Dani mengernyitkan keningnya saat mendengar cerita Edwin yang pernah ditawari jabatan menjadi admin dengan mahar Rp.250 juta. Angka senilai itu saja sudah membuat Dani terkejut, terlebih lagi ketika ia dengar bahwa mahar untuk Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama mencapai Rp.350 juta.
Padahal, mahar senilai Rp.250 juta itu baru akan setara dengan jumlah tunjangan struktural eselon 3 selama 200 bulan. Artinya, seandainya Edwin menerima tawaran jabatan tersebut maka konsekuensinya tunjungan strukturalnya selama 200 bulan harus diberikan kepada orang lain.
Menengok masa lalu dan masa kini
Dani dan Edwin bersahabat semenjak sekolah menengah pertama (SMP). Selepas sekolah menengah atas (SMA), Dani melanjutkan kuliah di perguruan tinggi sedangkan Edwin memilih untuk mencari pekerjaan, karena keterbatasan dana. Nasib mujur bagi Edwin yang tidak berapa lama kemudian diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Berawal dari acara reuni alumni SMP, pada akhirnya Edwin dan Dani yang sudah hampir 8 tahun tidak bersua dipertemukan kembali. Terakhir kali sebelumnya, Dani bertemu Edwin dengan tampilan sederhana di warung kopi (warkop) pojok ‘alon-alon’.
Kini, penampilan Edwin jauh berubah drastis. Mobil sedannya diparkir di paling ujung, made in America keluaran terbaru. Begitu pula asesoris yang melekat di badannya, tidak bisa dibilang murah. Kemewahan ini sudah klop dengan gaya bicaranya yang menandakan dirinya adalah pejabat.
Cerita tentang jabatan
Usai acara reuni, Edwin mengajak Dani berjalan-jalan singkat dan berujung di rumah makan Father Suki, sebuah modern cullinary life style ala Jepang. Sambil menikmati Suki, Edwin membuka obrolan ringan seputar keluarga, lingkungan pekerjaan dan “experience” promosi jabatan yang dialaminya.
Dengan terbuka Edwin bercerita lingkungan kerjanya yang tergolong “basah” sambil bergurau bahwa semua bisa diatur dan dikendalikan. Misalnya, dalam urusan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) proses lelang “bisa dikondisikan”. Jagonya sudah ditentukan dan persyaratan diatur.
Seandainya yang menang bukan jagonya, nanti sang pemenang akan diboikot, tidak didukung supplier aspal (yang sudah dikondisikan juga). Sehingga, pemenang yang bukan jago akan kena black list. Jika tidak bisa bekerja (karena tidak adanya ketersediaan aspal), lama-lama yang bukan jago akan berpikir ulang sebelum mau ikut lagi. Karena kalau menang pun juga nggak bisa bekerja.
Modus lain memperkaya diri dengan uang negara bisa dilakukan dengan rekayasa pekerjaan konsultan updating sarana prasarana (sapras). Hampir setiap tahun dianggarkan updating sapras sebesar Rp.150 juta. Padahal, dia tahu sendiri ada daerah yang sejak tahun 2013 hingga sekarang selalu menerima updating sarpras, tetapi jumlah jalan tidak berubah.
Saya jadi berpikir, itulah alasan mengapa pegawai yang ditempatkan di unit sarpras dan peneliti anggaran sarpras merupakan pegawai dengan basis ilmu yang tidak sesuai. Mungkin ini disengaja agar pimpinan bisa mengambil kesempatan dari ketidaktahuan stafnya. Anggaran sebesar Rp.150 juta ujung-ujung nya menjadi “bancaan” setelah dipotong fee dan pajak.
Modus lain pemborosan uang negara ialah dengan reviu Detail Engineering Design (DED). Dengan alasan terjadi inflasi, reviu DED membuat nominal anggaran menjadi lebih tinggi meskipun tidak ada perubahan desain sama sekali. Padahal, seharusnya pejabat pembuat komitmen (PPK) membuat harga owner’s estimate dengan penyesuaian. Jadi, tidak tiap tahun dianggarkan kegiatan reviu yang begitu besar dan tidak efisien.
Terkait dengan risiko kenakalan pegawai dengan minta-minta fee kepada rekanan, ada saja akal untuk “pura-pura” menghukum. Paling-paling, mereka ini dimutasikan ke organisasi perangkat daerah (OPD) lain, tetapi tiga bulan kemudian oleh badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (Baperjakat) dikembalikan ke OPD asal.
Cerita Edwin makin berkembang hingga tentang dunia malam yang tidak jauh-jauh dari “entertaiment“. Kita mungkin pernah mendengar beberapa berita tentang penangkapan kasus transaksi prostitusi. Sebenarnya dengan berita itu para koruptor senang. Sebab, transaksi serah terima uang dikamuflase sebagai transaksi prostitusi. Modus ini telah berhasil mengelabui aparat sedangkan transaksi aslinya tidak terlacak.
Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan Edwin kepada Dani.
Namun, matahari hampir terbenam sementara masing-masing masih punya urusan yang harus dikerjakan. Kedua sahabat yang berbeda nasib itupun berpisah di ujung persimpangan.
Saat Matahari Terbenam
Tenggelamnya mentari sore itu mengiringi sebuah kesimpulan. Meskipun bersahabat sejak dulu, tetapi mereka berdua mempunyai pandangan yang berbeda dalam memaknai arti “jabatan”.
Edwin berpandangan bahwa jabatan ialah privilege, sebuah kenikmatan bagaikan “buah durian”. Pada umumnya masyarakat berpendapat bahwa durian itu nikmat, meskipun kulit luarnya berduri. Kenikmatan jabatan ini diimpikan banyak orang karena disertai dengan penghasilan dan fasilitas. Tidak kalah pentingya ialah bahwa sebuah jabatan akan menaikkan derajat pergaulan di masyarakat.
Di sisi lain, Dani berprinsip untuk hidup dalam kemanfaatan. Dia memandang jabatan dari sudut pandang “Marwah Jabatan” ialah sebagai pemimpin. Dani teringat petuah Ki Hajar Dewantoro, “Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.
Artinya, ketika seorang pemimpin berada di depan hendaknya memberikan teladan bagi pengikutnya. Ketika di tengah hendaknya ia memberikan prakarsa atau ide, lalu di belakang memberi dorongan atau motivasi.
Epilog
Dari Dani dan Edwin kita bisa melihat dua sudut yang berbeda dalam memandang jabatan. Dalam hemat saya, jabatan adalah amanah yang diberikan pimpinan. Jabatan hanya “kemasan”. Substansi dari jabatan adalah pelayanan. Semakin tinggi jabatan maka seseorang lebih bisa berkontribusi dengan tenaga maupun pikiran untuk masyarakat.
Jendral Sam Ratulangi mengatakan “Si Tou Tumou Tou“, manusia hidup untuk menghidupi manusia (memanusiakan manusia). Semoga kita semua dalam menjalankan tugas negara, selalu diberikan “rasa eling lan waspodo”, sehingga senantiasa menjaga amanah dalam setiap jenjang jabatan.
Jual beli jabatan sudah menjadi biasa disetiap pemda..jangankan harus membayar, saya malah menolak diberi jabatan cuma-cuma karena merasa tidak mau “terperangkap” sistem yang mengakibatkan mau tidak mau korupsi. Satu hal yang ingin saya tanyakan ke pejabat jenis edwin ini, masih bisakah membedakan halal dan haram? dan di mana Tuhan engkau posisikan di dalam hidupmu?
diantara pegawai pemerintah dan juga di masyarakat, masih sangat melekat pandangan mengenai “instansi dan posisi basah” , “instansi dan posisi kering”.
semoga ketika kita diberikan amanah berupa jabatan, yang terucap di hati dan lisan kita tidak hanya “alhamdulillah”, tetapi juga “innalillahi wainnailaihi raaji”uun”
Sebuah tulisan yang dapat menyentakkan jiwa setiap orang yang suka mengejar jabatan untuk memperkaya diri, dan sekaligus menjadi nasihat berharga bagi setiap orang dalam menjalani hidup ini.
Jabatan harus di pertanggung jawabkan dihadapan TUHAN dan sesama kita manusia.
Memang bekerja, menjabat adalah memberi kemanfaatan. Ada …. slogan wani pira untuk sebuah jabatan struktural. Tawaran wani pira itu ada, yang menawarkan memberi alasan jika kita menjabat lebih tinggi akan lebih banyak bermanfaat kpd masyarakat, bisa ikut merubah sistem jika ada sistem y dirasa kurang baik. Tapi prinsipnya ….itu bukan jalan yang baik Bagaimana akan memberikan manfaat y lebih baik jika di awalnya sudah tidak baik jalannya?
Ada yang berkata jer basuki masa bea…., apakah sesuai untuk hal ini? Ada istilah bisyaroh, syukuran… 🙂
DUK ….bukan Daftar Urut Kepangkatan ,tetapi menjadi Daftar Urut Kedekatan.
Semoga kita semua dijauhkan dari hal hal yang demikian, menjabat karena kompetensi bukan karena kolusi…