Mengikat Unta, Menjaga Amanah

by | Oct 10, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Ketika sebuah bangunan pendidikan ambruk dan menelan korban, terdengar kalimat singkat dari pimpinan yayasan yang seolah menutup semua penjelasan: “Ini sudah takdir.”

Ucapan semacam itu tentu bisa dimaklumi sebagai ungkapan iman dan ketabahan. Namun, ketika kalimat itu diucapkan oleh seorang pemimpin lembaga yang bertanggung jawab atas keselamatan banyak siswa, maknanya bergeser.

Kalimat tersebut menjadi pernyataan publik yang akan diuji oleh masyarakat: apakah ada kesungguhan dalam tanggung jawab, atau justru ada upaya untuk menghindar dari akuntabilitas.

Dari sinilah muncul pertanyaan penting: sejauh mana kata “takdir” masih wajar digunakan, dan kapan kalimat itu berubah fungsi menjadi pengalihan tanggung jawab dari kewajiban memberi penjelasan, yang seharusnya lebih rasional dan faktual.

Dua Bahasa dalam Musibah

Ketika ditimpa musibah, kadang kita menggunakan dua jenis bahasa. Bahasa iman digunakan untuk memberi penghiburan, menguatkan keyakinan, dan menenangkan hati. Kalimat Ilahi penting karena tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika, dan tidak semua orang siap menerima penjelasan teknis ketika sedang berduka.

Di sisi lain, ada bahasa manajemen risiko. Bahasa ini menuntut jawaban konkret: sejauh mana upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana?

Dalam konteks robohnya surau kami: yang seharusnya muncul ke permukaan adalah bagaimana kualitas bangunan, siapa yang melakukan pengawasan, apakah ada pelanggaran, dan bagaimana langkah perbaikan. Bahasa risiko lebih mengarah kepada kewajiban teknis dan etika dalam melindungi keselamatan publik.

Kedua bahasa ini sah dan punya tempat masing-masing. Namun masalah muncul ketika keduanya dicampur sembarangan.

Jika seorang pemimpin berbicara dengan bahasa iman di saat publik menunggu penjelasan teknis, hasilnya tentu kontraproduktif. Alih-alih memberi ketenangan, pernyataan itu justru menimbulkan kecurigaan bahwa ada tanggung jawab yang sedang dihindari.

Menggunakan kata takdir di ruang publik memang terdengar sederhana, tetapi tidak dengan dampaknya. Kalimat ini menenangkan sebagian orang, tetapi pada saat yang sama berpotensi memutus rantai pertanyaan kritis.

Publik yang ingin tahu penyebab teknis akan merasa suaranya tidak dianggap penting karena semua sudah digantungkan pada alasan yang tidak bisa diuji.

Kaburnya Garis Tanggung Jawab

Bahaya berikutnya adalah kaburnya garis tanggung jawab. Jika sebuah bangunan roboh karena buruknya kualitas material atau lemahnya pengawasan, lalu dijelaskan sebagai “takdir”, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah bahwa kelalaian manusia bisa dilegitimasi dengan narasi ilahi.

Ke depannya, kalau setiap kegagalan struktural ditutup dengan alasan religius, maka masyarakat akan terbiasa menerima musibah tanpa dorongan untuk memperbaiki sistem. Padahal, perbaikan berkelanjutan untuk mencegah suatu masalah tidak terulang adalah ultimate outcome dari manajemen risiko.

Obral kalimat bahwa apapun yang terjadi sudah digariskan 50.000 tahun sebelum kejadian akan menjauhkan kita dari pesan moral, bahwa manusia diberi akal dan tanggung jawab untuk mencegah kerusakan. Wajar, apabila narasi mabuk agama kerap bergema ketika terbiasa membungkam tanya dengan dogma.

Manajemen risiko menyediakan kerangka yang jelas untuk menghadapi peristiwa yang berpotensi merugikan. Langkah awal adalah mengidentifikasi risiko: apakah bangunan yang menampung ratusan orang memiliki desain sesuai standar, apakah material yang dipakai layak, dan apakah izin yang diberikan sudah melalui proses verifikasi yang benar.

Tanpa identifikasi, musibah sering dianggap datang tiba-tiba, padahal banyak pertanda (early warning) yang bisa dikenali sebelum terjadi.

Setelah risiko dikenali, langkah berikutnya adalah mitigasi. Di sinilah peran pengawasan teknis dan regulasi sangat penting. Audit bangunan, sertifikasi material, serta inspeksi berkala merupakan cara konkret untuk menurunkan potensi bahaya.

Jika mitigasi dijalankan, maka kemungkinan terjadi bencana dapat ditekan, meski tidak bisa sepenuhnya dihilangkan.

Dua langkah terakhir adalah respons dan pembelajaran. Respons menekankan kesiapan menghadapi insiden, seperti kecepatan evakuasi dan penanganan korban.

Sementara itu, pembelajaran memastikan tragedi tidak berulang.
Diperlukan pemahaman bahwa manajemen risiko adalah siklus agar prosesnya efektif. Pada titik inilah perbedaan antara musibah tak terhindarkan dan bencana yang lahir
dari kelalaian dapat terlihat jelas.

Setiap insiden yang menyangkut keselamatan publik tidak bisa dilepaskan dari dimensi etika. Pemimpin yang bertanggung jawab seharusnya hadir dengan sikap empati dan kerendahan hati untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Takdir” boleh saja diucapkan, tetapi seharusnya didahului oleh pernyataan tentang langkah nyata: apa yang salah, siapa yang akan diperiksa, dan bagaimana perbaikan dilakukan.

Mencari Sebab, serta Mencari Alasan

Dalam tata kelola pemerintahan maupun lembaga pendidikan, transparansi adalah fondasi kepercayaan. Publik senantiasa menunggu kejelasan kronologis, prosedur, standar, dan akuntabilitas. Ketika jawaban teknis samar dan diganti narasi religi, jangan heran bila masyarakat menilai ada yang sengaja disembunyikan.

Etika kepemimpinan menuntut keberanian untuk memikul tanggung jawab. Jika penyebab robohnya bangunan adalah faktor manusia, maka pengakuan atas kelemahan sistem menjadi langkah awal untuk perbaikan.

Menyembunyikan kelalaian di balik takdir sebagai alasan, akan lebih merugikan para pihak yang berkepentingan. Pemimpin yang berani jujur akan lebih dihargai daripada pemimpin yang cepat menutup pembicaraan dengan alasan semua sudah digariskan.

Kritik terhadap penggunaan kalimat “takdir Tuhan” tidak berarti menolak nilai spiritual. Justru sebaliknya, yang dibutuhkan adalah penempatan yang tepat. Pemimpin bisa tetap menggunakan bahasa langit untuk memupuk ketabahan, tetapi sebaiknya disampaikan setelah pemaparan fakta dan rencana tindak lanjut.

Urutan ini menjaga agar tulisan takdir tidak berubah menjadi tameng semata, dan tetap berada di tempat yang mulia. Publik akan melihat bahwa ada penghormatan terhadap takdir, dan pada saat yang sama, tanggung jawab manusia tidak diabaikan. Inilah jalan tengah yang adil: menghormati dimensi iman tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas.

Prinsip Keseimbangan

Sebagai penguat, prinsip keseimbangan antara usaha dan tawakal sebenarnya sudah diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ. Diriwayatkan, dari Anas bin Malik berkata: Seorang lelaki bertanya,

“Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat untaku lalu bertawakal, atau aku lepaskan saja lalu bertawakal?”
Rasulullah ﷺ menjawab, “Ikatlah terlebih dahulu, kemudian bertawakallah.”

Hadits ini sederhana, tetapi maknanya sangat relevan. Nabi ﷺ menegaskan bahwa tawakal bukanlah meninggalkan ikhtiar. Pun demikian, usaha yang dilakukan harus mempertimbangkan biaya dan manfaat.

Dalam hal ini cukup pengendalian sederhana yaitu mengikat, untuk menghindari risiko terbesar yaitu hilang dan atau timbulnya kerusakan karena unta dibiarkan begitu saja.

Artinya manusia harus berusaha sewajarnya—dalam konteks ini setidaknya memastikan standar bangunan, melakukan pengawasan, atau uji kelayakan sebelum digunakan—baru kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah. Inilah ajaran yang menempatkan iman dan tanggung jawab manusia secara seimbang.

Musibah, memang seharusnya dipandang sebagai bagian dari takdir. Namun, dalam urusan keselamatan publik, takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk menyingkirkan akal sehat.

Allah tidak pernah meminta manusia berhenti berpikir, berhenti merancang bangunan dengan baik, atau berhenti mengawasi pekerjaan dengan benar. Yang diminta hanyalah kejujuran dan tanggung jawab atas apa yang sudah dipercayakan.

Sebuah Pembelajaran, Bagi Kaum yang Berpikir

Kalimat “ini sudah takdir” sepatutnya menjadi penutup, bukan kalimat pembuka, apalagi jawaban utama. Jika dipakai sejak awal untuk meredam kritik, publik hanya akan melihat ada pemimpin yang sibuk mencari perlindungan daripada menunjukkan keimanan.

Mungkin benar bahwa semua yang terjadi sudah tertulis di tempat yang tinggi. Tetapi kontrak kerja, standar bangunan, dan aturan keselamatan jelas ditulis dalam pedoman.

Menjalankan kewajiban teknis bukan berarti melawan takdir, melainkan menghormati akal sehat sebagai anugerah yang diberikan. Ketetapan takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk menutupi kelalaian.

Hadits tentang mengikat unta lalu bertawakal mengandung pembelajaran bagi kaum yang berpikir: iman tidak berarti meninggalkan ikhtiar, justru mewajibkan usaha yang benar sebelum menyerahkan hasil pada Allah. Prinsip ini wajib menjadi pegangan dalam setiap urusan keselamatan publik.

Sebuah harapan, agar tulisan ini bisa jadi peringatan, bagi mereka yang menjual takdir sebagai alasan. Mungkin saja mereka masih merasa aman karena lolos dari hukuman. Namun bagi yang beriman dan meyakini ada kehidupan setelah kematian, kelak pasti diminta pertanggungjawaban pada hari penghitungan.

Darjo, Oktober 2025

0
0
Ditya Permana ◆ Professional Writer

Ditya Permana ◆ Professional Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post