Prolog
Pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah ternyata tidak mudah. Berbagai dokumen sebagai kelengkapan dan bukti dalam pelaksanaan reformasi birokrasi harus dipenuhi. Sosialisasi dan bimbingan teknis dari pembuat kebijakan perlu dilakukan untuk memberikan pemahaman lebih detail tentang dokumen tersebut.
Saya beberapa kali ditugaskan pimpinan untuk menyampaikan materi terkait reformasi birokrasi, terutama di area tata laksana, lebih khusus lagi tentang penyusunan sistem operasional prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan. Belakangan ini saya juga sering ditugaskan pimpinan untuk memberikan materi penyusunan peta proses bisnis instansi pemerintah.
Penyusunan SOP dan peta proses bisnis instansi pemerintah bukanlah materi yang mudah untuk dipahami. Dengan demikian, dalam penyampaian materi saya berupaya untuk interaktif agar materi dapat mudah dipahami. Saya meyakini interaksi dengan para peserta menjadi hal yang penting agar proses knowledge transfer tidak monoton dan membosankan peserta.
Tulisan berikut mencoba mengulas tips-tips untuk menjadi narasumber yang baik agar materi yang kita sampaikan dapat memberikan dampak yang maksimal bagi audiens.
Penguasaan Materi
Bagi saya, menjadi pembicara atau narasumber itu tidaklah mudah. Ada tanggung jawab moral memberikan materi dengan baik sehingga para peserta mampu memahami materi dan mengimplementasikannya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Paparan/slide yang lengkap dan bagus tidaklah cukup, tetapi juga harus menguasai permasalahan secara tuntas. Sehingga, ketika ada yang bertanya, saya tidak kebingungan dan bermandikan keringat.
Beruntung jika audiens tidak terlalu mengejar dan memberondong dengan pertanyaan lain. Jika ini terjadi tentu tidak baik bukan hanya bagi pembicara yang bersangkutan, tetapi juga bagi institusi yang sudah menugaskan pegawai tersebut juga. Cerita ini bukan pertama kali saya dapatkan.
Beberapa waktu yang lalu saat saya ditugaskan di sebuah kementerian, saya mendapatkan kisah yang sama dari salah seorang pejabat eselon III di Kementerian tersebut. Hal ini disampaikan dengan gamblang kepada saya, termasuk lokasi acara dan materi yang disampaikan. Pemateri yang ditugaskan terlihat kurang menguasai materi sehingga saat ada peserta yang bertanya, pemateri kebingungan menjawab.
Saya mendengarkan cerita tersebut dengan seksama, sambil mengevaluasi diri sendiri terkait penugasan yang sering dibebankan kepada saya.
Selain pengusaan materi, saya juga merasa memiliki tanggung jawab moral untuk bisa memberikan yang terbaik atas substansi yang disampaikan agar para peserta merasa puas dan memahami materi yang disampaikan.
Kompetensi Pembicara
Untuk menjadi pembicara yang ideal, saya mencoba mencari apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pembicara. Berikut empat hal yang harus dikuasai.
Pertama adalah percaya diri.
Percaya diri merupakan salah satu hal yang wajib dimiliki oleh pembicara. Jika seorang pembicara tidak percaya diri, akan sulit baginya untuk menyampaikan ide dan gagasan yang ada di dalam pikirannya. Hal ini disebabkan hatinya sudah diliputi rasa grogi, malu atau takut sehingga bingung harus menyampaikan apa dan tidak tahu dari mana memulai presentasinya. Rasa percaya diri ini dapat dilatih perlahan dengan mulai berlatih berbicara dalam forum-forum kecil dengan tema pembicaraan ringan dan santai.
Kedua, kejelasan suara.
Gunakan suara yang dapat didengar jelas oleh audiens (pendengar). Volume suara cukup sedang-sedang saja dan jangan menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti oleh audiens karena tingkat pengetahuan mereka tidak sama.
Ketiga, ekspresi (mimic).
Seorang pembicara juga merupakan seorang aktor di hadapan audiensnya. Penggunaan ekspresi yang tepat sesuai tema pembicaraan akan dapat membuat audiens menjadi lebih semangat untuk mengikuti setiap detail pembicaraan kita dan terhindar dari kantuk akibat kebosanan melihat cara berbicara kita.
Keempat, kelancaran komunikasi.
Agar audiens dapat menangkap maksud penyampaian pembicara maka cara menyampaikannya pun haruslah lancar dan terunut dengan baik. Berbicara dengan tersendat-sendat dapat mengurangi antusiasme audiens sehingga menimbulkan kejengkelan yang dapat merugikan pembicara itu sendiri.
Tipe Audiens
Beberapa waktu yang lalu dalam Diklat Reform Leader Academy (RLA), saya mendapatkan pencerahan dari Bapak Suyoto, Bupati Bojonegoro, terkait tipe peserta dalam sebuah pelatihan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, peserta yang benar-benar ingin belajar dan ingin menguasai materi yang disampaikan nara sumber. Peserta kategori ini betul betul serius dan fokus selama belajar di kelas. Dia ingin mengetahui banyak hal terkait materi yang disampaikan. Dia juga selalu aktif bertanya untuk menjawab rasa ingin tahunya.
Kedua, peserta bertipe profesor. Peserta pelatihan jenis ini selama di kelas sering mengkritisi dan bahkan menguji narasumber dengan berbagai pertanyaan. Tujuannya tidak untuk mendalami materi yang disampaikan pemateri, namun untuk mengetahui sejauh mana kedalaman materi yang disampaikan oleh nara sumber. Kadang peserta jenis ini senang jika narasumber tidak mampu menjawab pertanyaan dengan baik.
Kategori peserta ini hanya ingin tampil dan mencari panggung. Mereka tidak banyak memberikan kontribusi selama pelaksanaan pelatihan atau bimbingan teknis. Menghadapi jenis ini pembicara harus tetap rendah hati. Peserta jenis ini bisa tetap menyimak apa yang kita sampaikan. Namun, bisa juga dia ikut memberikan tanggapan dan komentar yang barangkali akan menunjukkan dia lebih mengetahui materi yang disampaikan. Dan menghadapi jenis ini kita sebagai pembicara dapat memberikan sudut pandang yang berbeda.
Ketiga, peserta yang ikut pelatihan/ bimbingan teknis hanya sekedar datang untuk menggugurkan kewajiban. Peserta jenis ini hanya duduk, mendengar, dan diam. Mereka tidak pernah aktif untuk bertanya terkait materi yang disampaikan. Berbeda dengan tipe kedua yang sering menguji narasumber, tipe ketiga ini bak anak manis di kelas, namun tak memberikan kontribusi apa pun selama pelaksanaan pelatihan.
Peserta jenis ketiga ini sama dengan tipe patung sebagaimana digambarkan oleh Hilbram Dunar dalam bukunya Speaking for Money. Menurut Hilbram, tipe ini datang dalam sebuah acara karena terpaksa atau dipaksa. Jenis ini hanya diam, tidak banyak mencatat apalagi bertanya dalam pelatihan. Menghadapi tipe ini maka pembicara harus bisa membuat dia tertarik dengan materi yang disampaikan. Misalnya dengan memberi hadiah atau semacam doorprize.
Setali tiga uang dengan tipe patung, Hilbram juga menyinggung tipe negatif yang punya karakteristik hampir sama. Bedanya, dia sering memberikan aura negatif kepada peserta lain. Misalnya dengan memberikan pertanyaan yang kurang bermutu sehingga mempengaruhi peserta lain di kelas. Bisa juga membuat gaduh di kelas dengan berbicara saat pemateri memberikan paparan.
Tipe-tipe audiens sebagaimana diuraikan di atas haruslah dipahami oleh narasumber di sebuah diklat ataupun bimbingan teknis. Jika banyak yang termasuk tipe pertama, maka kelas menjadi sangat dinamis dan memudahkan pembicara dalam menyampaikan materinya.
Sebaliknya jika peserta jenis kedua dan ketiga yang mendominasi, maka pembicara harus pintar-pintar dalam mengelola kelas selama pelatihan agar tujuan diklat atau bimbingan teknis tetap bisa dicapai.
Tips Menjawab Pertanyaan
Selain itu, ada satu hal yang juga cukup penting untuk dipahami pembicara. Lima menit pertama merupakan penentu seluruh acara karena kesan pertama akan menentukan kegiatan berjalan baik dan menyenangkan.
Saya sering memberikan beberapa hal yang menarik kepada audiens saat lima menit pertama. Misalnya dengan menceritakan pengalaman mengajar atau mengisi pelatihan di beberapa tempat, termasuk berkisah tentang buku yang pernah saya tulis terkait materi yang disampaikan.
Terkait keluhan yang disampaikan oleh sebuah pemda dan dari kementerian terkait ketidakmampuan narasumber dalam mengendalikan sebuah pelatihan berikut terdapat beberapa tips untuk dapat menjawab pertanyaan sehingga bisa memuaskan para peserta:
Pertama, jujur.
Pembicara harus jujur tidak boleh mengada ada. Kejujuran membuat pembicara rileks dan mampu menjawab pertanyaan dengan tenang.Disebutkan bahwa mulut bisa berbohong, namun bahasa tubuh tidak bisa berbohong. Ketidakjujuran akan dapat terbaca dari bahasa tubuh.
Kedua, mendengar.
Pembicara yang baik harus banyak mendengar. Jangan berbicara satu arah. Buatlah suasana di kelas menjadi diskusi dua arah (interaktif). Ada kalanya pertanyaan yang disampaikan telah dirangkum dalam pertanyaannya. Untuk hal tersebut, kepiawaian dari pembicara menjadi hal yang penting.
Selain itu juga kita harus tahu alasan apa yang menyebabkan peserta tersebut bertanya. Misalnya, bertanya karena memang ingin tahu, karena ingin menggali lebih dalam, atau ingin menguji pembicara.
Bisa juga peserta bertanya karena ingin terlihat pintar di depan peserta lainnya. Kemampuan pembicara untuk mengetahui alasan bertanya dari peserta ini biasanya ditentukan oleh jam terbang pembicara. Semakin sering pembicara tampil di banyak kegiatan semakin mudah dia mengetahui jenis peserta yang ingin bertanya di kelas pelatihannya.
Dari hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas maka hal yang juga tak kalah penting adalah menjaga emosi. Pembicara tidak bisa mengatur cara bertanya peserta pelatihan. Namun, pembicara bisa mengatur cara menjawabnya. Untuk peserta yang bertanya dengan gaya menyerang tidak perlu ditanggapi dengan bahasa yang sama.
Tetap tenang namun perlu dijawab dengan lugas dan tegas. Pemilihan kata yang tepat dengan bahasa yang tenang dan meyakinkan diperlukan agar peserta yang menanyakan hal tersebut menjadi puas dengan jawaban pembicara.
Epilog
Sebagai penutup tulisan ini, buatlah peserta terkagum-kagum dengan materi yang disampaikan. Jangan hanya hadir sebagai pembicara dengan standar yang rendah sehingga materi yang disampaikan hanya sebatas informasi yang tidak berdampak bagi peserta yang hadir dalam kegiatan dimaksud.
Sebagai pembicara berikanlah yang terbaik. Saat kita mampu memberikan materi, kita bisa melihat ekspresi puas dari para peserta.Sehingga kehadiran kita dengan materi yang sudah dipersiapkan bisa memuaskan para peserta.
SELAMAT MENCOBA!
Pegawai BPKP yang dipekerjakan di Kementerian PAN dan RB dan kandidat Doktor pada Program Doktor Ilmu Sosial di Universitas Pasundan. Seorang penulis buku dan sudah menulis lebih dari 20 buku.
Terimakasih Bapak. Meskipun belum sekelas P Adrinal, saya terkadang diminta sebagai pembicara pada beberapa kesempatan. Yang paling sering dengan audiens perangkat Desa atau staf Perangkat Daerah. Belum pernah mendapatkan pertanyaan dari type penyerang yang negatif tapi sering ketemu type profesor..hahahaha…
Tulisan Bapak membuat saya sadar bahwa saya masih sangat banyak harus belajar tentang pengendalian emosi. Karena saya sering sumbu pendek bila ada penanya yang muteeer aja pertanyaannya…intinya ya cuma ingin tampil dan bicara.
Saya juga harus lebih banyak membaca dan diskusi agar lebih menguasai materi.
Yang jelas tulisan Bapak ini sangat menginspirasi dan menjadi tambahan semangat agar saya lebih siap dan percaya diri bila diminta menjadi pembicara lagi pada kesempatan mendatang.
Terimakasih. Sukses terus ya Bapak.
Tuhan memberkati.