Menjadi Kosmopolitan Bersama Heraclitus

by | Feb 22, 2021 | Motivasi | 0 comments

https://images.unsplash.com/photo-1543719621-92ebcae62483?ixlib=rb-1.2.1&q=85&fm=jpg&crop=entropy&cs=srgb

Istilah kosmopolitan telah mengalami spesialisasi (baca: penyempitan makna). Padahal jika kita menelusuri maknanya dari akar kata pembentuknya: kosmos dan poli, kosmopolitan bermakna kira-kira suatu kehidupan alam semesta yang teratur. Menjadi kosmopolit tidak terbatas menjadi bagian dari penduduk dunia internasional antarnegara. Namun lebih dari itu, menjadi bagian dari kehidupan alam semesta, antarplanet, antargalaksi, bahkan antardimensi.

Pengembaraan kontemplasi para filsuf zaman Yunani kuno (yang sebagian adalah wilayah Turki dalam peta modern) sampai pada kesadaran bahwa ‘kita’ adalah bagian dari ‘masyarakat’ alam semesta. Para filsuf ini memupuk ‘kesadaran kosmis’-nya dengan cara melakukan teknik visualisasi secara imajiner, yang kemudian diistilahkan oleh Pierre Hadot (dalam bukunya Philosophy As a Way of Life) sebagai ‘pemandangan dari atas’.

Sekarang, kita dimudahkan melakukan teknik visualisasi ini karena sudah banyak ‘gambar-gambar’ dan bahkan sudah ada yang membuatkan visualisasinya sesuai dengan perkembangan temuan manusia saat ini. Dalam pandangan saya, beginilah benak imajiner para filsuf kala itu.

Ilustrasi visualisasi imajiner para filsuf Yunani kuno dalam rangka merawat kesadaran kosmis mereka. Sumber: YouTube

Saya membayangkan, betapa ‘kurang kerjaan’ dan susahnya para filsuf Yunani kuno saat itu. Melakukan visualisasi imajiner adalah hal yang sulit di kala tak ada temuan, petunjuk, atau alat canggih yang membantu mereka memahami cosmos selain kebiasaan masyarakat zaman dahulu mengamati bintang gemintang di malam hari.

Kontemplasi kosmis para filsuf ini dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan etis yang mendalam, seperti bagaimana seharusnya manusia bersikap di tengah alam semesta? Apa guna kebaikan manusia di jagat lanskap kosmis? Dan, jika semua alam semesta ini mematuhi hukum kosmis (hukum alam) di mana peran dan kehendak para dewa (baca: Tuhan)?

Dalam kondisi seperti itulah kemudian salah seorang filsuf mengusahakan jawabannya. Filsuf itu bernama Heraclitus. Berbeda dengan Epictetus, Heraclitus adalah seorang keturunan aristokrat kaya raya di Efesus, kota di Semenanjung Ionia sekitar akhir abad ke-6 SM. Layaknya keluarga bangsawan pada umumnya, ia menyimpan rasa muak pada orang kebanyakan yang hanya memikirkan makanan dan sex, tapi minim berpikiran filosofis.

Secara sederhana, Heraclitus mengungkapkan tesisnya bahwa kita sebagai manusia harus mengusahakan ‘kesadaran kosmis’ dalam benak kita. Menyadari bahwa manusia adalah bagian dari bermilyar-milyar makhluk di alam semesta yang terus bekembang (dan berubah) sejak awal ‘diciptakannya’ jagat raya.

Yang muda akan tua, yang dingin akan panas, yang kering akan basah, dan begitupun sebaliknya. Maka, konsekuensi logisnya, penempelan predikat ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam lanskap kosmis menjadi kurang relevan. Sebab segalanya adalah ‘baik-baik’ saja dalam perspektif keharmonisan kosmis sesuai dengan intelejensia Logos.

Logos adalah term entitas maha-pengatur maha-penguasa yang dikemukakan oleh Heraclitus sebagai Hukum Universal.

Saya sendiri, awal mula sampai ke dalam kesadaran kosmis adalah pada saat membaca buku Agus Mustofa berjudul Terpesona di Sidratul Muntaha. Penulis yang memiliki latar belakang pendidikan Teknik Nuklir dan mengklaim buku-bukunya bergenre tasawuf modern ini mengungkapkan penjelasan-penjelasan ‘alam lain’ dengan pendekatan empiris-logis. Memang kelemahannya kadang-kadang tampak pseudoscience. Tapi bukankah banyak dari apa yang kita yakini dalam hidup tak harus scientific dan mencukupkan diri pada tataran logis?

Dan benar belaka, buku itu membuat saya terpesona tidak hanya terhadap sidratul muntaha tapi juga alam semesta. Satu gambaran pemahaman yang dijelaskan oleh penulisnya yang saya ingat sampai sekarang adalah realitas yang sebenarnya terjadi saat kita memandangi gemintang di malam hari.

Pemandangan yang sudah biasa kita nikmati sejak kecil ini menyimpan penjelasan yang tidak lagi sederhana dan bisa sungguh filosofis-kosmis. Bahwa, saat kita memandang gemerlap bintang gemintang di langit yang cerah, sejatinya kita sedang melihat suatu pemandangan ‘lintas waktu’. Langit dan bintang yang sedang kita saksikan pada malam satu suro (misalnya), sejatinya adalah realitas langit dan bintang dengan beragam waktu yang cahanyanya ‘kebetulan’ sampai di mata kita pada malam satu suro.

Di langit tersebut, tampak keadaan bintang 1 juta tahun yang lalu, 100 tahun yang lalu, 10 tahun yang lalu, hingga beberapa jam yang lalu yang cahayanya baru sampai dan dapat kita indera dengan mata. Setelah menempuh perjalanan dengan kecepatan cahaya dari jarak 1 juta tahun, 100 tahun, 10 tahun, dan beberapa jam lalu dari mata kita di bumi.

Sejak saat itu, sekitar belasan tahun yang lalu, aktivitas memandangi langit di malam hari tidaklah sama lagi buat saya. Memandangi langit menjadi suatu aktivitas menikmati ‘museum’ alam semesta jagat raya dari beragam lintas waktu di masa lalu. Bahkan dari masa jauh sekali sebelum saya dilahirkan. Bedanya dengan museum, langit malam bukanlah diorama, miniatur, maupun replika dari benda sejarah, melainkan memang situasi sejarah yang sedang saya saksikan secara ‘live‘.

Lantas, apa pentingnya kesadaran ini buat kita? Dengan kesadaran sebagai masyarakat kosmopolitan kita jadi semakin paham kedudukan kita di alam semesta ini. Singkatnya, keadaan, kejadian, status, dan segala hal yang menimpa diri kita pribadi sebenarnya ‘tak penting-penting’ amat dalam perspektif kosmis. Semua kejadian yang menimpa kita hanyalah ‘varian’ yang memang mungkin terjadi dan ‘tak akan berdampak’ apa-apa terhadap alam semesta. Minimal tak sebesar dramatisasi di pikiran kita.

Dalam menjalani laku hidup, terutama di saat-saat kondisi ekstrem yang menimpa kita, baik itu menggembirakan sekali maupun menyusahkan sekali, kita akan lebih selow dan biasa saja menyikapinya. Tidak terlalu bergembira sangat, juga tidak perlu sedih berlarut-larut. Sebab sejatinya, kondisi kita dalam lanskap kosmis ‘tidaklah penting-penting’ amat.

Ada satu cerita. Seorang suami sangat menyayangi anak dan istrinya. Dia selalu mendidik dan mengusahakan kebaikan untuk keluarga kecilnya tersebut. Di ujung cerita, anak dan istrinya ini tidak percaya pada sang suami dan bahkan menentang prinsip utama suami. Sang suami ini adalah Nabi Nuh.

Jika ditera ulang menggunakan kadar masyarakat modern sekarang, problem yang dihadapi Nabi Nuh ini sungguh sangat besar. Tidak hanya nakal atau khianat terhadap kepercayaan, namun sampai level bertolak belakangnya prinsip.

Respons Nabi Nuh atas keadaan itu adalah dengan berserah diri secara ikhlas. Buat saya, ini adalah wujud mindset kosmopolitan. Sebab, ia sadar betul bahwa segala kondisi kehidupan di dunia ini adalah bagian dari kosmis alam semesta.

Sedih dan kecewa boleh, tapi tak perlu berlarut-larut hingga menguras pikiran. Yang dapat kita kontrol hanyalah pikiran kira sendiri, kondisi di luar diri kita sejatinya adalah bagian dari kosmis yang sudah harmonis di tengah ketakteraturannya.

Terakhir, Heraclitus memberikan resep agar kita dapat mencapai perspektif kosmis dan menjadi kosmopolitan. Manusia harus terus menajamkan akal, mengendalikan hasrat, mengenyahkan kebiasaan buruk seperti mabuk atau ketamakan ragawi yang akan menggelapkan mata dan menjauhkan kita dari kesadaran perspektif kosmis. Nah, di sini lah laku ‘baik dan buruk’ itu kemudian menjadi relevan.

Parameter ‘baik’ dan ‘buruk’ ini kemudian mengalami berbagai macam penerjemahan sepanjang lintas sejarah peradaban manusia. Jika kita ‘berani’ boleh saja kita merumuskan sendiri mana itu kebaikan dan mana itu keburukan. Jika kita tak cukup pandega, kita diperbolehkan untuk mengambil definisi baik dan buruk sesuai dengan apa yang kita yakini. Dalam perkara ini, saya mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad.

Jadi, sebesar apapun masalah yang kita hadapi tak perlu galau, sebab hal itu tak penting-penting amat dalam perspektif kosmopolitan. Selow aja!(*)

Ilustrasi Gambar : unsplash.com


5
0
Trian Ferianto ◆ Professional Writer

Trian Ferianto ◆ Professional Writer

Author

Auditor pada salah satu Instansi Pemerintah Pusat. Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Jenderal Soedirman. Pengembang aplikasi monitoring pengawasan MRRP COVID-19. Online and Digital Enthusiast. Penikmat Buku dan Kopi. Suka bersepeda. Professional blogger at PinterIM.com

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post