Menghindari Kecurangan Bantuan Sosial dan Menuju Negara Kesejahteraan, Saatnya Indonesia Mengintegrasikan Berbagai Tunjangan Sosial

by Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer | Jan 28, 2021 | Berdaya, Refleksi Birokrasi | 1 comment

Pandemi COVID-19 telah memantik pemerintah untuk mengucurkan beragam tunjangan sosial ekstra (social benefit). Jika dikelola dengan baik, beragam tunjangan sosial ini akan membuka peluang Indonesia terhindar dari berbagai kecurangan dalam pemberian bantuan sosial sebagaimana yang terjadi baru-baru ini dengan melibatkan pejabat setingkat menteri.

Dengan pengelolaan tunjangan sosial yang baik, Indonesia juga berpeluang menjadi ‘negara kesejahteraan’ atau welfare state, yaitu negara yang dengan sukarela memberikan anggaran besar untuk kepentingan tunjangan sosial rakyatnya. Negara kesejahteraan ini bisa menciptakan keadilan ekonomi dan sosial, serta menjaga martabat (dignity) rakyat, di mana rakyat tidak harus mengemis di jalanan dalam situasi krisis (World Atlas, 2020).

Pada dasarnya, praktik dalam konsep negara kesejahteraan tidak asing bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Konsep negara kesejahteraan sejalan dengan salah satu dari lima pilar ajaran Islam, yaitu kewajiban memberikan zakat ke negara bagi mereka yang memenuhi syarat. Hasil pengumpulan zakat ini kemudian dikelola oleh pemerintah untuk diberikan kembali kepada mereka yang membutuhkan.

Konsep negara kesejahteraan tersebut diadopsi oleh negara-negara di Eropa, yaitu oleh kaum konservatif pada abad ke-19 dan kaum fasis pada abad ke-20, terutama untuk menghambat pemberontakan kelompok buruh dan kaum sosialis. Namun, di Inggris konsep tersebut dibawa oleh partai Liberal yang dipengaruhi oleh keberhasilan reformasi sosial di Jerman. Adapun di Prancis, konsep negara kesejahteraan mulai muncul tahun 1930-an.

Kenapa Negara Kesejahteraan Penting untuk Indonesia?

Berbagai literatur menunjukkan, konsep negara kesejahteraan di Indonesia sudah mulai muncul sejak para pendiri bangsa menggodok “konsep Indonesia”. Konsep negara kesejahteraan ini semakin berkembang dengan munculnya berbagai program pengentasan kemiskinan, yaitu dengan memberikan berbagai subsidi kepada rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh, dengan subsidi atas bahan bakar minyak (BBM), rakyat tidak perlu membayar BBM dengan harga pasar internasional yang sangat mahal.

Pada jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, konsep negara kesejahteraan diimplementasikan dalam bentuk pemberian ‘bantuan langsung tunai’ atau direct cash transfer untuk orang-orang miskin. Kemudian setelahnya, di era pemerintahan SBY-Budiono, juga terdapat upaya untuk memfokuskan kembali konsep negara kesejahteraan dengan mengimplementasikan Program Keluarga Harapan (PKH) atau conditional cash transfer yang didukung oleh World Bank.

PKH tersebut ditujukan untuk mengantisipasi agar orang-orang miskin tidak terus-menerus terperangkap dalam kemiskinannya, yaitu dengan cara memberikan tunjangan sosial berupa uang tunai kepada ibu hamil yang rajin memeriksakan kesehatannya ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Dengan PKH ini, ibu-ibu hamil diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang sehat.  Sebab, adanya gangguan kesehatan pada anak akan mempengaruhi kecerdasan mereka. Selain itu, PKH ini juga memberikan insentif kepada keluarga miskin yang menyekolahkan anak-anaknya agar mereka dapat menjadi kader bangsa yang mampu berkompetisi dengan mereka yang berasal dari keluarga mampu. 

Ketika Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih, berbagai inisiatif tunjangan sosial semakin berkembang. Pemerintah merealisasikan konsep negara kesejahteraan dengan berbagai bentuk kartu. Sebagai contoh, selain mengenalkan kartu PKH, mereka mengenalkan ‘Kartu Indonesia Pintar’ atau KIP dan ‘Kartu Indonesia Sehat’ atau KIS.

Ketika berkampanye tahun 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin mempromosikan tiga tunjangan sosial, yaitu ‘Kartu Sembako Murah’, ‘Kartu Indonesia Pintar Kuliah’, dan ‘Kartu Prakerja’. Model ini banyak dipraktikkan di negara terbelakang atau sosialis yang sedang mengalami krisis. Sebagai contoh, di Venezuela kartu tersebut disebut ‘Secure Food Supply Card’.

Kartu ini membatasi jumlah kebutuhan pokok yang bisa dibeli oleh seorang warga di toko-toko yang disubsidi oleh pemerintah. Tujuannya adalah untuk menghindari rakyat menumpuk kebutuhan pokok dengan harga murah tersebut dan kemudian menjualnya kembali di pasar gelap dengan harga mahal. 

Sementara itu, di negara maju seperti Selandia Baru, praktik subsidi dengan Kartu Sembako Murah dikelola oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, seperti Foodbank Project. Organisasi ini bekerja sama dengan perusahaan pasar swalayan dan organisasi sosial. Perusahaan dan organisasi sosial inilah yang akan mengelola sumbangan dari para donatur.

Para donatur ini dapat memilih langsung paket kebutuhan pokok yang akan mereka sumbangkan dan memberikan sumbangan melalui transfer. Ketika orang miskin datang ke perusahaan atau organisasi sosial, mereka kemudian dapat memilih sendiri paket kebutuhan pokok yang dibutuhkan.

Belakangan ini, di banyak negara maju, pemberian tunjangan sosial melalui kartu-kartu sebagian besar sudah diubah dalam bentuk pemberian uang tunai atau pemberian manfaat secara langsung. Sebagai contoh, di Selandia Baru dulunya mereka memiliki kartu yang disebut ‘Community Services Card’. Dengan kartu ini, mereka yang tidak mampu (beneficiary) bisa memperoleh fasilitas kesehatan atau transportasi secara gratis. Namun, yang dapat menggunakan kartu tersebut dibatasi hanya bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Sementara itu, Kartu Indonesia Pintar Kuliah yang diusung pemerintahan saat ini pada dasarnya adalah perluasan dari ‘Kartu Indonesia Pintar’ serta hasil integrasi ‘Beasiswa Bidik Misi’ dan berbagai jenis beasiswa lainnya. Inisiatif tunjangan sosial ini ditujukan untuk mahasiswa miskin yang kuliah di perguruan tinggi. Tunjangan sosial ini mirip dengan Student Allowance’ yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan di negara maju. Yang membedakannya, di negara maju seperti Selandia Baru untuk memperoleh tunjangan sejenis ini tidak ada batasan penghasilan dan umur yang ketat.

Kemudian, inisiatif tunjangan sosial dalam bentuk Kartu Prakerja yang diusung pemerintahan saat ini mirip dengan ‘Youth Allowance’ atau ‘tunjangan tidak bekerja’ atau unemployment benefit di banyak negara maju. Di Inggris, Australia, dan Selandia Baru, tunjangan sosial ini diberikan kepada mereka yang tidak bekerja tanpa memandang umurnya, tua atau muda.

Sementara itu, menurut Asosiasi Perlindungan Sosial Internasional (International Social Security Association), tunjangan sosial Kartu Prakerja ini berada dalam satu kelompok dengan tunjangan tidak bekerja, yaitu berada dalam kelompok ‘sistem bantuan sosial tidak bekerja’ atau unemployment social assistance system.

Dengan diusungnya berbagai insiatif tunjangan sosial oleh pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, pemerintah Indonesia semakin berperan dalam pembiayaan sistem perlindungan sosial. Buktinya, dulu menurut laporan Asosiasi Perlindungan Sosial Internasional pada bulan Maret 2011, tidak satu pun sistem perlindungan sosial di Indonesia yang bersumber dari anggaran negara.

Kini, menurut laporan mereka yang diterbitkan pada bulan Maret 2019, pemerintah Indonesia sudah mulai berperan membiayai sistem perlindungan sosial kesehatan atau social assistance (medical benefits) system. Hal ini juga tampak dalam biaya pengobatan atau persalinan gratis bagi mereka yang tidak mampu.

Apa yang Perlu Dilakukan ke Depan?

Berbagai inisiatif tunjangan sosial di Indonesia masih tumpang-tindih. Agar tidak tumpang-tindih, Indonesia perlu mengintegrasikan berbagai inisiatif tunjangan sosial menjadi ‘sistem tunjangan nasional terpadu’ atau integrated social benefit system yang komprehensif.

Mengacu ke pengalaman Selandia Baru, berbagai inisiatif tunjangan sosial di Indonesia dapat diintegrasikan menjadi tiga subsistem atau dalam tiga kelompok (cluster) besar, yaitu sistem asistensi tunjangan utama (main benefit assistance system), sistem asistensi kesusahan (hardship assistance system), dan sistem asistensi tunjangan tambahan (supplementary benefit assistance system). Dengan integrasi ini, kemungkinan seseorang menerima tunjangan sosial berganda atau malah tidak layak menerima tunjangan sosial dapat diminimalkan.

Pemerintah juga perlu mengintegrasikan sistem tunjangan sosial terpadu dengan sistem perpajakan agar Indonesia dapat menuju kepada negara kesejahteraan berbasis kesatuan Republik Indonesia yang mandiri secara pembiayaan. Integrasi sistem tunjangan sosial terpadu dengan sistem perpajakan ini penting karena pada dasarnya pemberian tunjangan sosial kepada seorang rakyat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Ketika seorang rakyat semakin sejahtera dan penghasilannya sudah di atas tingkat penghasilan tertentu, maka sudah sewajarnya ia menanggung beban warga lainnya yang belum sejahtera. Itulah sebabnya, sistem tunjangan sosial terpadu tidak bisa dilepaskan atau terpisah dari sistem perpajakan Indonesia.

*) Tulisan ini telah dimuat dalam Buletin Informasi dan Teknologi (BIT) edisi Triwulan IV Tahun 2020 dengan judul yang sama

Sumber foto : https://nasional.kompas.com/image/2020/12/07/10035041/bansos-covid-19-dikorupsi-ironi-di-tengah-pandemi?page=1


2
0
Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis.

Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI).

Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”.

Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia).

Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management.

Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.

Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Rudy M. Harahap ♣️ Expert Writer

Author

Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis. Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI). Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”. Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia). Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management. Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.

1 Comment

  1. Avatar

    Program ini membutuhkan infrastruktur sistem data, oleh karena itu program single identity number (SIN) sangat mendesak untuk segera diterapkan sepenuhnya.
    Penerapan SIN ini juga akan menjadi faktor penunjang keberhasilan administrasi publik yang berkualitas

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post