
Dari tabulasi data penyampaian kinerja secara nasional baik untuk PNS maupun PPPK periode 2022 hingga 2024, diperoleh angka-angka dari jutaan pelaporan kinerja ASN:
88,46% PNS dinilai dengan predikat “Baik” dan 90,77% PPPK juga mendapat predikat kinerja “Baik”. Sekilas, tampak sebagian besar aparatur yang andal, rajin, dan konsisten dalam menjalankan tugas.
Namun, benarkah demikian?
Atau jangan-jangan kita sedang menghadapi fenomena yang lebih kompleks:
penilaian kinerja ASN yang cenderung “aman”, tidak terlalu rendah, tidak terlalu tinggi,
dan selalu baik-baik saja.
Potret Data Kinerja ASN 2022-2024
Jika diteliti lebih dekat, kelompok PNS, hanya 11,27% yang mendapatkan predikat “Sangat Baik”, sementara mayoritas mutlak, yaitu 88,46%, diberi nilai “Baik”. Sangat sedikit yang mendapat catatan “Butuh Perbaikan”, “Kurang”, atau “Sangat Kurang”, bahkan persentasenya hanya berkisar antara 0,06% hingga 0,11%.
Gambaran serupa juga tampak pada kelompok PPPK: 90,77% “Baik”, 9,01% “Sangat Baik”, dan sisanya hanya 0,06% sampai 0,10% di kategori rendah.
Yang lebih menarik, angka-angka ini bukan hasil sampel kecil, melainkan ditabulasi dari 10.290.209 pelaporan hasil penilaian kinerja kinerja PNS dan 2.100.749 penilaian kinerja PPPK selama kurun waktu 2022 hingga 2024. Gambaran tersebut dapat dilihat pada pie chart dan tabel di bawah.
Dengan jumlah data sebesar itu, kecenderungan dominasi nilai “Baik” jelas merupakan fenomena sistemik, bukan kebetulan.

Predikat | Persentase |
Sangat baik | 11,27% |
Baik | 88,46% |
Butuh Perbaikan | 0,11% |
Kurang | 0,06% |
Sangat Kurang | 0,10% |
Total | 100,00% |

Predikat | Persentase |
Sangat Baik | 9,01% |
Baik | 90,77% |
Butuh Perbaikan | 0,10% |
Kurang | 0,06% |
Sangat Kurang | 0,06% |
Total | 100,00% |
Budaya “Aman” dalam Penilaian Kinerja
Fenomena ini tidak lahir begitu saja. Dalam praktik birokrasi sehari-hari, penilaian kinerja sering kali dipandang sebagai formalitas tahunan ketimbang instrumen pengelolaan talenta. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya.
- Pertama, faktor budaya organisasi, di mana memberi nilai rendah sering dianggap berpotensi menimbulkan ketiddaknyamanan, sehingga jalur tengah berupa nilai “Baik” lebih sering dipilih.
- Kedua, belum kuatnya konsekuensi nyata dari perbedaan nilai. Baik predikat “Sangat Baik” maupun “Baik”. Dalam praktik, sering kali penilaian kinerja belum memberikan dampak signifikan pada promosi, insentif, atau pengembangan karier.
- Ketiga, instrument penilaian yang belum sepenuhnya mampu menangkap keragaman dan kompleksitas pekerjaan ASN. Keempat, adanya kecenderungan melihat penilaian sekedar sebagai kewajiban administrasi, bukan sebagai ruang refleksi bersama.
Fenomena Homogenitas Penilaian
Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang ASN muda bernama Raka. Ia baru tiga tahun bekerja, namun sudah berhasil membuat inovasi layanan digital yang memangkas waktu proses administrasi dari dua minggu menjadi dua hari. Inovasinya diapresiasi masyarakat dan bahkan dilirik oleh instansi lain untuk direplikasi.
Namun, ketika hasil penilaian kinerja keluar, Raka hanya mendapat predikat “Baik”, sama seperti rekan-rekannya yang bekerja sekadar memenuhi target minimal. Di sisi lain, ada pegawai yang menyelesaikan tugas rutin tanpa inisiatif lebih, namun nilainya pun “Baik”.
Perbedaan kualitas kerja yang signifikan ini sayangnya belum sepenuhnya tercermin dalam hasil penilaian. Fenomena inilah yang membuat banyak ASN berprestasi merasa kontribusinya tidak benar-benar dihargai, sementara mereka yang biasa-biasa saja tetap nyaman dalam status quo.
Apa Risikonya?
Jika kondisi seperti ini dibiarkan, ada beberapa risiko yang mungkin terjadi. Pertama, ASN yang memiliki potensi unggul bisa saja kurang terlihat karena nilainya homogen dengan mereka yang bekerja sekadarnya.
Kedua, sulit melakukan pembinaan. ASN yang sebetulnya perlu arahan atau pelatihan tambahan mungkin luput dari perhatian, karena angka “Butuh Perbaikan” yang tercatat amat kecil.
Ketiga, transformasi birokrasi berpotensi berjalan lebih lambat, padahal visi menuju Indonesia Emas 2045 sangat mengandalkan peran ASN yang adaptif dan profesional.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan diantaranya: pertama, instrumen penilaian dapat ditingkatkan presisinya, dengan indikator berbasis Key Performance Indicators (KPI) yang lebih jelas dan kontekstual sesuai bidang kerja.
Kedua, hasil penilaian sebaiknya dihubungkan lebih erat dengan sistem manajemen karier, mulai dari promosi, mutasi, hingga penghargaan.
Ketiga, perlu ada ruang bagi objektivitas penilaian. atasan yang memberikan penilaian sesuai realita, baik tinggi maupun rendah, perlu mendapat dukungan.
Keempat, penting membangun budaya feedback, penilaian kinerja idealnya menjadi dialog dua arah agar ASN memahami kekuatan sekaligus area pengembangan dirinya.
Kelima, pengelolaan data kinerja dapat diperkuat melalui dashboard analitik yang tidak hanya menampilkan rata-rata, tetapi juga distribusi, tren, dan potensi talenta unggul. Dengan cara ini, pimpinan dapat mengambil keputusan berbasis data yang lebih tajam.
Menuju Pengelolaan Talenta yang Profesional
Pelajaran dari tabulasi data yang disajikan dalam infografis ini adalah bahwa penilaian kinerja tidak boleh berhenti pada angka. Ia seharusnya menjadi cermin kualitas organisasi dan peta jalan Reformasi Birokrasi.
Jika kita ingin ASN menjadi motor penggerak
menuju Indonesia Emas, maka penilaian kinerja perlu benar-benar mencerminkan realitas,
adil, dan bermanfaat untuk pengembangan talenta.
Disisi lain infografis rekapitulasi kinerja ASN selama periode 2022 hingga 2024, baik PNS maupun PPPK, memang terlihat menggembirakan di permukaan. Namun, dari data tersebut juga layak menjadi bahan renungan, apakah penilaian yang ada saat ini sudah cukup tajam untuk membedakan kinerja luar biasa dari kinerja standar?
Jawabannya akan menentukan arah pembinaan ASN ke depan, apakah tetap berada di zona nyaman “baik-baik saja”, atau melangkah menjadi birokrasi yang lebih profesional. Seperti kata Peter Drucker:
“What gets measured, gets managed.”
Jika ukuran kinerja kita semakin jujur dan presisi, maka pembinaan ASN pun akan lebih tepat sasaran, dan birokrasi Indonesia semakin siap menjawab tantangan masa depan.
0 Comments