Penyebaran COVID-19 telah meluas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Penyebaran virus ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 khususnya di sektor perdagangan, investasi, dan pariwisata. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan karena penurunan kinerja ekspor-impor, penurunan kinerja privat sektor yang berdampak pada lemahnya daya beli masyarakat (konsumsi rumah tangga menurun), dan investasi yang tumbuh melambat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penyebaran virus COVID-19 yang terjadi di Indonesia mengakibatkan menurunnya kegiatan ekonomi di berbagai sektor keuangan Indonesia seperti perbankan hingga konsumsi rumah tangga.
Pada sektor rumah tangga terjadi ancaman kehilangan pendapatan masyarakat yang tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama rumah tangga dengan ekonomi level menengah ke bawah, karena lemahnya daya beli.
Sektor UMKM juga mengalami hal serupa. Pelaku usaha ini tidak dapat melakukan kegiatan usahanya seperti biasa terlebih setelah ditetapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akibatnya, mereka tidak mampu memenuhi kewajiban kredit (kredit macet) kepada lembaga perbankan. Hal ini akan menimbulkan ancaman serius pada sektor korporasi dan sektor keuangan.
Menurut Sri Mulyani, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 2,5 persen atau bahkan 0 persen jika pandemi COVID-19 di republik ini tak segera diatasi. Dengan adanya COVID-19 pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipastikan berada di bawah 5 persen.
Kondisi ekonomi juga diperburuk dengan harga minyak dan gas yang turun di kisaran USD 20 per barel padahal perekonomian Indonesia bergantung pada harga komoditas (sumber: Liputan6).
Intervensi Kebijakan Pemerintah
Fokus penggunaan APBN 2020 sebagai instrumen kebijakan fiskal memainkan peranan strategis dalam memastikan pencapaian target-target pembangunan yang telah ditetapkan. Namun, gara-gara COVID-19 fokus tersebut harus bergeser pada pencegahan penyebaran virus ini dan kegiatan pemulihan perekonomian.
Secara garis besar, struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran, dan pembiayaan. Adapun yang menjadi faktor penentu postur APBN adalah pendapatan negara, belanja negara dan pembiayaan. Pendapatan negara dapat diperoleh dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak.
Penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama triwulan terakhir juga berimbas pada eksistensi pendapatan negara yang tertuang dalam APBN 2020. Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 mengenai Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 perbaikan kualitas belanja harus bergeser difokuskan pada program dan kegiatan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan perekonomian
Peraturan ini menjelaskan adanya perbandingan terbalik dalam penurunan pendapatan dan peningkatan belanja negara yang memprioritaskan pada pencegahan penyebaran wabah COVID-19, sehingga mengakibatkan peningkatan defisit anggaran dari yang ditetapkan sebelumnya, yaitu dari minus Rp307,2triliun menjadi minus Rp852,9triliun.
Melihat perkembangan ekonomi global dan realisasi penerimaan pajak 2019 yang hanya tumbuh 0,23% dibandingkan 2018, maka salah satu pilihan strategi agar stabilitas pertumbuhan ekonomi tetap terjaga adalah memastikan kualitas belanja dalam APBN 2020 benar-benar memiliki korelasi bagi pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia Maju ditengah wabah virus COVID-19.
Perlunya Kolaborasi, Berpacu dengan Waktu
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, wabah COVID-19 diprediksi akan mencapai puncaknya hingga tiga bulan mendatang. Hal ini akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia jatuh di angka 2 persen hingga -2 persen.
“Di kuartal II akan lebih banyak lagi kasus COVID-19, karena akan lebih banyak pembatasan mobilitas, social distancing, yang akan menekan pertumbuhan ekonomi dan jelas konsumsi dan produksi berkurang drastis. Jika wabah ini berlarut lebih dari tiga bulan, ekonomi akan resesi,” katanya.
“Sebagai contoh, Pemerintah Tiongkok yang memberlakukan lockdown khususnya di Provinsi Hubei dengan menutup pabrik-pabrik, menghentikan transportasi umum, dan mewajibkan rakyatnya tinggal di rumah, memang telah melumpuhkan ekonomi provinsi itu.
Namun, kebijakan itu terbukti mampu mengatasi penyebaran wabah ini kurang dari tiga bulan, sehingga mempercepat proses pemulihan ekonomi,” tambahnya.
Oleh karenanya, dalam menghadapi resesi ekonomi yang terjadi diharapkan beberapa pihak baik pemerintah, BI, OJK, serta privat sektor dapat berintegrasi dan mengambil perannya masing-masing, sebagaimana diuraikan berikut.
Peran Pemerintah
Peran pemerintah yaitu melakukan perbaikan kualitas belanja pada alokasi belanja negara untuk APBN 2020, sebesar Rp2.613,8 triliun, yang terdiri dari alokasi Rp1.683,4 triliun untuk belanja pemerintah pusat dan Rp762,7 triliun untuk anggaran transfer ke daerah dan dana desa.
Pemerintah agar memastikan efektivitas penggunaan belanja tersebut dalam mencegah penyebaran COVID-19 dan menjaga stabilitas perekonomian melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masyarakat yang mengalami penurunan pendapatan dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja.
Penyaluran BLT juga perlu diikuti dengan ketepatan data penerima bantuan dan perbaikan mekanisme dan kelembagaan dalam penyalurannya sehingga dana BLT tidak salah sasaran dan diterima oleh seluruh masyarakat yang semestinya mendapatkan. Perlu belajar dari pengalaman penyaluran bantuan sosial selama ini yang belum terdistribusi secara merata khususnya bagi masyarakat yang justru membutuhkan.
Oleh karena itu, koordinasi untuk validitas data sampai dengan level desa perlu dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah agar tujuan BLT untuk menjaga daya beli masyarakat bisa tercapai.
Untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai dampak perlambatan putaran roda ekonomi, pemerintah dapat mengurangi beban biaya yang secara langsung dapat dikendalikannya, di antaranya tarif dasar listrik, BBM, dan air bersih.
Penurunan tarif listrik dan BBM tentu tidak akan terlalu membebani keuangan BUMN dan BUMD, mengingat harga minyak mentah yang turun ke kisaran $20 per barel diperkirakan masih akan berlangsung lama sejalan dengan potensi resesi global.
Penerapan relaksasi pajak penghasilan baik untuk pekerja industri manufaktur (penghapusan PPh 21 selama enam bulan) ataupun pajak badan untuk industri manufaktur (pembebasan PPh Impor 22 dan diskon PPh 25 sebesar 30%) semestinya diperluas. Pasalnya, perlambatan ekonomi saat ini tidak hanya dirasakan oleh sektor industri manufaktur, tetapi juga sektor-sektor lainnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perluasan relaksasi pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor lain, khususnya yang terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata.
Peran BI, OJK, dan Sektor Privat
- Bank Indonesia (BI) dan OJK
Merumuskan kebijakan yang bersifat strategis untuk mengatasi tingginya tingkat suku bunga perbankan yang menjadi salah satu beban pelaku ekonomi, khususnya di saat perlambatan ekonomi seperti saat ini.
Saat ini, meskipun BI telah melakukan pelonggaran moneter, tingkat suku bunga kredit perbankan belum mengalami penurunan yang signifikan sebagaimana halnya suku bunga simpanan. Pada periode Juni 2019 – Februari 2020, saat suku bunga acuan BI telah turun 125 bps, suku bunga kredit perbankan hanya turun 27 bps, lebih rendah dibandingkan penurunan suku bunga deposito sebesar 44 bps. (sumber bi.go.id)
- Sektor Privat
Sektor privat wajib mengambil peran dengan melakukan manuver dalam menjalankan bisnisnya agar tidak terhenti secara total dan dapat memutar roda perekonomian demi kesejahteraan pegawainya. Hal ini dapat dilakukan oleh perusahaan manufaktur yang beralih dalam menjual produk secara online.
Perusahaan manufaktur juga dapat berkolaborasi dengan perusahaan jasa pengiriman dalam menjalankan bisnis di tengah wabah pandemik ini. Dengan demikian roda ekonomi akan tetap berjalan bagi pelaku bisnis maupun pegawainya. Kesejahteraan pegawai tetap terjaga sehingga tidak melemahkan daya beli masyarakat atas kebutuhan pokok.
Epilog
Wabah COVID-19 benar-benar telah membuka mata kita semua atas dampak multisektor kehidupan masyarakat yang ditimbulkannya. Akan berapa lama resesi ekonomi ini akan berlalu tergantung dari kerja sama pemerintah, lembaga otoritas moneter, dan sektor privat, bahkan masyarakat sendiri, dalam menjalankan berbagai kebijakan yang sudah ditetapkan dapat berjalan efektif.
ASN dengan jabatan Calon Peneliti di Badan Kepegawaian Negara. Pemerhati kebijakan publik khususnya bidang ekonomi. Lulusan program studi S1 Pendidikan Ekonomi dan S2 Magister Manajemen di Universitas Negeri Jakarta. Melalui tulisan, penulis ingin sharing pengalaman dan akademis yang telah didapat dalam praktik pemerintahan.
0 Comments