Pemerintah sudah berupaya mereformasi birokrasi kita. Salah satunya melalui program Pembangunan Agen Perubahan. Namun, program ini memiliki kontradiksi dalam dirinya yang membuat program ini kurang mampu mencapai tujuan yang diharapkan. Lebih parah lagi, program pemerintah ini bukannya menciptakan agen perubahan, malah rawan menciptakan agen pelanggeng status quo.
—
Prolog
Birokrasi Indonesia memiliki citra cukup buruk. Ada yang menilai birokrasi kita terlalu gemuk, korup, inefisien, lamban, feodal, mata duitan, dan masih banyak lagi atribut lain yang disematkan masyarakat jika mau dikuliti. Saya sebagai “orang dalam” pada tubuh birokrasi bisa mengatakan bahwa tidak semua birokrat demikian. Namun, saya akui masih saja ada birokrat berperilaku sesuai bayangan masyarakat tadi.
Untuk memperbaiki birokrasi, pemerintah tampaknya telah banyak berupaya. Misalnya, untuk meningkatkan profesionalisme, telah banyak program pendidikan dan pelatihan bagi birokrat. Untuk memperbaiki rapor kinerja, pemerintah telah membangun Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Untuk mengontrol perilaku birokrat telah dikembangkan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP). Tidak ketinggalan, Reformasi Birokrasi (RB) selalu digadang-gadang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit di birokrasi.
Sistem/Struktur Versus Agen
Semua program yang dijalankan itu, meminjam istilah Agus Dwiyanto, bertujuan untuk menghasilkan kader-kader perubahan. Selama ini perbaikan birokrasi telah dimulai dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan kata lain, sistem tertentu telah didesain untuk menghasilkan perilaku tertentu atas individu.
Dalam diskursus sosiologi, perdebatan mengenai sistem dengan individu, atau disebut juga dengan “struktur menghasilkan agen”, menjadi topik yang selalu hangat.
Sebuah sistem diandaikan sebagai bangunan struktur-struktur yang diciptakan untuk menghasilkan individu atau agen-agen tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Konsekuensinya, struktur dianggap lebih penting daripada agen. Dalam ranah akademis ini disebut sebagai struktur fungsionalis.
Namun, kemudian muncul lagi pendapat lain bahwa sebuah struktur tidak akan tercipta tanpa adanya agen yang kreatif. Pandangan ini mengandaikan bahwa agen lebih penting daripada struktur, yang disebut dengan konstruksionis fenomenologis.
Lalu mana yang lebih penting, agen atau struktur? Pertanyaan ini agak rumit dijawab, seperti halnya menjawab pertanyaan lebih dulu mana antara ayam dan telur?
Teori strukturasi Anthony Giddens berusaha menjembatani pertentangan (dualitas) itu. Saya pun termasuk orang yang tidak percaya bahwa struktur dan agen perlu dipisah dan dipertentangkan mana yang lebih penting.
Giddens menjelaskan bahwa struktur adalah kumpulan pola aktivitas dan aturan yang mempengaruhi individu (agen) secara internal, bukan eksternal. Dengan intervensi struktur secara internal, individu diharapkan dapat mengontrol pikiran dan tindakannya.
Struktur tercipta agar terjadi individu-individu yang serupa. Individu pada gilirannya juga dianggap memiliki otonomi yang dapat berperan balik untuk mengontrol struktur.
Dalam konteks ini, diklat, SAKIP, SPIP, dan Program Reformasi Birokrasi bisa dimaknai sebagai struktur-struktur yang didesain untuk memengaruhi tindakan individu-individu atau menciptakan individu-individu yang relatif serupa.
Gagasan Permenpan RB Nomor 27 Tahun 2014
Hampir seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk memperbaiki birokrasi menggunakan pendekatan struktur fungsionalis, yang menganggap sistem secara eksternal mampu mempengaruhi individu.
Namun, di antara berbagai kebijakan yang pernah ada, terdapat kebijakan yang menyempal dari pakem, yaitu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 27 tahun 2014 (Permenpan RB 27 Tahun 2014) tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah.
Boleh dikatakan bahwa peraturan tersebut adalah bagian dari Program Reformasi Birokrasi, bisa jadi satu-satunya, yang bernuansa konstruksionisme fenomenologis. Hal itu bisa kita simak dalam konsideran Permenpan RB 27 Tahun 2014 berikut:
“Bahwa untuk menggerakan birokrasi pemerintahan yang profesional diperlukan agen perubahan birokrasi yang dapat mengubah pola pikir dan budaya kerja di lingkungan Instansi Pemerintah”.
Asumsi yang digunakan dalam kebijakan ini adalah bahwa agen perubahan mampu mengintervensi struktur, dalam hal ini pola pikir dan budaya kerja pada instansi pemerintahan.
Permenpan RB 27 Tahun 2014 ini memiliki sejumlah makna, maksud, dan gagasan, yang tersirat maupun tersurat.
Pertama, pemerintah menyadari bahwa sistem birokrasi saat ini sedang sakit. Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Permenpan RB 27 Tahun 2014 itu sendiri. Jika birokrasi tidak sakit, untuk apa pemerintah merasa perlu untuk membangun agen perubahan?
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, sakit apa? Dalam kebijakan tersebut, pada paragraf pertama Bab I Lampiran, diagnosanya disebutkan secara implisit, bahwa sistem birokrasi tidak adaptif, tidak berintegritas, kental dengan perilaku korupsi, serta masih adanya kolusi dan nepotisme.
Kedua, instansi yang sistemnya sedang sakit tidak hanya satu atau dua, tetapi banyak, sistemik, dan menyebar luas. Hal itu terbukti dari aturan tentang agen perubahan ini ditetapkan dalam kebijakan tersebut.
Permenpan RB 27 Tahun 2014 ini merupakan kebijakan yang berlaku secara nasional. Artinya, kebijakan itu mengandaikan bahwa penyakit birokrasi ini terdapat di banyak instansi pemerintah di seantero Indonesia.
Ketiga, pemerintah yakin bahwa di dalam sebuah sistem yang rusak ini masih ada agen-agen yang sehat. Buktinya, peraturan ini memberikan acuan bagi instansi pemerintah dalam membangun agen perubahan di lingkungannya (Pasal 1 ayat 1).
Saya sengaja menandai kata “lingkungannya”, sebab kata ganti “nya” tersebut menyiratkan makna bahwa agen perubahan bisa didapatkan di dalam instansi masing-masing.
Keempat, agen perubahan ini harus dipilih oleh pimpinan dan tim khusus yang disebut dengan Tim Reformasi Birokrasi Internal (Tim RBI) sebagaimana diatur dalam Bab II Lampiran.
Di sana dinyatakan bahwa agen perubahan diusulkan oleh pimpinan unit kerja kepada Tim RBI. Kemudian, Tim RBI menyampaikan hasil seleksi kepada pimpinan untuk ditetapkan.
Dari uraian di atas, dapat diartikan bahwa agen perubahan merupakan “pegawai tercerahkan” yang bertugas mengobati instansinya yang sedang sakit, dipilih oleh pimpinan, diseleksi oleh Tim RBI, dan bertanggungjawab kepada pimpinan.
Pimpinan Sebagai Sentral Kehidupan di Birokrasi
Penyakit di birokrasi yang ingin disembuhkan oleh Program Reformasi Birokrasi bagaikan wabah yang sulit diberantas. Memahami patologi birokrasi di Indonesia, tidak lengkap rasanya jika dilakukan tanpa memahami struktur sosial masyarakat Indonesia, termasuk di birokrasi, yang feodalistik dan paternalistik.
Birokrasi paternalistik yang bercokol di negeri ini digambarkan oleh Agus Dwiyanto, sebagai berikut:
“Budaya birokrasi yang berlaku dalam birokrasi pemerintah umumnya bersifat paternalistik, yang menempatkan pimpinan sebagai sentral kehidupan dan kegiatan birokrasi. Budaya paternalistik ini cenderung semakin menguat dalam birokrasi Weberian yang sudah terlanjur mengakar dalam kehidupan birokrasi pemerintah. Birokrasi Weberian membangun konsep kekuasaan sebagai hak istimewa dari pimpinan. Hal ini ditunjukkan oleh hierarki yang panjang dan kewenangan mengambil keputusan ada di tangan pimpinan puncak”
Kondisi birokrasi tersebut belumlah berubah sampai dengan saat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Peter Carey, “Situasi birokrasi Indonesia belum mengalami perubahan paradigma (paradigm shift) yang signifikan dari zaman tatanan lama alias era feodal, birokrasi masih begitu berbelit dan beku”.
Dalam iklim birokrasi yang paternalistik, kondisi sakit/sehat maupun bersih/kotor sebuah instansi pemerintah dianggap sangat tergantung pada pimpinannya.
Kontradiksi dalam Permenpan RB Nomor 27 tahun 2014
Jika kita kaitkan dengan konsep strukturasi Giddens, pimpinanlah sebenarnya yang menciptakan sebuah struktur yang kemudian secara internal mampu mempengaruhi agen di sekitarnya.
Namun demikian, agen dengan segenap pemahaman dan pengetahuannya, melalui kemampuan otonominya mampu mempengaruhi balik struktur, yang diciptakan oleh pimpinan.
Horizon pemikiran inilah yang absen dalam Permenpan RB 27 Tahun 2014. Selain itu, kebijakan yang juga berfungsi sebagai struktur ini menyimpan beberapa kontradiksi di dalam dirinya.
Kontradiksi pertama, agen perubahan yang seharusnya memiliki otonomi, ‘diringkus’ untuk patuh kembali pada pimpinan. Kita sulit berharap pada agen perubahan yang dikelola seperti ini.
Dalam situasi ini, agen perubahan hanya menjadi obat penenang sementara, ibarat anestesi pereda sakit gigi yang tidak dapat mengobati sakit gigi.
Pada kondisi ini pula, peraturan yang bernuansa konstruksionis fenomenologis justru kembali pada struktur fungsional, yaitu mengandalkan pimpinan sebagai pencipta struktur untuk mempengaruhi agen.
Kontradiksi kedua, pimpinan dan Tim RBI sebenarnya adalah orang-orang yang diasumsikan memiliki kebijaksanaan. Tanpa asumsi tersebut, tidak mungkin pimpinan dan Tim RBI diberi kewenangan untuk memilih dan menetapkan agen perubahan.
Masalahnya, apakah setiap pimpinan dan Tim RBI memang bijaksana, ‘sehat’, dan memiliki imunitas terhadap penyakit di birokrasi? Selain itu, apakah mereka memiliki kemampuan untuk menentukan agen perubahan, memilih dan memilah personil yang benar-benar mampu memengaruhi struktur?
Jika jawabannya adalah ya, maka sebenarnya pimpinan dan Tim RBI itu sendirilah sang agen perubahan sehingga akan lebih mudah dalam membangun agen perubahan lainnya di lingkungan mereka.
Namun, jika jawabannya ternyata tidak, maka agen perubahan yang akan terpilih adalah agen yang akan melanggengkan status quo.
Pertanyaan selanjutnya, pada kondisi birokrasi yang masih inferior di hadapan kepentingan politik saat ini, berapa instansi yang mampu menjawab ‘ya’? Pertanyaan ini serasa pertanyaaan retorik yang dapat dijawab oleh banyak birokrat, termasuk saya.
Epilog
Dalam kondisi demikian, jika dikaitkan dengan konsep strukturasi Giddens, maka perbaikan birokrasi hendaknya melibatkan dialektika antara pimpinan sebagai pencipta struktur dengan agennya.
Agen perubahan tidak dapat secara naif dibangun dengan hanya sekadar memilih orang-orang yang dianggap terbaik di instansinya, lalu dibiarkan berjalan dengan sendirinya atas arahan dan petunjuk pimpinan.
Orang-orang terbaik yang terpilih menjadi agen perubahan tidak akan serta-merta mampu melakukan perubahan tanpa ada pergerakan bersama dengan pimpinan sebagai pencipta dan penjaga struktur.
Proses pergerakan bersama antara pimpinan dengan agen perubahan yang berada pada level bawahnya hanya akan terkondisi dengan baik di dalam budaya yang lebih egaliter, bukan paternalistik, apalagi feodal.
Akhirnya, saya dapat mengatakan bahwa Permenpan RB Nomor 27 Tahun 2014 sepertinya belum bisa memberikan maanfaat bagi birokrasi di Indonesia, selama konsep strukturasi belum berjalan dengan baik.***
Peneliti di Sekretariat Jenderal DPD RI. Sedang merintis program “Lets Read Great Again” bersama beberapa aktivis literasi. Pernah menulis buku berjudul Mental Kolonial (2017). Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog pribadi zamzammuhammadfuad.blogspot.com dan birokratmenulis.org.
Tulisan yang bagus
Bangsa ini dalam soal ide memang luar biasa, selalu bagus-bagus dan ideal. Sayangnya dari sisi penerapan seperti punuk merindukan bulan. Kita sangat menahami budaya paternalistik Indonesia, kalau mau merubah organisasinya, rubahlah pemimpinnya. Terobosan yang diambil adalah mencari pemimpin dalam organisasi dengan seleksi jabatan. Tetapi kembali kepada implementasinya, seleksi jabatan juga masuk angin sebagaimana tulisan bang Andi P di BM ini juga.