Sistem hukum agraria di Indonesia menganut asas nasionalisme yang didasarkan pada Pasal 21 ayat (1) jo. pasal 26 ayat (2) UUPA di mana hanya warga negara Indonesia (WNI) yang boleh memiliki hak milik atas tanah. Namun, sejak diundangkannya Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU CIPTA KERJA”) terdapat implikasi hukum terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya, khususnya mengenai rumah susun.
Tujuan dilakukannya perubahan terhadap undang-undang sehubungan dengan rumah susun adalah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
Regulasi yang Diubah, Dihapuskan, dan Ditambahkan
Peraturan perundang-undangan yang diubah, dihapuskan, atau ditambahkan berdasarkan UU CIPTA KERJA adalah peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5158) (“UU PERUMAHAN DAN KAWASAN PEMUKIMAN”)
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011, tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 52521 (“UU RUMAH SUSUN”)
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018) (“UU JASA KONSTRUKSI”)
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405)(“UU SDA”)
Masalah yang Kemudian Timbul
Selanjutnya, sepakat dengan sebuah analisis oleh Ignatia Sayekti pada Kontan.co.id, masalah yang timbul berkaitan dengan perubahan ini berupa:
- Kontroversi terkait pemberian status hak milik rumah susun kepada WNA. Pertama, secara konstitusional, Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 menyatakan khusus mengenai hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai berlaku UU No.5/1960 dan PP No.40/1996. Ketentuan Pasal 143 jo. Pasal 145 UU Cipta Kerja mengenai pemberian Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMRS) kepada WNA di atas HGB adalah eror in persona karena dalam UU No.5/1960 dan PP No.40/1996, subjek hukum atas hak milik, HGU, dan HGB adalah WNI dan Badan Hukum Indonesia. Sedangkan WNA hanya diberikan status hak pakai dan hak sewa.
- Ketentuan pemberian Hak Milik Rumah Susun kepada WNA di atas HGB tumpang tindih dengan Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun yang menyatakan pemanfaatan tanah milik negara untuk pembangunan rumah susun dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan. Sehingga terdapat konflik norma antara UU Cipta Kerja dan UU Rumah Susun.
- Tidak sejalan dengan asas kenasionalan, asas sosialisme Indonesia, dan asas larangan pemindahan hak milik kepada WNA sebagai asas hukum agraria dan asas hukum perumahan dan pemukiman. Dalam konteks kepemilikkan tanah, kepentingan dan kebutuhan WNI harus diistimewakan dan diutamakan.
- Mendegradasi fungsi sosial atas keberadaan tanah negara. Pada prinsipnya, tanah dikuasai negara ditujukan untuk kepentingan warga negara. Bahkan, lewat tanah negara itu dapat dijadikan objek reformasi agraria untuk dibagikan kepada rakyat miskin yang tidak punya tanah atau rumah demi mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Hak Pakai oleh Orang Asing
Berdasarkan PP No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, WNA dapat memiliki tempat tinggal atau hunian dengan jenis tanah hak pakai. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain.
Pasal 4 PP 103/2015 jo. Permen ATR 29/2016 menentukan jenis tempat tinggal yang dapat dimiliki oleh WNA dengan hak pakai. Jenis tempat tinggal tersebut yaitu:
- Rumah tunggal yaitu rumah yang memiliki pembatasan kaveling tanah tersendiri. Salah satu dinding bangunan rumah tunggal tidak dapat dibangun tepat pada batas kaveling. Rumah tunggal dapat dimiliki WNA di atas Hak Pakai.
- Satuan Rumah Susun (“Sarusun”) yaitu unit satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah untuk tempat hunian. Sarusun dapat dimiliki di atas tanah hak pakai.
Bertentangan dengan Konsepsi Rumah Susun
UU CIPTA KERJA mengatur bahwa WNA dan badan hukum asing dapat memiliki sarusun yang berdiri di atas tanah HGB. Hal itu bertentangan dengan konsepsi tentang rumah susun dan melanggar asas pemisahan horizontal dan prinsip Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi WNA.
Dalam UU CIPTA KERJA tentang rumah susun ditegaskan perbedaan antara rumah susun yang berdiri di atas tanah sewa dan yang berdiri di atas tanah hak, dalam hal ini HGB atau Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan.
Rumah susun di atas tanah sewa, boleh disewa atau dimiliki oleh siapapun juga: WNI/WNA, badan hukum Indonesia/badan hukum asing; karena tidak menyangkut pemilikan bersama atas tanah. Tanda bukti haknya berupa Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) karena yang dimiliki hanya bangunan/gedungnya.
SKBG diterbitkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Berbeda jika rumah susun berada di atas tanah HGB atau Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan, di mana ada kepemilikan individual atas apartemen, sekaligus pemilikan secara bersama atas tanah, bangunan, dan bagian dari rumah susun yang bersangkutan.
Tanda bukti hak kepemilikannya berupa Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang diterbitkan oleh instansi pertanahan. Maka, bagi orang asing hanya diperbolehkan untuk mempunyai Hak Pakai atas satuan rumah susun bukan Hak Milik atas satuan rumah susun.
Hal tersebut juga dijamin pada Pasal 2 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia jo. Pasal 3 PERKABAN NO 29/2016 yang sudah sangat jelas menyatakan bagi orang asing hanya mempunyai Hak Pakai.
Akibat hukum dari dimungkinkannya pemberian status kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRSS) kepada WNA dan/atau Badan Hukum Asing (BHA) di atas tanah Hak Guna Bangunan (HGB) menyebabkan WNA dan/atau BHA menjadi pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.
Meskipun dikatakan HMSRSS merupakan kepemilikan atas “unit” atau “ruangannya saja” namun tetap harus diperhatikan status tanah yang dibangun rumah susun tersebut. Oleh karena itu, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HMSRSS tersebut wajib mengalihkannya kepada pihak yang berhak (PASAL 1 AYAT (11) UU RUMAH SUSUN Jo Pasal 19 dan Pasal 20 PP 40/1996 Jo Pasal 4 PP 103/2015 Jo Pasal 4 PERKABAN NO 29/2016).
Epilog: Kepastian Hukum Ke Depan
Dapat dipahami bahwa latar belakang pemerintah Indonesia menerbitkan UU CIPTA KERJA adalah untuk memenuhi kebutuhan akan investasi terhadap peningkatan devisa dalam perekonomian Indonesia. Yang tidak boleh terlupa ialah bahwa tanah Indonesia merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kepunyaan bangsa Indonesia yang sifatnya abadi sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 UUPA.
Oleh karena itu, ke depannya perlu adanya kepastian hukum dalam pengaturan wilayah pemukiman rumah susun bagi WNA (Warga Negara Asing) dan pembatasan kepemilikan properti oleh WNA (Warga Negara Asing) agar tidak terjadi pergeseran kepentingan Warga Negara Indonesia sendiri. Semoga ulasan ini bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan.
Alumni dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2018, yang telah disumpah sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2019. Saat ini bekerja sebagai Analis Hukum bidang Lingkungan Hidup pada Deputi bidang Kemaritiman dan Investasi Sekretariat Kabinet RI. Penulis dapat dihubungi melalui Email: [[email protected]]
0 Comments