Mengukir Wajah Birokrat Indonesia* (bagian 2): Identitas Birokrat di Era Orde Lama dan Orde Baru

by M. Rizal ♣️ Expert Writer | Feb 21, 2021 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Identitas birokrat pada masa orde lama sebagai masa transisi dari kolonial ke pasca kolonial perlu dibahas karena pada masa itulah terjadi dilematika dalam menentukan posisi birokrat di tengah pergulatan politik yang cukup tajam.

Sedangkan masa orde baru selalu menarik perhatian bagi pengkaji pos-kolonial karena masa itu selalu menampilkan nuansa dominasi kekuasaan yang terkadang lebih otokratik dibandingkan negara kolonial.

Konflik Identitas Birokrat di Era Orde Lama

Negara yang baru merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan timpang kepada rakyat. Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara otomatis membawa perubahan ke arah perbaikan, baik kepada status perempuan, kelas pekerja, atau petani di kebanyakan negara jajahan. (Loomba, 2003).

Pernyataan Ania Loomba (salah satu pakar kajian pos-kolonial) tersebut, dapat menjadi sebuah konfirmasi atas apa yang terjadi pada masa pasca kemerdekaan Indonesia, dalam hal ini adalah kondisi birokrasinya.

Sistem politik di masa awal kemerdekaan belumlah stabil. Pemerintahan parlementer membawa konsekuensi pada seringnya pergantian kabinet, bahkan hanya dalam hitungan bulan.

Hal itu mengakibatkan brokrasi terseret dan terfragmentasi secara politik. Banyak terjadi tarik menarik kepentingan dari berbagai partai politik saat itu, ditambah dengan kekuatan militer yang juga memiliki kekuatan seimbang dengan partai politik.

Program dan kebijakan tidak pernah tuntas dilaksanakan karena dibatalkan oleh menteri baru dari partai lain yang menduduki sebuah depertemen. Perekrutan dan penempatan pejabat dalam struktur birokrasi harus diisi oleh orang yang mendukung partai yang berkuasa.

Birokrasi pada masa itu benar-benar mengalami politisasi, yaitu birokrasi pemerintah semata-mata ditempatkan sebagai instrumen politik

Agus Dwiyanto, mendiang guru besar Ilmu Administrasi Publik UGM, pernah mengatakan bahwa terdapat permasalahan dilematis birokrasi terkait aparatnya pada masa awal kemerdekaan (tahun 1945-1950) dulu.

Permasalahan dilematis tersebut adalah apakah birokrasi akan menempatkan birokrat yang berjasa pada kemerdekan tetapi tidak memiliki keahlian yang cukup, atau memilih birokrat yang ahli tapi dianggap berkhianat atau tidak loyal kepada negara yang baru saja merdeka.

Birokrat yang dianggap tidak loyal kepada negara saat itu adalah birokrat hasil didikan bangsa penjajah yang telah memiliki keahlian dan dianggap belum sepenuhnya mengakui kemerdekaan Indonesia, seperti para aristokrat di masa kolonial.

Ada dualitas identitas birokrat saat itu, yaitu birokrat loyal dan birokrat pengkhianat. Sebuah penghakiman yang cukup semena-mena mengingat tugas birokrat adalah hanya melaksanakan kebijakan dari pimpinaan syah setelah merdeka.  

Permasalahan itu pun berlanjut setelah beberapa tahun, tepatnya saat politik pasca kemerdekaan tidak stabil (tahun 1950-1955). Birokrat kembali mengalami kekejamaan pemilahan identitas akibat pertarungan oligarki antar partai politik.

Banyak terjadi konflik internal di tubuh birokrasi yang sarat dengan muatan politik saat itu. Hal itu berkaitan erat dengan banyaknya partai politik yang ingin menguasai pemerintahan. Partai politik yang berjumlah 15, saat itu terbagi dalam tiga besar sesuai dengan ideologi masing-masing, yakni partai nasionalis, agamis (Islam), dan sosialis.

Pegawai satu dengan lainnya selalu dihinggapi rasa saling curiga. Banyak timbul pertanyaan diantara mereka, siapa memihak partai politik mana, berideologi apa, dan memiliki kepentingan apa.

Identitas kembali mengalami dualitas, yaitu loyal dan pengkhianat. Identitas loyal dan pengkhianat bukan lagi kepada negara, melainkan kepada partai politik tertentu. Konsentrasi aparat birokrasi bukan kepada fungsi dan tugasnya, melainkan segenap energi dicurahkan untuk kepentingan politik individu maupun kelompok di birokrasi.

Puncak dari konflik di era ini adalah saat meletusnya peristiwa G-30-S/PKI di Tahun 1965. Setelah peristiwa itu, pemerintah di masa berikutnya, yaitu orde baru, bertekad untuk membumihanguskan salah satu partai yang cukup kuat, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituding sebagai biang kekacauan politik dan kekerasan.

Imbas di tubuh birokrasi saat itu adalah terjadinya diskriminasi terhadap birokrat dengan cara penyaringan kembali pegawai. Birokrat yang dicurigai sebagai partisan PKI disingkirkan dari birokrasi dengan berbagai cara. Konflik identitas yang terjadi di tubuh birokrasi saat itu bahkan dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

Kenikmatan Identitas Birokrat di Era Orde Baru

Pada saat era orde baru, setelah puncak kekacauan dan konflik identitas akibat peristiwa 1965 mereda, birokrasi mengalami kondisi yang amat stabil. Birokrasi dibentuk secara hirarkis dari pemerintahan pusat sampai kepada rukun tetangga untuk mengemban tugas pelaksana keputusan atau perintah dari unit pemerintah di atasnya.

Disebutkan pula oleh Dwiyanto, pada saat orde baru jugalah politik praktis mendapatkan tempatnya dalam mengatur dan mengontrol negara bersama dengan militer. Birokrasi pemerintahan menjadi salah satu dari tiga pilar kekuasaan, selain militer dan Partai Golkar. Birokrasi menjadi instrumen politik untuk melanggengkan kekuasaan.

Birokrat saat itu dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Salah satu yang paling menonjol adalah adanya jaminan hari tua berupa pensiun bagi pegawai negeri. Jaminan pensiun menjadi sebuah wujud kepedulian sekaligus janji manis negara kepada birokratnya.

Program pensiun PNS bahkan telah dibuat di awal orde baru dan diformalkan dengan UU No. 11 Tahun 1969. Pada masa itu, pensiun pegawai negeri menjadi idola bagi masyarakat. Sebuah penggambaran manusia paling terjamin dan mulia di negeri Indonesia.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jumlah aparatur negara meningkat pesat di era ini. Jumlah aparatur 400.000 orang pada masa sebelum orde baru, meningkat menjadi 2.074.000 orang di tahun 1980. Sedangkan pada tahun 1993, jumlah kembali meningkat tajam menjadi 4.009.000 orang.

Perekrutan aparatur negara tersebut tanpa didahului dengan analisis kebutuhan, juga tanpa pertimbangan rasional dan profesionalitas. Lonjakan aparatur negara ini pun tidak lepas dari kepentingan memperkuat posisi politik penguasa pada waktu itu.

Loyalitas birokrat diarahkan kepada pemerintah dan negara. Politik penyeragaman mulai diberlakukan di birokrasi pemerintahan. Politik penyeragaman yang sejatinya ditujukan untuk penguatan politik Golkar, menimbulkan kesamaan identitas bagi birokrat.

 Identitas yang dibangun adalah birokrat loyal. Pembangunan identitas ini dimulai dengan pengembangan semangat jiwa korsa (kesetiaan pada organisasi dan perasaan sepenanggungan) aparat pemerintah.

Identitas itu menganggap birokrasi sebagai tubuh yang tunggal. Jika terdapat aparat yang tidak mendukung Partai Golkar, niscaya identitas dirinya terhakimi sebagai pembangkang, dan hukumannya adalah terbuang.

Identitas loyal ini terlihat dinikmati oleh birokrat pada masa itu. Bagi birokrat, yang terpenting adalah menyelamatkan kehidupan dirinya yang terfasilitasi oleh elitee birokrasi sebagai wakil negara. Pernyataan “nrimo ing pandum (menerima apapun yang dibagikan) sebagai parodi kepanjangan NIP (Nomor Induk Pegawai), sering terdengar dari dari pegawai saat itu, adalah wujud rasa penerimaan birokrat akan kondisi loyalitasnya.

Seolah menjadi pegawai adalah jalan terbaik dan paling aman saat itu, asalkan mematuhi apa keinginan dan perintah atasan niscaya selamat dan sejahtera. Hal itu sering  dikatakan pegawai dalam pernyataan, “Sing penting sluman slumun slamet”(kesana kemari, apapun yang dikerjakan yang penting selamat). Sebuah perasaan ambivalensi, yakni perasaan menikmati perannya meskipun sebagai pihak yang terjajah.

Perilaku birokrat saat itu sangat ketat dikendalikan melalui aturan formal. Formalisasi aturan perilaku ini mulai didengungkan pada Tahun 1980, melalui Peraturan Pemerintah No 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Tubuh individu birokrat mulai secara formal diatur dengan berbagai sanksi. Diskursus yang dikemukakan adalah birokrat akan berkinerja jika dirinya disiplin, atau dengan kalimat lain, pegawai tidak akan berkinerja baik jika tidak berdisiplin.

Beberapa poin pada kewajiban dan larangan menggambarkan bahwa pendisiplinan perilaku ini mengokohkan identitas birokrat yang loyal dan patuh baik kepada atasan maupun aturan, bahkan kepentingan pribadi dan golongan musti dikesampingan demi kepentingan negara.

Gerakan Disiplin Nasional (GDN) menjadi lanjutan dari upaya mendisplinkan perilaku birokrat. Gerakan yang dicanangkan pada hari Kebangkitan Nasional Tahun 1995, dimasukkan ke dalam krida kedua dari Panca Krida Kabinet Pembangunan VI  yang berbunyi: ” Meningkatkan disiplin nasional yang dipelopori oleh Aparatur Negara menuju terwujudnya  Pemerintah yang bersih dan berwibawa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat” .

Identitas birokrat yang loyal dan patuh semakin mendorong sikap otokratik pimpinan kepada bawahan. Loyalitas dan kepatuhan menjadi hal utama dalam birokrat bekerja. Penilaian kinerja birokrat pun ditentukan hanya oleh atasannya melalui Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). Implikasinya adalah, birokrat kembali pada kultur patron-klienseperti pada masa feodal, bekerja untuk menyenangkan atasannya.

Meskipun telah lepas dari kolonialisme, posisi birokrat di mata masyarakat saat itu masih tidak jauh beda dengan di masa kolonial. Mohtar Mas’oed, seorang  guru besar ilmu politik UGM, mengatakan birokrasi pada saat itu menganut prinsip developmentalisme, yakni suatu prinsip yang digunakan untuk melayani masyarakat melalui pembangunan infrastruktur maupun penciptaan lapangan kerja.

Hampir semua aspek kehidupan masyarakat tersentuh oleh birokrasi pemerintahan. Birokrasi ditempatkan pada posisi untuk mengontrol masyarakat dengan dalih stabilitas nasional. Namun demikian sebaliknya, masyarakat sulit untuk mengontrol birokrasi karena sedemikian kuatnya dukungan militer dan partai.

Prinsip developmentalisme dalam lingkup birokrasi otokratik merupakan praktik politik etis yang dilakukan oleh pimpinan pemerintahan waktu itu. Seperti yang dikatakan oleh Tania Li, seorang antropolog Kanada, bahwa politk etis digunakan oleh penguasa sebagai jalan untuk menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakat, sekaligus menancapkan hegemoni elite untuk mempertahankan kekuasaannya.

Senada juga yang dikatakan oleh Samuel Huntington, seorang cendekia politik Amerika, bahwa kemampuan pertama negara berkembang adalah mempertahankan diri dan menjaga stabilitas sosial serta politik, bukan mengembangkan nilai-nilai demokratis.  

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa identitas birokrat pada masa orde baru masih mirip dengan masa kolonial, bahkan masih kental nuansa feodal.  Hanya saja, loyalitas beralih dari negara kolonial kepada Pemerintah RI yang syah.  Birokrat loyal adalah sebuah kenikmatan tersendiri pada masa itu.

Bersambung ke bagian berikutnya, tentang identitas birokrat di dua segmen era reformasi.

*Tulisan ini merupakan penayangan ulang disertai dengan beberapa perubahan, dari salah satu bab yang ditulis oleh penulis yang sama, dalam buku yang berjudul “Kebijakan Publik Dalam Pusaran Perubahan Ideologi”, yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press di tahun 2019. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berafiliasi atau mewakili institusi manapun.


2
0
M. Rizal ♣️ Expert Writer

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

M. Rizal ♣️ Expert Writer

M. Rizal ♣️ Expert Writer

Author

Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].

1 Comment

  1. Avatar

    Terima kasih kasih atas ulasan yang sangat menarik dalam tulisan ini. Saya mendapat pencerahan tentang sejarah birokrasi di Indonesia. Saya ingin tulisan yang lebih lengkapnya. Bolehkah di share Ya Bapak???

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post