
Giorgio Agamben (lahir 22 april 1942), adalah seorang filsuf Italia. Ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Michel Foucault dan mengembangkan teori yang disebut “arkeologi” dalam konteks pemikiran sosial dan politik.
Meskipun Agamben tidak secara eksplisit mengembangkan konsep arkeologi seperti Foucault, ia meminjam konsep ini untuk menggali lebih dalam mengenai sejarah, kekuasaan dan kehidupan manusia dalam situasi tertentu.
Menelusuri Arkeologi Kekuasaan Giorgio Agamben
Hemat Agamben, arkeologi adalah cara untuk menemukan hal-hal tersembunyi yang tidak tampak dalam diskursus sejarah. Berbeda dengan pendekatan historis tradisional yang acapkali berfokus pada kemapanan narasi, Agamben menggunakan arkeologi untuk menilik secara intens struktur kekuasaan, pengaturan sosial dan tatanan yuridis.
Singkatnya, arkeologi merupakan metode untuk menemukan lapisan-lapisan ‘terkecil’ yang menciptakan kehidupan sosial-politik tanpa memperhatikan interpretasi normatif atau kronologinya.
Lebih lanjut, sebagai pendalaman terhadap arkeologi, Agamben mengutip pernyataan Melandri. Bagi Melandri arkeologi dapat dipahami sebagai regresi dan merupakan kebalikan dari rasionalisasi.
Melandri menginginkan agar regresi
harus digunakan untuk menilai keburukan politik yang tidak independen dengan kembali memahami arkeologi politik yang progresif di masa lalu yang independen dan memiliki
tujuan yang lebih konstruktif.
Hal ini yang menjadi kerangka arkeologis agamben dalam melihat segala realitas pada pelbagai aspek kehidupan. Lazimnya, problem politik yang menimpah sebuah negara selalu ditilik berdasarkan interpretasi para penguasa. (bdk. Agamben, 2009: 98).
Dalam karya Homo Sacer, Agamben melihat tindakan yang mengabaikan hak orang-orang lemah sebagai keadaan eksepsi (pengecualian). Keadaan eksepsi identik dengan marginalisasi sosial terhadap individu tertentu.
Agamben menulis,
Eksepsi pun adalah semacam eksklusi. Apa yang dieksklusi dari aturan general adalah suatu kasus individual. Tetapi, sifat paling khas eksepsi adalah apa yang dieksklusi di dalamnya bukanlah secara absolut tanpa relasi kepada aturan, meskipun memang dieksklusi. Sebaliknya, apa yang dieksklusi dalam eksepsi itu tetap kokoh lestari dalam relasinya dengan aturan itu dalam bentuk aturan suspensi. … keadaan eksepsi dengan demikian bukanlah chaos yang mendahului tatanan, melainkan merupakan situasi yang ditimbulkan oleh suspensi tatanan. … (Agamben, 2020: 33-34).
Demokrasi di Indonesia: Dari Harapan ke Kekecewaan?
Bertolak dari pernyataan Agamben di atas, realitas politik praktis di Indonesia sangat masif dan bersifat eksklusif. Keadaan pengecualian di Indonesia sangat tampak dalam kepribadian para pemimpin.
Orang yang biasa melakukan aksi tak senonoh tersebut adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan aturan (hukum). Nilai politis yang berakar dan mengadopsi banyak hal dalam teologi (yang luhur dan mulia) telah terdistorsi oleh ketamakan individu yang tamak akan kekuasaan (bdk. Baghi, 2014: 68-69). Praktik pengecualian serupa dilakukan oleh Jokowi dalam masa kepemimpinannya.
Pada dasarnya, kehidupan (arkeologi) politik merupakan suatu aktivitas sosial untuk mencapai kebaikan bersama (common good). Dasar sekaligus tujuan utama dari politik adalah memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memperoleh kesejahteraan tanpa pengecualian. Hal tersebut berlaku untuk seantero negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi setelah gugurnya rezim orde baru. Usaha untuk ‘melahirkan’ demokrasi di Indonesia bukan perjuangan yang sekali jadi atau tak segampang menutup dan membuka mata, tetapi merupakan aktivitas yang sangat menyakitkan dan membutuhkan waktu yang lama.
Hal ini tampak, ketika para pejuang reformasi membiarkan tetesan darah keluar dari tubuh bahkan mengorbankan nyawa mereka demi kebebasan. Namun, peristiwa tersebut tidak menjadi alasan bagi para penguasa bertindak, tapi dijadikan sebagai peristiwa biasa saja yang “tidak layak” dikenang dan diikuti.
Kalaupun dikenang, momen bersejarah tersebut hanya dilakukan sebagai formalitas atau instrumen guna mencapai bukan kehendak bersama, melainkan kehendak individu atau kelompok tertentu. ini tentu saja pola perilaku yang meresahkan dan membutuhkan perhatian.
Singkatnya, tujuan utama reformasi di Indonesia adalah “upaya menghapus kolusi, korupsi dan nepotisme…” (Sularto, 1999: 6).
Jokowi dan Strategi Politik yang Penuh Kejutan
Namun, nyatanya selama masa kepemimpinan Jokowi terdapat banyak hal yang baik, akan tetapi pola perilaku yang kontradiksi dengan substansi demokrasi yang anti terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) juga masif.
Degradasi nilai demokrasi di Indonesia era Jokowi sangat terasa dan penuh kejutan. Langgam berpolitik yang digunakan sangat khas dan halus sehingga tak terasa apabila tidak dilihat dan dicermati secara teliti.
Salah satu aksi yang jelas korup, tapi sulit diketahui oleh masyarakat biasa adalah bantuan sosial (Bansos). Mekanisme yang digunakan jokowi ini sangat strategis untuk kepentingannya dan kelompok tertentu (bdk. Kompas)
Hal tersebut terlihat jelas dalam strategi politik yang dikonstruksi Jokowi. Guna mencapai keinginan personal dan melanggengkan kekuasaannya, Ia menghalalkan segala cara yang seharusnya tidak diperkenankan. Selain itu, misi untuk memberantas korupsi menjadi pernyataan yang nihil dan utopis belaka.
Hal yang sama dilihat oleh media Tempo.com yang menuliskan bahwa
“Presiden Jokowidodo berulang kali menegaskan komitmennya untuk memberatas korupsi. Tetapi, indeks persepsi di periode kedua masa jabatanya menunjukkan penurunan, yang menandakan korupsi di Indonesia semakin parah”, alias meningkat.
Lebih memprihatikan lagi, terdapat beberapa tindakan yang dapat dilihat sebagai keadaan pengecualian (state of exception), seperti program ibu kota negara (IKN) yang sebenarnya tidak terdapat dalam misinya, menggubah undang-undang yang telah ditetapkan sebagai standar penilaian Mahkamah Konstitusi (MK) terkait umur untuk menjadi seorang calon wakil presiden maupun presiden.
Selanjutnya, Jokowi juga memberikan bantuan sosial di depan Istana Negara menjelang Pilpres yang seharusnya ada pihak yang memiliki tupoksi khusus untuk itu. Di sini, kita bisa melihat inkonsistensi dalam pengimplementasian visi dan misi.
Pertanyaannya, apakah pembangunan IKN mampu meminimalisasi masalah kemiskinan di Indonesia atau sebaliknya? Ataukah ini merupakan program gantungan yang dijadikan sebagai strategi politik untuk melanggengkan kekuasaan yang bersifat oportunis?
Walaupun demikian, realitas awal dan akhir kepemimpinan Jokowi tersebut di atas seharusnya menjadi referensi utama untuk mengenal kepribadian terselubungnya dalam dua periode kepemimpinannya. Namun, sepertinya nalar kritis masyarakat telah dibungkam dengan bantuan sosial yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Menilai Pemimpin: Mengapa Kita Harus Kritis?
Berkaitan dengan ini, Agamben sangat menganjurkan agar tidak tergiur atau nyaman dengan kemapanan suatu kepemimpinan.
Dalam konteks ini kebijakan yang dibuat pemimpin jangan dicerna utuh-utuh, tapi harus dilihat arkeologi politik untuk mencapai pengetahuan yang komprehensif terkait makna terselubung dibalik kebijakan tersebut.
Dengan kata lain, jangan menunggu apa yang sebenarnya hanyalah prognosa belaka terjadi dan sesuai dengan dugaannya lalu diverifikasi untuk membenarkan dugaan tersebut. Harus ditanamkan komitmen untuk tidak mengakui kemapanan seorang pemimpin sebelum memastikan atau terlebih dahulu memfalsifikasi kredibilitasnya.
Perlu diketahui bahwa sebaik dan setulusnya seorang pemimpin tidak akan pernah dilabeli term sempurna, sebab dalam suatu lembaga belum ada pemimpin yang seratus persen (100%) memberikan diri untuk memperbaiki lembaga terkait tanpa digaji atau orientasi lain.
Akan tetapi, seorang pemimpin yang relible, independen, konstruktif dan memiliki jiwa pembangunan yang tulus hanya ditemukan jika pemimpin terkait melalui atau tahan ‘uji’ terhadap regulasi yang telah disepakati bersama dan selalu saja terbuka terhadap kenyataan untuk dinyatakan salah oleh suatu pengalaman baru yang akan terjadi.
Tidak ada pemimpin yang mutlak sebagai yang paling sempurna
atau paling benar atau tidak ada kesalahan. Misalkan kepemimpinan Jokowi pada periode pertama membuat masyarakat kagum pada langgam elegan yang menarik perhatian banyak pihak.
Namun, di akhir masa jabatannya pada periode kedua kemarin semua pihak yang ‘mengagungkan’ kebijakannya dalam memimpin menjadi tidak berdaya di hadapan kejahatan yang diperhalus oleh Jokowi sendiri.
Dari kenyataan ini benar apa yang dikatakan Popper bahwa suatu sistem tidak pernah terhindar dari kemungkinan untuk dinyatakan salah.
Pada ranah ini, kepemimpinan yang cepat diakui sebagai yang ideal dan patut mendapat afirmasi sosial, lambat laun tanpa terburu-buru kebenaran yang tentatif itu akan dibuktikan salah oleh pengalaman dan realitas di masa mendatang (bdk. Popper, 2008: 22-23).
Selain itu, kepemimpinan yang memiliki arkeologi politik buruk sejak awal kepemimpinannya harus difalsifikasi dengan melihat kembali dasar (arche) munculnya kepemimpinan.
Arkeologi politik Jokowi adalah politik dinasti. Jokowi yang sebelumnya disembah sebagai ‘raja’ pembangunan yang ramah, merakyat, sederhana dan rendah hati. Ternyata di balik semua kebaikan itu terdapat tujuan (personal) terselubung yang tidak disadari publik yang ingin dipenuhi.
Saking fanatiknya untuk mencapai keinginannya, ia bahkan menghalalkan segala cara di luar norma-norma yang berlaku (bdk. Baghi, 2014: 69). Misalnya, menggubah undang-undang yang telah ditetapkan sebagai standar penilaian Mahkamah Konstitusi (MK) terkait umur untuk menjadi seorang calon wakil presiden maupun presiden.
Memberikan bantuan sosial di depan Istana Negara menjelang Pilpres yang seharusnya ada pihak yang memiliki tupoksi khusus untuk itu.
Semua ini merupakan strategi untuk mencapai keinginannya, yakni melanggengkan kekuasaan atau oligarkinya. Mekanisme politik yang digunakan sangat ‘halus’ sehingga sulit diketahui oleh orang yang tidak berpikir kritis. Oleh sebab itu, walaupun negarawan adalah penjaga moralitas tetapi ia diperbolehkan melanggar moralitas itu sendiri ketika dibutuhkan, kata Machiavelli.
Jokowi memberikan begitu banyak pernyataan yang argumentatif mengenai suatu pembangunan negara ke arah yang lebih baik. Namun, kenyataan negara Indonesia sekarang berada pada situasi darurat (state of exception). Keadaan darurat yang dimaksud di sini adalah terdistorsinya nilai demokrasi.
Demokrasi seharusnya menjunjung tinggi kesejahteraan kolektif rakyat (common good), tapi direduksi untuk mensejahterakan orang-orang terdekat atau keluarga. Dengan kalimat lain, demokrasi adalah suatu sistem dalam pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun, dalam politik praktisnya, Jokowi mendistorsi nilai demokrasi menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk keluarga. Bertalian dengan ini, kita bisa melihat dan menilai bahwa di Indonesia, tampak lebih mudah untuk merealisasikan kekuasaan dari dan oleh rakyat.
Akan tetapi, yang menjadi kesulitan adalah mengindahkan substansi demokrasi dalam pemahaman untuk. Kita masih menghadapi gejala, bahwa kekuasaan itu memang dari dan oleh rakyat, tetapi untuk saya, kelompok tertentu.
Epilog: Membangun Demokrasi yang Lebih Baik
Kenyataan pengimplementasian nilai demokrasi yang menyimpang disebut Giorgio Agamben sebagai tindakan “pembestinisasian” atau pembinatangan manusia dan bio-politik individu terkait. Tindakan ini juga disebut Agamben sebagai bare life, di mana hak sosial politik mereka (rakyat) tidak diakui.
Popper mengilustrasikan keadaan ini dengan mengatakan “upaya membangun surga di bumi akan selalu menghasilkan neraka”. Untuk itu, pembangunan bukan tentang hal utopis, tapi mengenai keadaan yang sedang terjadi dan dialami masyarakat.
Dengan demikian, upaya meminimalisasi serta melenyapkan state of exception dan bare life dalam pemerintahan demokrasi dapat meningkatkan pula indeks demokrasi ke arah yang lebih baik dan tentunya kedaulatan kolektif sebagai pribadi yang bebas.
0 Comments