Sebagai bagian dari birokrasi negara, Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki mandat penting untuk menjaga integritas pelayanan publik. ASN tidak hanya menyusun dan menjalankan kebijakan namun juga dituntut untuk memberikan keteladanan dalam menegakkan nilai-nilai antikorupsi.
Nilai dasar ASN yang dirumuskan dalam BerAKHLAK (terutama Akuntabel) menuntut ASN untuk bersikap jujur, transparan, dan bertanggung jawab dalam setiap tugas. Nilai ini diturunkan ke dalam Kode Etik dan Kode Perilaku ASN untuk mencegah konflik kepentingan, gratifikasi, hingga penyalahgunaan wewenang.
Untuk memastikan kepatuhan, terdapat mekanisme penegakan disiplin pegawai melalui berbagai larangan, kewajiban, dan sanksi administratif bagi pelanggar.
Urgensinya jelas: antikorupsi sebagai syarat terbangunnya kebijakan berkualitas sehingga memberikan manfaat pembangunan yang benar-benar dirasakan publik. Hal ini penting untuk mewujudkan cita-cita nasional Indonesia “memajukan kesejahteraan umum”.
Realita Penegakan Antikorupsi Terkini
Efektivitas penegakan antikorupsi menjadi penentu apakah nilai-nilai tersebut terpelihara dalam keseharian masyarakat dan ASN. Kredibilitas kelembagaan dalam penanganan tindak pidana korupsi memainkan peran penting dalam menjaga kepercayaan publik dan keberanian melaporkan penyimpangan.
Sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019, banyak kajian menilai independensi dan fleksibilitas KPK menurun karena adanya lapis perizinan untuk tindakan seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Adanya perubahan pegawai KPK menjadi ASN juga berpotensi memperlambat gerak investigasi (Nasuha & Isharyanto, 2023; Habibi, 2020).
Temuan-temuan ini menegaskan bahwa penegakan nilai antikorupsi ASN membutuhkan lembaga yang benar-benar mampu bertindak cepat dan bebas dari tekanan yang tidak semestinya atau independen.
Dari sudut pandang fiskal, skala korupsi Indonesia terasa nyata. Kejaksaan Agung mencatat kerugian negara akibat dugaan korupsi sepanjang 2024 mencapai Rp310,61 triliun, selain USD 7,88 juta dan 58,135 kg emas (AntaraNews, 2024).
Angka sebesar ini menggambarkan kebocoran yang menguras kapasitas fiskal dan mempersempit ruang kebijakan publik untuk kesejahteraan masyarakat.
Di sisi lain, KPK melaporkan setoran ke kas negara sebesar Rp403,02 miliar pada Semester I/2025 yang merupakan gabungan penerimaan hasil penanganan perkara, TPPU, pelaporan gratifikasi, dan PNBP terkait (KPK, 2025).
Jika dibandingkan secara kasar dengan angka kerugian 2024, besaran setoran semesteran tersebut kira-kira 0,13 persen dari total kerugian yang dicatat Kejaksaan Agung.
Sebagai tambahan konteks, hingga 31 Mei 2024 KPK menyatakan telah mengembalikan Rp296,5 miliar aset hasil tindak pidana korupsi ke kas negara (Rahmawati, 2024).
Hal ini mengindikasikan lebarnya jurang ketimpangan antara kerugian dengan nilai pengembalian serta perlunya instrumen pemulihan aset negara yang lebih efektif.
Dalam konteks global, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 Indonesia memperoleh skor 37/100 dan peringkat 99 dari 180 negara. Skor ini naik tiga poin dibanding tahun sebelumnya, tetapi tetap menegaskan pekerjaan rumah besar untuk memperkuat tata kelola dan konsistensi penegakan nilai-nilai antikorupsi (Transparency International, 2025).
Pembahasan antikorupsi perlu diletakkan pada dua pijakan hukum yang saling menguatkan.
- Pertama, UU KPK yang benar-benar menjamin independensi, ketajaman, dan kecepatan penindakan (dari standar perizinan tindakan hingga tata kelola SDM perlu berbasis merit dan terlindung dari intervensi). Tanpa KPK yang kapabel dan independen, keberanian ASN melapor bisa “tumbang” sebelum penyidikan.
- Kedua, RUU Perampasan Aset sebagai alat untuk menutup kebocoran secara ekonomis, bukan hanya menjerat pelaku secara pidana.
RUU ini memakai mekanisme perampasan aset non-conviction based (in rem). Artinya, pengadilan bisa merampas harta yang diduga kuat berasal dari tindak pidana meski perkara pidananya belum ada putusan tetap.
Dengan cara ini, aset tidak akan sempat dipindah-pindahkan atau disamarkan (misalnya diubah/ditransfer ke orang lain, dipecah ke banyak transaksi, atau dibawa ke luar negeri).
Mekanisme ini berpotensi mempercepat pemulihan asset memutus keuntungan finansial dari korupsi sejak awal sehingga bisa memberi efek jera (Assegaf, 2025).
Saat ini, RUU Perampasan Aset sudah masuk Prolegnas Prioritas 2025–2026. Pembahasan disebutkan ditunda untuk sinkronisasi dengan KUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih norma (Hidayat, 2025).
Praktik Negara Lain
Praktik penindakan korupsi di negara lain pada 2024 menunjukkan bahwa pemulihan aset berbasis perdata dan kerja sama lintas negara memungkinkan untuk dilakukan.
Departemen Kehakiman AS (DOJ) pada 13 Juni 2024 mengumumkan repatriasi tambahan USD 156 juta kepada Malaysia dalam perkara 1MDB, sehingga total yang dikembalikan DOJ mencapai sekitar USD 1,4 miliar (DOJ, 2024a).
Dua minggu kemudian, DOJ mengumumkan kesepakatan untuk memulihkan lebih dari USD 100 juta aset tambahan yang terkait skema tersebut, bagian dari perampasan sipil terbesar yang pernah ditangani DOJ (DOJ, 2024b).
Sementara itu, Vietnam melaporkan capaian “rekor” pemulihan lebih dari 116.531 miliar VND untuk perkara perdata/administratif secara keseluruhan, termasuk lebih dari 22.177 miliar VND khusus untuk korupsi dan kejahatan ekonomi yang berhasil dieksekusi oleh sistem penegak putusan perdata (VietNamNet, 2024).
Angka-angka ini menegaskan bahwa pendekatan menyeluruh dapat menindak aktivitas korupsi dan menghasilkan kenaikan pemulihan asset signifikan dalam satu tahun kalender.
Bila direfleksikan dalam konteks Indonesia, maka jelas bahwa UU KPK perlu memastikan proses penindakan korupsi tidak terhenti oleh gesekan birokratis.
Sementara itu, RUU Perampasan Aset perlu disahkan dengan desain implementasi dan monev yang kuat (standar pembuktian jelas, transparansi putusan, ruang pembelaan memadai, serta pengawasan independent pada setiap proses) agar tidak beralih menjadi alat tekanan politik.
Jika dua pilar ini berjalan serempak, nilai BerAKHLAK ASN tidak akan terhenti sebagai etika personal, melainkan menjadi praktik kelembagaan yang sistematis dimana laporan bergerak, aset kembali, dan pelapor terlindungi.
Penutup
Kehadiran UU KPK yang kuat dan RUU Perampasan Aset yang matang harus dipandang sebagai satu kesatuan.
- UU KPK memastikan penindakan berjalan cepat, independen, dan tepat sasaran.
- RUU Perampasan Aset memastikan hasil kejahatan tidak kembali dinikmati pelakunya dan kebocoran anggaran benar-benar ditutup.
Tanpa KPK yang kapabel, perampasan aset rawan jadi alat represif. Tanpa perampasan aset, penindakan KPK kehilangan ujung tombak pemulihan.
Bagi ASN, penindakan korupsi bukanlah isu remeh. Ketika sistem hukum kokoh dan mekanisme pemulihan berjalan, ASN yang menolak gratifikasi atau berani melapor akan merasakan kehadiran negara di pihaknya.
Nilai BerAKHLAK (terutama Akuntabel) tidak hanya sekedar nilai yang dibacakan dalam apel pagi. Nilai tersebut hidup dalam prosedur yang pasti, perlindungan pelapor yang nyata, dan transparansi yang bisa diaudit publik.
Singkatnya, memperkuat antikorupsi di lingkungan ASN memerlukan sinergi nilai internal (integritas, keberanian, akuntabilitas) dan dukungan eksternal (lembaga penegak yang independen, regulasi yang presisi, serta pengawasan yang terbuka).
Indonesia tidak perlu jargon baru, Indonesia perlu sistem yang efektif. Dengan demikian, semangat antikorupsi ASN bukan hanya bertahan, tetapi terealiasasikan melalui kebijakan yang lebih berkualitas, ruang fiskal yang terjaga, dan tercapainya cita-cita nasional berupa kesejahteraan umum yang dirasakan semua lapisan masyarakat.














0 Comments