Menilik Dampak FWA para ASN

by Andriandi Daulay ♥ Associate Writer | Mar 28, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Flexible Working Arrangement (FWA) atau pengaturan kerja fleksibel telah menjadi tren dalam berbagai sektor, termasuk birokrasi pemerintahan. Di satu sisi, sistem ini menjanjikan peningkatan efisiensi dan keseimbangan kerja-hidup bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Namun, di sisi lain, lemahnya sistem pengawasan dalam birokrasi seringkali menyebabkan penurunan kinerja, manipulasi kehadiran digital, dan sulitnya mengukur produktivitas secara objektif.

Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nomor SE.16 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Sistem Kerja ASN selama libur nasional dan cuti bersama memberikan ruang bagi penerapan FWA, dengan mekanisme Work From Home (WFH), Work From Office (WFO), dan Work From Anywhere (WFA).

Namun, meskipun aturan telah mengatur keseimbangan antara fleksibilitas dan tanggung jawab ASN, tantangan dalam implementasi masih menjadi perhatian serius. Apakah fleksibilitas kerja ini benar-benar meningkatkan efisiensi, atau justru memperburuk birokrasi dengan membuka peluang bagi penyimpangan dan korupsi?

FWA sebagai Celah bagi Penyimpangan

Dalam teori, FWA dirancang untuk memberikan fleksibilitas kepada pegawai tanpa mengorbankan efektivitas kerja dan pelayanan publik. Namun, tanpa sistem pengawasan yang ketat, fleksibilitas ini dapat menjadi alat untuk menghindari tanggung jawab.

1. Manipulasi Kehadiran Digital dan Pemantauan yang Tidak Efektif

ASN yang bekerja dari rumah diwajibkan melakukan presensi online dari tempat keberadaannya. Namun, sistem absensi digital yang ada sering kali tidak cukup untuk memastikan bahwa pegawai benar-benar bekerja.

Banyak kasus ditemukan di mana ASN tetap tercatat “hadir” meskipun mereka tidak benar-benar menyelesaikan tugasnya. Penggunaan VPN atau fake GPS untuk memanipulasi lokasi menjadi tantangan yang sulit dikontrol oleh sistem pengawasan berbasis teknologi.

2. Kesulitan dalam Mengukur Produktivitas ASN

Dalam praktiknya, banyak instansi masih menilai kinerja berdasarkan kehadiran fisik, bukan berdasarkan output yang dihasilkan. Dengan sistem kerja fleksibel, penilaian berbasis hasil kerja seharusnya lebih ditekankan, tetapi mekanisme ini belum diterapkan secara optimal.

ASN yang bekerja dari rumah sering kali tidak memiliki target kerja yang jelas, sehingga sulit untuk mengukur apakah mereka benar-benar produktif atau hanya memanfaatkan fleksibilitas ini untuk kepentingan pribadi.

3. Ketimpangan dalam Penerapan FWA

ASN di pusat dan daerah menghadapi realitas yang berbeda. Pegawai di kementerian pusat memiliki akses ke teknologi dan sistem pengawasan yang lebih baik dibandingkan ASN di daerah yang masih mengalami keterbatasan infrastruktur digital. Akibatnya, penerapan FWA tidak berjalan merata, menciptakan ketimpangan dalam beban kerja dan efektivitas pelayanan publik.

Praktik Koruptif yang Berkembang di Bawah FWA

Surat Edaran SE.16 Tahun 2025 mengatur bahwa pimpinan satuan kerja harus memastikan kelancaran pelayanan publik selama periode cuti bersama. Namun, dalam praktiknya, FWA dapat menjadi celah bagi praktik koruptif yang semakin mengikis integritas birokrasi, termasuk:

  • Pertama, Nepotisme dalam Penentuan FWA. Dalam beberapa kasus, pemberian fleksibilitas kerja tidak didasarkan pada kebutuhan organisasi, tetapi pada kedekatan personal dengan atasan. ASN yang memiliki hubungan dekat dengan pimpinan lebih mudah mendapatkan izin WFH atau WFA, sementara yang lain tetap harus bekerja secara penuh di kantor.
  • Kedua, Manipulasi Anggaran dan Penyalahgunaan Perjalanan Dinas. Penerapan FWA memungkinkan ASN untuk melakukan tugas dari lokasi yang berbeda. Namun, tanpa pengawasan ketat, ada potensi manipulasi perjalanan dinas, di mana pegawai mengklaim biaya perjalanan atau fasilitas kerja yang sebenarnya tidak digunakan untuk kepentingan dinas.
  • Ketiga, Penyalahgunaan WFH sebagai Alat Menghindari Tanggung Jawab. ASN yang bekerja dari rumah seharusnya tetap memberikan output kerja yang terukur, tetapi dalam banyak kasus, fleksibilitas ini justru digunakan untuk menghindari tugas. Tanpa mekanisme kontrol yang ketat, beban kerja menjadi tidak merata, dengan pegawai yang lebih disiplin harus menanggung tugas lebih banyak dibandingkan mereka yang memanfaatkan sistem untuk kepentingan pribadi.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dan Realitas Pengawasan dalam Birokrasi

Data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2024 menunjukkan skor 37, menempatkan Indonesia di peringkat 99 dari 180 negara. Meskipun ada peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, skor ini masih menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi tantangan serius dalam birokrasi Indonesia.

FWA yang tidak diawasi dengan baik dapat memperburuk kondisi ini dengan memberikan ruang lebih besar bagi ketidakefisienan, penyalahgunaan wewenang, dan penghindaran tanggung jawab.

FWA yang Akuntabel dan Transparan

Agar FWA dapat diterapkan tanpa mengorbankan kinerja birokrasi, diperlukan reformasi struktural yang tidak hanya bersifat kampanye moral, tetapi juga menciptakan sistem pengawasan yang efektif dan akuntabel.

  1. Pertama, Peningkatan Pengawasan Berbasis Teknologi.
    Penerapan Artificial Intelligence (AI) dan big data analytics untuk memantau kinerja ASN secara real-time, memastikan bahwa mereka benar-benar bekerja dan menyelesaikan tugasnya. Sistem absensi berbasis biometrik yang lebih sulit dimanipulasi dibandingkan absensi berbasis lokasi GPS.
  2. Kedua, Evaluasi Kinerja Berbasis Output, Bukan Kehadiran. Setiap ASN yang bekerja dari rumah atau lokasi lain harus memiliki target kerja yang jelas, dengan laporan berkala yang dapat diverifikasi. Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) secara lebih ketat untuk memastikan bahwa setiap pegawai memiliki kontribusi nyata terhadap organisasi.
  3. Ketiga, Sanksi Tegas untuk Penyalahgunaan FWA. ASN yang terbukti menyalahgunakan sistem FWA harus dikenakan sanksi administratif dan keuangan untuk menimbulkan efek jera. Laporan pengaduan masyarakat terkait layanan publik selama FWA harus direspons dengan cepat, memastikan bahwa ASN tetap bertanggung jawab atas tugasnya.
  4. Keempat, Transparansi dalam Penerapan FWA. Setiap keputusan terkait WFH atau WFA harus berbasis kebutuhan organisasi, bukan atas dasar kedekatan personal atau faktor subjektif lainnya. Publikasi laporan kinerja ASN secara terbuka untuk memastikan transparansi dalam penggunaan sistem kerja fleksibel.

Epilog: Adaptif yang Bertanggung Jawab

Penerapan FWA dalam birokrasi Indonesia harus disertai sistem pengawasan yang lebih ketat dan berbasis teknologi. Tanpa pengawasan yang efektif, fleksibilitas kerja hanya akan menjadi celah baru bagi ASN yang tidak bertanggung jawab untuk menghindari tugas, serta memperburuk praktik koruptif dalam birokrasi.

Reformasi struktural yang lebih konkret dan berbasis teknologi menjadi kunci dalam memastikan bahwa FWA benar-benar menciptakan birokrasi yang lebih adaptif, transparan, dan berintegritas.

4
0
Andriandi Daulay ♥ Associate Writer

Andriandi Daulay ♥ Associate Writer

Author

H. Andriandi Daulay lahir di Pekanbaru pada 24 Oktober 1980. Saat ini menjabat sebagai Analis SDM Aparatur Madya di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau. Latar belakang pendidikan di bidang Akuntansi (STIE Widya Wiwaha, Yogyakarta) dan Magister Ilmu Administrasi (Universitas Islam Riau), ia berfokus mendalami manajemen sumber daya manusia, reformasi birokrasi, dan transformasi ASN. Berbagai kursus dan pelatihan telah diikutinya, termasuk Sekolah Anti Korupsi ASN (SAKTI) ICW Jakarta, Pelatihan Fungsional Kepegawaian BKN, serta Seminar Nasional tentang Reformasi Birokrasi dan Manajemen Kinerja. Ia juga meraih Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2017) atas pengabdiannya sebagai ASN. Sebagai seorang profesional di bidang kepegawaian, H. Andriandi Daulay aktif menulis dan berbagi wawasan. Karya-karyanya meliputi buku "Transformasi Birokrasi Wujud Penataan Pegawai" (2021), "Cinta Tanah Air Perspektif Kepegawaian" (2022), dan "Membentuk Pribadi ASN Profesional Berkarakter" (2023). Selain itu, ia juga menjadi narasumber dalam berbagai pelatihan dan seminar terkait kepegawaian. Dalam pandangannya, tata kelola SDM yang baik menjadi kunci utama dalam menciptakan pelayanan prima bagi masyarakat. Dengan semangat berbagi ilmu, ia aktif menulis di blog dan berkontribusi dalam pengembangan karier Analis Kepegawaian.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post