
Di era transparansi informasi dewasa ini, isu kesenjangan di berbagai sektor semakin mudah menjadi perbincangan publik, bahkan perdebatan.
Salah satu isu yang mencuat di kalangan warganet, khususnya di platform media sosial X, adalah perbedaan yang mencolok dalam hal take-home pay atau tunjangan kinerja (tukin) antar instansi pemerintah.
Istilah “kementerian sultan” dan “kementerian jelata” pun muncul untuk menggambarkan fenomena ini.
“Kementerian sultan” merujuk pada instansi yang memberikan tukin relatif tinggi, sementara “kementerian jelata” memiliki besaran tukin yang kurang signifikan. Persepsi “tinggi” dan “rendah” memang relatif, namun disparitas yang ada telah menimbulkan pertanyaan terkait keadilan serta dampaknya terhadap kinerja aparatur sipil negara (ASN) di Tanah Air.
Akar Masalah: Sistem Tunjangan Kinerja yang Tidak Seragam
Tukin merupakan salah satu komponen dalam penghasilan ASN, selain gaji pokok, tunjangan jabatan, dan tunjangan lainnya. Tukin pertama kali diberikan di instansi pemerintah pada tahun 2007 kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan. Pemberian tukin bertujuan meningkatkan kinerja dan kesejahteraan pegawai, serta mendorong reformasi birokrasi.
Namun, perbedaan besaran tukin antar instansi hingga kini masih sangat signifikan dan menciptakan kesenjangan antar instansi.
Sebagai contoh, seorang pejabat eselon IV di DJP dapat menerima tukin antara Rp22,93 juta hingga Rp28,76 juta per bulan. Sementara, posisi yang setara di Kementerian Luar Negeri berhak atas tukin hanya sekitar Rp5.000.000–Rp15.000.000 per bulan.
Ketimpangan yang Menciptakan Rasa Tidak Adil
Perbedaan ini telah menimbulkan ketidakadilan dan memunculkan istilah “kementerian sultan” yang kerap diasosiasikan dengan instansi seperti DJP, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, atau Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI).
Kesenjangan ini semakin terasa ketika pemerintah baru-baru ini menerapkan kebijakan efisiensi anggaran. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas, misalnya, berdampak signifikan bagi ASN di “kementerian jelata” yang mengandalkan pendapatan tambahan dari perjalanan dinas. Sementara itu, ASN di “kementerian sultan” dengan tukin yang sudah tinggi relatif tidak terlalu terpengaruh.
Dampak Nyata terhadap Motivasi dan Layanan Publik
Kesenjangan tukin memang bukan sekadar masalah nominal, tetapi berpotensi menimbulkan dampak yang lebih luas, termasuk rasa ketidakadilan dan kurangnya motivasi, bahkan terganggunya layanan publik.
ASN di instansi “jelata” merasa kurang dihargai, padahal mereka memiliki peran dan tanggung jawab yang sama pentingnya dengan ASN di instansi “sultan”. Hal ini dapat menurunkan motivasi kerja dan mempengaruhi kinerja secara keseluruhan, dan bahkan tidak mustahil berpotensi mendorong terciptanya praktik-praktik korup.
Kesenjangan ini juga berpotensi mengganggu kinerja pemerintahan. ASN merupakan ujung tombak dalam menjalankan program-program pemerintah. Jika merasa tidak diperlakukan adil, kinerja para ASN dapat terganggu dan dapat berdampak terhadap masyarakat luas.
Perlunya Pendkeatan Kolaboratif antar Kementerian
Kesenjangan tukin juga sebetulnya terkait dengan ego sektoral yang masih terjadi antar kementerian di mana satu atau kementerian masih merasa lebih penting dari kementerian lain dan perlu diprioritaskan.
Dalam hal ini, pendekatan Whole of Government (WoG) perlu diterapkan untuk menjamin agar ego sektoral itu segera dibenahi karena dengan pendekatan ini, penyelenggaraan pemerintahan menggabungkan kolaborasi dari seluruh sektor pemerintahan.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah kualitas pelayanan publik. ASN yang bersinggungan langsung dengan masyarakat, seperti dokter, guru, dan petugas pelayanan publik lainnya, rentan mengalami stres akibat beban kerja dan kesejahteraan yang kurang memadai. Hal ini dapat berdampak pada kualitas pelayanan yang mereka berikan.
Kompensasi yang layak bagi ASN bukan hanya bermanfaat bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga merupakan investasi penting bagi negara.
ASN yang sejahtera akan lebih fokus dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan berkontribusi secara optimal dalam pembangunan. Oleh karena itu, reformasi sistem tukin menjadi sebuah urgensi.
Menuju Reformasi Sistem Tukin yang Adil dan Transparan
Untuk mengatasi masalah kesenjangan tukin, diperlukan langkah-langkah komprehensif seperti evaluasi dan standardisasi sistem tukin.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem tukin di seluruh instansi. Standardisasi indikator kinerja dan beban kerja dapat menjadi dasar untuk menentukan besaran tukin yang lebih adil.
Transparansi dan akuntabilitas sistem tukin juga diperlukan. Proses pengajuan dan penetapan tukin harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Keuangan, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan perwakilan ASN.
Yang tak kalah pentingnya, kebijakan terkait tukin perlu diharmoniskan antar instansi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kemampuan keuangan negara, prioritas pembangunan, dan kebutuhan masing-masing sektor.
Pemerintah juga perlu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan ASN, termasuk tukin. Hal ini dapat dilakukan melalui optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi belanja.
Selain itu, dialog dan partisipasi dalam implementasi pembayaran tukin juga penting dilakukan. Pemerintah perlu membuka dialog dengan ASN untuk mendapatkan masukan dan aspirasi terkait sistem tukin karena partisipasi aktif dari ASN akan memastikan bahwa reformasi yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka.
Tentu, perlu juga ditingkatkan langkah-langkah yang terstruktur dan terukur untuk menjamin agar tukin yang diberikan kepada ASN betul-betul menjamin disiplin dan kinerja ASN sehingga mereka dapat memberikan layanan publik terbaik kepada masyarakat.
ASN juga perlu dilihat bukan sebagai beban atau liabilitas, tetapi investasi penting yang dapat menjamin keberlangsungan negara untuk hari ini dan di masa depan.
Jika mengutip pernyataan mantan Wakil Menteri PANRB Eko Prasojo, salah satu perubahan mendasar dalam manajemen SDM aparatur masa kini adalah perubahan dari pendekatan personnel administration yang hanya berupa pencatatan administratif kepegawaianmenjadi human resource management, yang berarti bahwa dengan pendekatan ini ASN dipandang sebagai aset negara yang harus dikelola, dihargai, dan dikembangkan dengan baik, dan bukan beban negara.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto tahun lalu yang menginginkan ASN untuk mampu memegang peran sebagai agen transformasi di tengah arah perubahan global yang cepat dan disruptif.
Indonesia tengah bersiap menyambut Indonesia Emas 2045. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu aspek yang perlu dipersiapkan adalah birokrasi yang andal dan profesional, yang mana dalam hal ini ASN menjadi bagian penting dari birokrasi yang andal dan profesional itu.
Oleh karena itu, pemberian tukin yang layak dan adil juga dapat dipandang sebagai upaya dalam mempersiapkan Indonesia Emas 2045. Indonesia juga perlu mencontoh dari Jepang yang dikenal memberikan gaji ASN tertinggi se-Asia dan memang terbukti berhasil karena Jepang telah muncul menjadi salah satu negara maju di Asia, dan bahkan di dunia
Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan kesenjangan tukin dapat diperkecil dan keadilan bagi seluruh ASN dapat terwujud.
ASN yang termotivasi dan sejahtera akan menjadi motor penggerak pembangunan yang efektif, dan memberikan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat.
0 Comments