.
Kenapa demikian? Karena pendekatan MRPN memungkinkan kita menyatukan para pemimpin bangsa pada nilai-nilai dan visi bersama (shared values and vision), bukan lagi sekadar pada nilai-nilai dan visi individu.
Apalagi, pendekatan MRPN ini telah diformalkan dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023. Presiden Prabowo sendiri pada Peraturan Presiden Nomor 140 Tahun 2024 tentang Organisasi Kementerian Negara telah menyatakan bahwa Menteri Koordinator dan Menteri tidak saja harus menerapkan sistem akuntabilitas Kinerja pemerintah (SAKIP) dan transformasi digital nasional, tetapi juga MRPN (Pasal 79).
Tantangan Membumikan Manajemen Risiko
Sebelum membahas lebih jauh MRPN, kita perlu terlebih dahulu memahami manajemen risiko dan tantangannya.
Manajemen risiko sebenarnya sudah mulai menjadi bahasa sehari-hari. Ia sudah banyak membantu banyak perusahaan dalam menjaga keberlangsungan usahanya.
Bahkan, di dunia perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah banyak mengeluarkan kebijakan terkait manajemen risiko. Kebijakan ini menjadi acuan penting dalam mengaudit bank dan menjadi dasar audit berbasis risiko (risk based audit).
Sayangnya, di Indonesia belum banyak pemimpin bangsa yang menjadikan manajemen risiko sebagai pendekatan atau alat untuk mencapai keberhasilan program/kegiatan pembangunan nasional.
Penyebabnya, kita masih terperangkap memperdebatkan hal-hal masa lalu yang biasanya sudah menjadi masalah.
Sebagai contoh, di kota-kota besar, kita menghadapi masalah kemacetan, perumahan kumuh, air sungai yang kotor, polusi udara, bahkan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali.
Di desa-desa, kita menghadapi masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, layanan kesehatan yang buruk, dan infrastruktur fisik yang terbatas.
Itu juga sebabnya, kita kebanyakan masih disibukkan dengan upaya mengatasi masalah masa lalu dibandingkan dengan bergeser dengan berfokus ke masa depan.
Karena itu, kita membutuhkan perubahan pendekatan, dari yang tadinya lebih banyak menggunakan pendekatan yang hanya mengatasi masalah masa lalu menjadi pendekatan yang dapat melihat masa depan dengan memitigasi risiko.
Hal ini dapat kita mulai dengan memahami secara mendasar perbedaan ‘risiko’ dengan ‘masalah’ sebagaimana dijelaskan pada Kotak 1.
Kotak 1. Perbedaan Risiko dan Masalah Risiko yang sudah terjadi adalah masalah atau isu, sedangkan masalah yang belum terjadi adalah risiko. Karena itu, manajemen keduanya berbeda, yaitu risiko dikelola dengan manajemen risiko, sedangkan masalah dikelola dengan manajemen masalah atau manajemen isu. Masalah juga perlu segera diselesaikan atau dipecahkan dengan penanganan atau pemecahan masalah (problem solving), bukan dengan penyelesaian risiko (risk solving). Sebab, risiko tidak untuk diselesaikan atau dipecahkan, tetapi dimitigasi dan dikelola. Risiko juga adalah bagian dari kehidupan kita yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Setiap usaha kita untuk mencapai tujuan tertentu, pasti akan menghadapi risiko, baik risiko yang dapat menghambat usaha kita maupun risiko yang justru akan membantu atau menguatkan usaha kita tersebut. Sebagai contoh, ketika kita akan menuju ke lokasi tertentu, kita bisa menggunakan pesawat udara. Pilot pesawat udara bisa menghadapi risiko tidak sampainya ke tujuan karena pergerakan udara yang tidak terduga. Namun, pergerakan udara ini juga dapat membantu kecepatan pesawat untuk mencapai tujuan. Karenanya, kedua risiko ini harus dikelola dengan baik agar pesawat dapat mencapai tujuannya, yaitu risiko negatif maupun risiko positif. |
Intinya, manajemen risiko akan memungkinkan kita untuk mampu mengelola masa depan dengan lebih baik dan tidak terperangkap dengan masa lalu. Kita tidak lagi terkaget-kaget dengan apa yang akan terjadi atau tidak akan terjadi di masa depan.
MRPN untuk Menjalin Kerja Sama Pemimpin Bangsa
Sekarang, mari kita mulai membahas pendekatan MRPN untuk menjalin kerja sama pemimpin bangsa dalam program/kegiatan pembangunan nasional.
Untuk memudahkan, bagian berikut akan membahas peran MRPN dalam pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur ketahanan pangan dan energi yang menjadi unggulan Presiden Prabowo Subianto.
Secara khusus, bagian berikut akan membahas infrastruktur konektivitas. Sebab, pada program/kegiatan apa pun, keberadaan infrastruktur konektivitas sangat penting. Hampir seluruh program/kegiatan sangat bergantung pada keberadaan infrastruktur konektivitas.
Secara khusus, pada bagian berikut akan dibahas bagaimana pendekatan MPRN dapat menjalin kerja sama pemimpin bangsa pada pembangunan infrastruktur konektivitas, yaitu dimulai dengan secara bersama-sama atau kolektif mengidentifikasi proses bisnis suatu program/kegiatan.
Identifikasi Proses Bisnis
Penggunaan pendekatan MRPN untuk menjalin kerja sama pemimpin bangsa dimulai dari pemahaman atas proses bisnis suatu program/kegiatan.
Sebagai contoh, dalam pembangunan infrastruktur konektivitas, proses bisnisnya secara garis besar dimulai dari tahap perencanaan, yang di dalamnya terdapat penyusunan program (termasuk anggaran), perencanaan teknis, dan pengadaan tanah.
Selanjutnya, tahap pelaksanaan, yang dimulai dengan pemilihan penyedia, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan lapangan. Setelah kedua tahapan ini selesai, maka tahap selanjutnya adalah pemanfaatan dan preservasi.
Dengan demikian, tampak bahwa pembangunan infrastruktur konektivitas tidak hanya berhenti sampai dengan selesainya pembangunan fisik, tetapi juga sampai dengan pemanfaatan dan preservasi, bahkan pemeliharaan dan perbaikannya ke depan.
Identifikasi Pemangku Kepentingan
Setelah memahami proses bisnis tersebut, untuk menjalin kerja sama pemimpin bangsa, pada pendekatan MRPN kita mengidentifikasi berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam suatu program/kegiatan pembangunan nasional.
Hal tersebut akan memungkinkan kita memahami para pemangku kepentingan, perannya, dan kemudian dapat menjalin kerja sama mengelola dan memitigasi risiko suatu program/kegiatan.
Sebagai contoh, selama ini dalam pembangunan infrastruktur konektivitas, kita harus memahami bahwa bukan hanya Kementerian atau Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menjadi pemangkunya, tetapi banyak pemangku lain dalam proses bisnis pembangunan infrastruktur konektivitas ini.
Paling tidak, pemangku lain yang terlibat adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang tugasnya berkaitan dengan perumusan arah pembangunan. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur konektivitas, peran Bappenas dapat terkait dengan pemilihan lokasi yang menjadi prioritas dan penyelarasan program/kegiatan antar pihak.
Lalu, terdapat Kementerian Keuangan, yang tentu saja perannya terkait dengan pembiayaan suatu program/kegiatan. Selain dari APBN, melalui Kementerian Keuangan, pembiayaan suatu program/kegiatan dimungkinkan dari lembaga internasional, seperti Bank Dunia.
Bisa juga suatu program/kegiatan dibiayai melalui kerja sama dengan swasta, yaitu melalui skema Public-Private-Partnership. Jika skema ini digunakan, maka pemangku kepentingan yang terlibat akan semakin banyak.
Lalu, masih banyak instansi lainnya yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur konektivitas, seperti Kementerian Perhubungan, terkait dengan bagaimana semestinya jaringan jalan dibuat, keterhubungan dengan bandara, terminal, dan stasiun.
Terdapat juga Kementerian Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan izin lingkungan. Mereka akan menilai, apakah proyek yang akan dibangun tidak membahayakan ekosistem.
Selanjutnya, Badan Pertanahan Nasional terkait dengan lahan. Ini bagian yang sangat penting dalam pembangunan infrastruktur konektivitas karena sering terjadi sengketa lahan pada lokasi yang hendak dibangun. Ujungnya, tidak dapat terlaksananya pembangunan ataupun terdapat perubahan rencana, yang biasanya dengan penambahan biaya besar.
Selanjutnya, yang tidak bisa dilupakan adalah keberadaan pemerintah daerah. Sebagai pemilik wilayah, peran pemerintah daerah tidak dapat dilupakan. Dalam perencanaan, pemerintah daerah dapat berperan dalam hal pembebasan lahan.
Pada tahapan pelaksanaan, paling tidak terdapat pemangku kepentingan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang mengatur proses pengadaan barang/jasa pemerintah dan penyedia barang/jasa yang mengerjakan langsung suatu program/kegiatan.
Setelah tahap pelaksanaan, pada tahap pengoperasian dan preservasi, terdapat pemangku utama pemerintah daerah. Mereka adalah penanggung jawab wilayah yang sering menjadi “penerima manfaat” dari infrastruktur konektivitas yang telah terbangun.
Selain itu, karena merupakan “penerima manfaat,” tentunya pemerintah daerah juga bertanggung jawab dalam hal pemeliharaannya.
Selain yang diuraikan sebelumnya, terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat yang melakukan pengawasan internal.
Selanjutnya, terdapat aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan pengawasan terkait keamanan dan ketertiban, Kementerian Dalam Negeri terkait dengan pengawasan kepada pemerintah daerah, dan Kejaksaan Agung terkait dengan aspek perdata dan pidana suatu program/kegiatan pembangunan nasional.
Risiko-Risiko Pembangunan Nasional
Setelah memahami proses bisnis dan pemangku kepentingannya, untuk menjalin kerja sama pemimpin bangsa, dalam pendekatan MRPN kita harus mengidentifikasi risiko-risiko pembangunan nasional berdasarkan proses bisnis yang sudah diidentifikasi.
Sebagai contoh, pada pembangunan infrastruktur konektivitas, risiko-risikonya tampak dalam kotak 2.
Kotak 2. Risiko-Risiko Pembangunan Infrastruktur Konektivitas Tahap Perencanaan: – Ketepatan identifikasi risiko proyek – Ketepatan alokasi anggaran – Koordinasi dengan para pemangku kepentingan – Keselarasan kebijakan/aturan Tahap Pelaksanaan Konstruksi – Ketersediaan sumber daya, baik material, mesin/alat, ataupun manusia – Kejahatan korupsi – Ketersediaan anggaran – Sosial dan keamanan – Akuntabilitas proses pengadaan – Perubahan kondisi alam dan cuaca Tahap Penyelesaian dan Serah Terima – Kesesuaian program/kegiatan dengan kebutuhan – Penyelesaian tindak lanjut setelah serah terima Tahap Pemanfaatan dan Preservasi – Pemanfaatan hasil kegiatan – Ketersediaan anggaran pada tahap pemanfaatan |
Kegiatan Kerja Sama MRPN
Berdasarkan hasil identifikasi risiko sebelumnya, kemudian para pemimpin bangsa melakukan kegiatan kerja sama secara kolektif dengan memitigasi berbagai risiko suatu program/kegiatan pembangunan nasional.
Sebagai contoh, pada pembangunan infrastruktur konektivitas yang merupakan program/kegiatan lintas sektoral, pada setiap tahapan terdapat beberapa kegiatan yang perlu dimitigasi secara bersama, dari mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemanfaatan dan preservasi.
Beberapa kegiatan tersebut diuraikan pada kotak 3.
Kotak 3. Kegiatan Kerja Sama pada Pendekatan MRPN Tahap Perencanaan Identifikasi dan Perencanaan Mitigasi Risiko Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi risiko dan membuat rencana mitigasi risiko. Dalam pengidentifikasian risiko ini, para pemimpin bangsa dapat mengetahui berbagai risiko yang mungkin terjadi, baik secara retrospektif, prospektif, ataupun prediktif. Analisis Keterkaitan dan Tanggung Jawab Pemangku Kepentingan Analisis keterkaitan para pemangku kepentingan sangat diperlukan sehingga ketika terjadi masalah, dapat diketahui tanggung jawab masing-masing pemangku yang terlibat dan menyelesaikan masalah secara bersama. Reviu Rancangan Selanjutnya, penelaahan rancangan suatu program/kegiatan dengan melibatkan berbagai pihak sehingga didapatkan keyakinan. Misalnya, dalam pembangunan jembatan, Kementerian Perhubungan dan Kepolisian (Satlantas) dilibatkan untuk melihat dari sisi arus lalu lintas dan menguji apakah rancangan yang dibuat bisa mengurangi kepadatan arus lalu lintas atau malah hanya memindahkan kepadatan dari satu titik ke titik lainnya. Evaluasi Anggaran Selain mengevaluasi rancangan, penting juga untuk melakukan evaluasi bersama atas anggaran. Dalam evaluasi anggaran, secara bersama dapat dipastikan apakah dana yang dianggarkan telah cukup mempertimbangkan risiko yang telah diidentifikasi sebelumnya. Tahap Pengadaan Evaluasi Kesesuaian Prosedur Evaluasi ini secara khusus dapat ditujukan pada pengadaan barang/jasa (PBJ), yaitu apakah telah sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku. Evaluasi ini fokus pada Tim Pengadaan, Konsultan Pengawas, Pejabat Pembuat Kontrak, Panitia Peneliti Kontrak, Kepala Unit Kerja, dan seterusnya. Penilaian Kewajaran Harga Penilaian kewajaran harga dilakukan dengan survei harga, pembandingan barang sejenis di e-katalog, mengecek peraturan terkait Standar Biaya Masukan (SBM), maupun melakukan analisis harga satuan. Pemastian Kualitas Barang dan Jasa Setelah barang/jasa yang diadakan telah terdistribusi, perlu dibahas apakah kualitasnya telah sesuai dengan yang disepakati (spesifikasi, standar kualitas yang diinginkan, dan sejenisnya). Tahap Konstruksi Monitoring dan Evaluasi Progres Pekerjaan Pada monitoring secara berkala atas pekerjaan yang sedang dikerjakan, biasanya dibahas dokumen monthly ceritifcate (MC). Evaluasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Dalam sebuah program/kegiatan, keselamatan pekerja merupakan hal yang sangat penting karena tanpa pegawai dengan kondisi sehat dan aman, proyek tidak akan berjalan dengan baik. Oleh sebab itu, perlu dievaluasi penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Proses ini biasanya melibatkan Dinas Tenaga Kerja dan juga pihak ketiga jika diperlukan (misalnya, Sucofindo untuk uji kelayakan kendaraan berat). Evaluasi Manajemen Risiko Di awal, sudah dibahas identifikasi dan rencana mitigasi risiko. Setelah berjalan, perlu dievaluasi apakah penerapannya sudah optimal atau belum. Selain itu, dapat dinilai jika terdapat risiko-risiko baru yang sebelumnya belum teridentifikasi. Tahap Penyerahan dan Penyelesaian Pemeriksaan Akhir Pemeriksaan akhir dapat dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan telah benar-benar terselesaikan. Telaah Pisah-Batas Kegiatan lainnya yang dapat dilakukan untuk memberikan keyakinan atas penyelesaian kontrak sebelum dilakukan serah terima adalah dengan melakukan telaah pisah batas. Melalui kegiatan ini, dapat dipastikan seluruh item yang terpasang telah sesuai dengan kontrak dan progres fisik telah sesuai dengan yang dilaporkan. Tahap Pemanfaatan dan Preservasi Evaluasi Pemanfaatan Perlu dipastikan apakah infrastruktur yang dibangun memberikan dampak positif bagi masyarakat, mendukung target-target nasional, dan memecahkan masalah yang timbul sebelumnya. Evaluasi Preservasi Setelah mengevaluasi hal-hal tersebut, dapat dibahas risiko-risiko kerusakan dan kemudian mengambil simpulan apakah suatu pembangunan infrastruktur konektivitas dikatakan berhasil atau tidak. |
Penutup
Tulisan ini telah menguraikan bagaimana Presiden Prabowo Subianto dapat menjalin kerja sama para pemimpin bangsa dengan menggunakan pendekatan MRPN untuk menjalankan berbagai program/kegiatan pembangunan nasional.
Pada tulisan ini, diulas pendekatan MRPN yang dapat digunakan dalam menjalin kerja sama pemimpin bangsa mencapai keberhasilan pembangunan infrastruktur konektivitas yang merupakan program/kegiatan lintas sektoral melalui identifikasi dan mitigasi risikonya secara bersama atau kolektif.
Dengan pendekatan MRPN ini, para pemimpin bangsa dapat menjalin kerja sama yang lebih erat dan intensif. Dengan demikian, Indonesia Emas bisa direalisasikan.***
Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis.
Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI).
Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”.
Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia).
Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management.
Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.
0 Comments