Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnivan baru saja menetapkan bawahannya, yaitu Bayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) bersama dengan Kepolisian Sektor (Polsek) dan Kepolisian Resort (Polres) bertanggung-jawab menjaga akuntabilitas pengelolaan dana desa. Niat baik Tito ini ternyata mendapat penentangan dari banyak pihak, sebagaimana niatnya membentuk Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Sebab, alih-alih menjaga akuntabilitas pengelolaan dana desa, keterlibatan kepolisian ini malah bisa semakin menumbuhkan praktik pemerasan oleh aparat kepolisian. Walaupun Tito telah berusaha keras memodernisasi Kepolisian RI, masyarakat masih trauma dengan citra kepolisian yang korup. Sebab, selama ini kepolisian terkesan sering menggunakan coercive power daripada persuasive power dalam berbagai tindakannya. Artikel ini mencoba menawarkan pendekatan alternatif bagi kepolisian, yaitu komunikasi risiko (risk communication). Jika dijalankan, pendekatan ini memberikan peluang bagi kepolisian untuk menurunkan citra buruknya di mata masyarakat dan juga membuka kesempatan bagi kepolisian berperan aktif menjaga akuntabilitas pengelolaan dana desa.
—–
Istilah komunikasi risiko (risk communication) mungkin belum akrab digunakan di Indonesia. Risk communication berfondasikan pemahaman bahwa cakupan risiko yang dikelola oleh sebuah organisasi sangat komprehensif. Artinya, ia tidak bisa hanya dikelola secara internal saja, melainkan harus melibatkan lebih banyak aktor, baik regulator, pihak swasta, pihak pemerintah, masyarakat, maupun lembaga sosial masyarakat.
Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan tersebut penting karena penanganan risiko yang salah dapat menyebabkan amplifikasi sosial dan kontroversi yang berkelanjutan, yang dapat mengancam organisasi dalam mencapai tujuannya.
International Risk Governance Council (IRGC) dalam rangka tata kelola risikonya menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah elemen terpenting dalam membangun kepercayaan dalam mengelola risiko organisasi. Hal ini karena komunikasi risiko memberi wewenang kepada para pemangku kepentingan untuk memahami risiko dan juga tanggung jawab mereka dalam proses tata kelola risiko.
Sebagai langkah awal untuk membangun komunikasi dengan pemangku kepentingan, organisasi perlu mengidentifikasi pemangku kepentingannya dan pendekatan yang mesti dilakukan oleh organisasi untuk berkomunikasi dengan masing-masing pihak.
Sebagai catatan, keterlibatan para pemangku kepentingan bergantung pada karakteristik risiko. Misalnya, untuk risiko sederhana, organisasi hanya perlu terlibat dengan lembaga yang berwenang dan praktisi. Untuk risiko yang kompleks dan ambigu, organisasi perlu melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, seperti peneliti eksternal, pemangku kepentingan yang terkena dampak, dan masyarakat.
Hal terpenting dalam melakukan komunikasi adalah organisasi harus memahami bahwa setiap pihak memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga pendekatannya pun tidak dapat disamaratakan. Berkomunikasi dengan praktisi tentu tidak dapat disamakan dengan berkomunikasi dengan media ataupun masyarakat.
Program Dana Desa
Terkait program peluncuran dana desa yang telah dilakukan sejak tahun 2015 lalu, di satu sisi kita melihat sambutan dari berbagai pihak atas terobosan yang dilakukan oleh pemerintah dengan ‘memandirikan’ desa. Di sisi lain, banyak pihak yang meragukan kesiapan dari aparatur pemerintahan desa dalam pengelolaan dana tersebut.
Hal tersebut cukup beralasan mengingat di level yang lebih tinggi pun, seperti pemerintahan daerah, pengelolaan APBD masih sering terbentur permasalahan. Belum lagi jika dilihat dari kesiapan sumber daya manusia di pemerintahan desa. Secara garis besar, risiko terbesar dari program dana desa tersebut adalah penggunaan dana yang tidak sesuai dengan regulasi (risiko kecurangan).
Jika kita memandang bahwa organisasi ini adalah pemerintah (baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Desa dan DTT), maka pemerintah kini menghadapi risiko yang tidak dapat dikelola sendiri secara internal. Sebab, dana desa dikelola oleh pemerintahan desa, di mana secara struktur berada di luar organisasinya dan secara kuantitas tidak mungkin diawasi sendiri oleh pemerintah. Artinya, pemerintah perlu membangun komunikasi dengan berbagai pihak terkait atas risiko tersebut.
Komunikasi Risiko Kepolisian
Isu terbaru yang menarik untuk dikritisi dari kacamata komunikasi risiko adalah rencana menggerakkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) bersama dengan pihak Kepolisian Sektor (Polsek) dan Kepolisian Resort (Polres) dalam mengawasi pengelolaan dana desa.
Dalam konsep risk communication, pemerintah perlu menjelaskan latar belakang penunjukan kepolisian untuk mengawasi dana desa. Tidak berhenti di sana, pemerintah perlu menyampaikan pengawasan seperti apa yang akan dilakukan oleh kepolisian, termasuk ruang lingkup kewenangannya. Ini untuk menghindari adanya deviasi dalam implementasinya.
Pemerintah perlu menjaga kepercayaan publik terkait upaya-upaya yang telah dan akan dilakukan guna mencapai tujuan utama dari peluncuran dana desa. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya social amplification yang bernuansa negatif atas peran baru pengawasan yang dilakukan oleh kepolisian.
Pemerintah juga sebaiknya menjelaskan bahwa manfaat dari pengawasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian telah dikalkulasi dan telah mengidentifikasi risiko yang mungkin muncul.
Di sisi lain, penunjukan pihak kepolisian yang lebih banyak dikenal sebagai aparat penegak hukum dan kini dilibatkan menjadi pengawas pengelolaan dana desa tentu memerlukan pengomunikasian yang baik kepada publik.
Pihak kepolisian juga harus mampu mengomunikasikan dan menunjukkan bahwa dalam penugasan dana desa ini mereka akan lebih mengutamakan peran pengawas yang siap mengarahkan ketika pihak pemerintahan desa menemui permasalahan. Kemudian, mereka mampu membedakan permasalahan yang muncul karena ketidaktahuan dan yang didorong rencana kejahatan.
Sejak awal, pemerintah dan kepolisian juga perlu secara tegas menyampaikan bahwa pemberian kewenangan pengawasan tersebut tidak lepas dari kemungkinan penyelewengan kewenangan. Misalnya, pengawasan yang dilakukan malah melebihi ruang lingkupnya. Atau, di skala yang paling ekstrem, terdapat potensi pihak kepolisian malah memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan pribadinya.
Hal-hal seperti ini sebaiknya disampaikan sejak awal oleh pemerintah dan kepolisian. Caranya, dengan mengomunikasikan layanan pengaduan atas pelaksanaan pengawasan kepolisian tersebut.
Langkah di atas merupakan contoh nyata dari pengomunikasian risiko dari pengawasan dana desa, yaitu dengan membangun kesadaran risiko dari pihak-pihak yang tekait, termasuk masyarakat.
Risiko Dana Desa
Pemerintah dan Kepolisian juga mesti mengomunikasikan secara lugas tentang adanya risiko dari implementasi dana desa sejak awal. Hal ini akan memberikan awareness bagi para pemangku kepentingan untuk turut terlibat dalam mengawal program tersebut, sesuai kapasitas dan perhatian masing-masing.
Dengan pengomunikasian tersebut, pemerintah dan kepolisian akan membangun pondasi awal terciptanya trust dari berbagai pihak. Dengan catatan, pengomunikasian tersebut harus juga diimbangi dengan informasi yang berimbang. Artinya, informasi tidak hanya dititikberatkan kepada risiko yang ada, tetapi diimbangi dengan mitigasi dan langkah apa yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah untuk merespon risiko tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Lofstedt, seorang akademisi di bidang risk analysis, yang menyatakan bahwa organisasi perlu melakukan komunikasi proaktif, yaitu menginformasikan secara lengkap kepada publik. Sebab, menutupi beberapa informasi akan menimbulkan ketidakpercayaan jika masyarakat mengetahuinya.
Hal ini juga berarti bahwa informasi tersebut perlu dikomunikasikan dengan jelas dan jujur. Ini menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, dan tidak memberikan pernyataan seperti ‘tidak ada risiko’.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
0 Comments