Memahami perspektif makro dalam penghitungan kerugian perekonomian negara akibat suatu tindak pidana korupsi, telah menjadi perhatian para auditor dan aparat penegak hukum.
Perspektif makro tersebut bisa digunakan dalam mengungkapkan tindakan korporasi yang merugikan negara karena membakar hutan dan lahan (karhutla), eksploitasi korporasi yang mengakibatkan kerusakan masif lingkungan (environmental destruction), bahkan tindakan korporasi yang tidak memperhatikan aspek environmental, social, dan governance (ESG) yang mengakibatkan kerusuhan sosial (social unrest) di suatu daerah.
Sebelum membahas lebih jauh perspektif makro dalam penghitungan kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi ini, terlebih dahulu kita harus memahami definisi tindak pidana korupsi dan kerugian negara.
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana melawan hukum. Tindakan tersebut adalah yang merugikan kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara.
Artinya, Undang-Undang pada dasarnya sudah mengakui keberadaan perspektif makro, yaitu dengan secara khusus membedakan kerugian keuangan negara dengan kerugian perekonomian negara. Keduanya juga masuk lingkup kerugian negara/daerah.
Perbedaan Kecurangan dan Korupsi
Kecurangan oleh beberapa pihak dengan tegas disebut sebagai kejahatan, yaitu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan secara sengaja (intentional act) untuk tujuan tertentu, seperti manipulasi atau memberikan laporan yang keliru terhadap pihak lain.
Tindakan tersebut bisa dilakukan oleh orang dari dalam maupun luar organisasi untuk meraup keuntungan pribadi.
Namun, menurut asosiasi penguji kecurangan (ACFE), kecurangan lebih luas daripada korupsi karena terdiri dari tiga hal, yaitu penyimpangan aset (asset misappropriation), kecurangan pelaporan (reporting fraud), dan korupsi (corruption).
Walaupun korupsi pada dasarnya bagian dari kecurangan, sudah menjadi kesepakatan secara nasional bahwa korupsi menimbulkan akibat yang luar biasa, seperti biaya tinggi, meningkatkan kemiskinan, meningkatkan harga-harga, menurunkan kepercayaan rakyat kepada negara, dan menggoyahkan fondasi negara.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, tindak pidana korupsi tidak lagi sekadar bagian dari kecurangan, tetapi merupakan kejahatan, bahkan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Mengungkapkan Tindak Pidana Korupsi
Pertanyaannya kemudian, bagaimana menentukan sebuah tindak pidana apakah bisa dibuktikan sebagai sebuah tindak pidana korupsi atau bukan?
Untuk menjawab ini, kita bisa menggunakan rerangka kerja (framework) penyebab, tindakan, dan akibat atau dampak yang biasa digunakan oleh para ahli hukum dalam membuktikan sebuah perbuatan/tindak pidana.
Ahli hukum bersama ahli lainnya biasanya akan mengungkapkan sebuah perbuatan dan menggali akar penyebab/modus/niat atas dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan/tindak pidana[1].
Sementara itu, para auditor adalah pihak yang ahli dalam penghitungan kerugian negara, yang akan menilai akibat dari sudah tindakan para pihak (baik bertindak atau tidak bertindak), yaitu dalam perbuatan/tindak pidana korupsi, utamanya terkait nilai kerugian negara.
Cara Menghitung Kerugian dari Berbagai Perspektif Pengukuran
Dalam menghitung kerugian negara, para auditor akan menggunakan berbagai perspektif pengukuran. Paling tidak, penghitungan kerugian negara dapat dilihat dari perspektif kerugian akuntansi, keuangan, perekonomian, lingkungan, dan sosial, dengan uraian sebagai berikut:
- Perspektif Kerugian Akuntansi. Kerugian akuntansi adalah kerugian yang teridentifikasi oleh auditor dari catatan dan laporan akuntansi, baik laporan keuangan maupun laporan pertanggungjawaban lainnya.
Contohnya, terdapat pekerjaan pembangunan jalan usaha tani. Kontrak pekerjaan ini telah diakui selesai serta dicatat dan dipertanggungjawabkan dalam pembukuan senilai Rp150.000.000,00.
Namun, setelah dilakukan audit, ditemukan kerugian negara senilai Rp100.000.000,00 yang disebabkan ketidaksesuaian spesifikasi jalan dengan kontrak.
Kerugian negara senilai Rp100.000.000,00 ini adalah nilai kerugian akuntansi, yang nyata dilihat dari catatan dan laporan akuntansi yang dimanipulasi yang tidak menunjukkan nilai sebenarnya.
2. Perspektif Kerugian Keuangan. Kerugian keuangan lebih luas daripada kerugian akuntansi karena mempertimbangkan nilai uang (value of money) dan hal-hal yang tidak dicatat secara khusus dalam laporan-laporan keuangan, yang biasanya mempertimbangkan tingkat bunga pasar.
Contohnya, dengan tidak dibangunnya jalan usaha tani karena adanya tindak pindana dengan total senilai Rp1.000 miliar pada 10 tahun lalu dari APBN, kerugian negaranya bukan hanya senilai Rp1.000 miliar, tetapi senilai Rp1.318,08 miliar (dengan memperhitungkan tingkat bunga negara meminjam 6%).
3. Perspektif Kerugian Perekonomian. Kerugian perekonomian lebih luas dari kerugian akuntansi dan kerugian keuangan karena mempertimbangkan hal-hal yang berwujud fisik maupun yang tidak berwujud fisik, yang teridentifikasi dari ukuran atau indikator ekonomi.
Contohnya, tindak pidana korupsi pada pekerjaan pembangunan jalan usaha tani telah menyebabkankerugian negara berupa penurunan pertumbuhan PDB, peningkatan tingkat pengangguran, penurunan belanja konsumen, dan atau penurunan investasi.
Sebelum tindak pidana korupsi terjadi, pertumbuhan PDB USD 893 trillion, turun menjadi USD 860 trilliun karena terjadinya tindak pidana korupsi.
4. Perspektif Kerugian Lingkungan. Kerugian lingkungan dapat mengandung kerugian keuangan dan kerugian perekonomian negara.
Kerugian keuangan negara dari kerusakan lingkungan paling tidak terdiri dari biaya negara untuk mengembalikan lingkungan ke kondisi awal, sedangkan kerugian perekonomiannya adalah manfaat yang hilang karena lingkungan rusak tidak bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki perekonomian negara.
Contohnya, seseorang mengabaikan prosedur yang benar dalam hal pemilihan lokasi jalan, penggunaan bahan bangunan yang tidak sesuai standar, atau pembuangan limbah konstruksi yang tidak terkendali.
Hal ini menyebabkan kerusakan pada lahan pertanian yang produktif, termasuk erosi tanah, penurunan kualitas tanah, atau kontaminasi air tanah.
5. Perspektif Kerugian Sosial. Begitu juga dengan kerugian sosial, yang biasanya berupa biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk mengatasi ketegangan, konflik, atau ketidakstabilan sosial dalam masyarakat, yang bisa dilihat sebagai bagian dari kerugian keuangan dan kerugian perekonomian negara.
Contohnya, kegagalan atau salah bertindak pemilik proyek pembangunan jalan usaha tani memunculkan protes dari masyarakat yang destruktif yang merugikan aset-aset negara.
Tindakan yang tidak tepat dari pejabat pemerintah atau kontraktor juga merusak citra lembaga publik dan menyebabkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan sistem hukum, serta memicu protes, demonstrasi, atau kerusuhan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan yang dirasakan oleh masyarakat yang merugikan negara.
Indikator Kerugian Perekonomian Negara
Menghitung kerugian perekonomian negara pada dasarnya adalah menggunakan perspektif makro dalam menghitung kerugian negara. Dalam perspektif makro ini, kerugian perekonomian negara semestinya dilihat dari indikator-indikator makro.
Secara khusus, ketika mengungkapkan kerugian perekonomian negara, para auditor mestinya mengidentifikasi kondisi indikator-indikator makro sebelum terjadinya perbuatan/tindak pidana dan kondisi setelah terjadinya tindak pidana.
Beberapa indikator makro berikut beserta pemodelannya di lapangan yang bekerja sama dengan ahli ekonomi dapat digunakan oleh para auditor untuk menghitung kerugian perekonomian negara:
1. Pengurangan Pendapatan. Indikator berkurangnya pendapatan negara menunjukkan bahwa suatu tindak pidana mengurangi pendapatan yang seharusnya diterima oleh negara. Tindak pidana seperti penggelapan pajak, manipulasi pengelolaan dana publik, atau pelanggaran terhadap aturan keuangan adalah tindak pidana korupsi yang mengakibatkan negara kehilangan sumber pendapatan yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian negara.
2. Penghilangan Pendapatan. Indikator hilangnya pendapatan negara menunjukkan bahwa suatu tindak pidana mengakibatkan negara kehilangan secara penuh (total loss) sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, investasi, dan program-program ekonomi lainnya.
Kerugian perekonomian negara ini juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi daya saing, dan mempersempit peluang pengembangan ekonomi masyarakat.
3. Penurunan Investasi. Indikator penurunan investasi menunjukkan bahwa suatu tindak pidana memiliki dampak negatif terhadap iklim investasi negara. Akibat nyatanya, munculnya hambatan pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan penciptaan lapangan kerja.
4. Kerusakan Infrastruktur. Indikator kerusakan infrastruktur menunjukkan bahwa suatu tindak pidana menyebabkan kerusakan atau penghambatan pada pembangunan infrastruktur yang penting bagi perekonomian negara. Kerusakan ini menghambat pertumbuhan sektor-sektor terkait, mengurangi produktivitas, dan menghambat potensi pengembangan perekonomian negara.
5. Gangguan Stabilitas Ekonomi. Indikator gangguan stabilitas ekonomi menunjukkan bahwa suatu tindak pidana mengganggu keseimbangan dan kestabilan ekonomi negara secara keseluruhan. Akibat nyatanya, pertumbuhan ekonomi terhambat, investasi berkurang, dan masyarakat menghadapi biaya ekonomi yang lebih tinggi.
Beberapa Contoh Kasus di Persidangan
Sudah banyak contoh kasus keberhasilan para auditor dalam menghitung kerugian perekonomian negara dan mengungkapkannya di persidangan.
Sebagai contoh, pada Korupsi Izin Usaha Pertambangan. Di Sulawesi Tenggara (Sultra) terdapat perkara korupsi perizinan yang dilakukan oleh NA (Gubernur Sultra periode 2008-2018), tertuang dalam Putusan Nomor 2633 K/Pid.Sus/2018.
Dalam kasus tersebut, negara mengalami accounting loss senilai Rp1.596.385.454.137,00, yang tertuang dalam laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh Deputi Bidang Investigasi BPKP.
Selain itu, terdapat pula kerugian negara akibat environmental loss (destruction) akibat kerusakan lingkungan dan biaya pemulihan senilai Rp2.728.745.136.000,00.
Contoh lain, pada Korupsi Lahan Sawit. Kasus ini terkait dengan alih kawasan hutan yang menjadi kebun sawit tanpa pelepasan kawasan hutan dan terdapat upaya suap kepada pihak tertentu dalam rangka memperoleh izin alih kawasan hutan.
Nilai perhitungan kerugian dalam kasus korupsi lahan sawit PT DPG berdasarkan penghitungan penyidik adalah senilai Rp78 triliun. Namun, berdasarkan audit BPKP, kerugian keuangan dan perekonomian negara mencapai total Rp 104,1 triliun.
Semoga tulisan ini membantu para auditor dan para penegak hukum dalam menangani tindak pidana korupsi yang sudah semakin canggih, tidak saja atas terjadinya kerugian keuangan negara, tetapi juga kerugian perekonomian negara. ***
[1] Lihat contohnya dalam persidangan “Kopi Sianda” dan “Penembakan Ajudan Jenderal” yang cukup rumit pembuktiannya dengan melibatkan berbagai macam ahli.
Menghitung nilai kerugian karena ketertinggalan kita dari negara lain akibat maraknya korupsi juga butuh metode khusus, Chief.