Baru-baru ini Tuan Guru Bajang mengalami perlakuan diskriminatif di Singapura. Perlakuan diskriminatif ini kemudian mendorong kemarahan masyarakat (termasuk di Nusa Tenggara Barat) yang meminta agar pelaku diskriminasi itu dikenakan sanksi hukum. Mengingat kurang dikenalnya Tuan Guru Bajang dalam kancah nasional, tulisan ini akan mengenalkan siapa Tuan Guru Bajang melalui perspektif politik populisme.
—-
Berbicara soal populisme, maka kita akan dihadapkan pada pertanyaan siapa aktor dan bagaimana perannya dalam merumuskan kebijakan terhadap kepentingan rakyat. Konsep populisme dalam praktiknya sebenarnya bukanlah barang baru dalam realitas kehidupan sosial kita. Ketika populisme itu kita definisikan sebagai pola perilaku atau karakter kepemimpinan yang dekat dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat dengan segala bentuk kerja dan program yang benar-benar untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat, maka ribuan tahun bahkan jutaan tahun lalu populisme dalam dimensi sosialnya telah dipraktikkan oleh para pemimpin umat (para nabi). Orang-orang suci tersebut, menanamkan nilai-nilai idealisme hidupnya dengan mendedikasikan hampir seluruh hidupnya bagi kepentingan kebaikan, kebenaran, dan kesejahteraan rakyat (baca: umatnya).
Sebagai contoh adalah Umar Bin Khatab sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjabat sebagai khalifah pada tahun 13 H atau tahun 634 M. Dalam praktik kepemimpinannya sebagai seorang khalifah (pemimpin umat), Umar Bin Khatab telah mempraktikkan bagaimana kepemimpinan populisme itu bekerja secara semestinya. Ketika rakyatnya mengalami kelaparan akibat krisis ekonomi, sang khalifah secara langsung turun ke lapangan melihat kondisi rakyatnya. Bahkan, ketika mendapati rakyatnya yang miskin dia tak segan untuk membawakan gandum dengan dipikulnya sendiri. Ia menjadi pemimpin sederhana yang dicintai rakyatnya. Praktik kepemimpinan populisme seperti kebijakan yang melindungi dan memprioritaskan kesejahteraan bagi kaum fakir, miskin, dan anak yatim piatu dalam pemerintahannya adalah bentuk nyata bahwa populisme secara empiris telah lama ada dalam realitas kehidupan sosial politik kita.
Sebelum kita dapat mengkaji populisme dalam sebuah proses demokrasi, dalam hal ini bagaimana politik populisme dipraktikkan dalam pola kepemimpinan Muhammad Zainul Majdi dalam kapasitasnya sebagai Gubernur NTB, kita perlu membuat batasan yang jelas tentang apa itu populisme.
Dewasa ini para ilmuwan sosial, belum menemukan satu definisi tunggal bagaimana mengartikan apa itu populisme. Meminjam istilah Margareth Canovan (1999) bahwa “`populism’ is a notoriously vague term”, dalam konteks ini pendefinisian terhadap populisme mengalami arti yang masih samar-samar. Namun demikian Canovan menyebutkan bahwa untuk memahami populisme sebagai sebuah fenomena politik dalam masyarakat, maka kita bisa menganalisisnya dari perspektif ideologi dan konten kebijakan dari gerakan populis dan berkonsentrasi pada pertimbangan struktural. Populisme dalam masyarakat demokratis modern bisa dijadikan sebagai media pembanding masyarakat terhadap dua struktur kekuasaan antara ide-ide yang dominan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Model struktural ini pada gilirannya menentukan kerangka karakteristik legitimasi populisme sebagai gaya politik dan suasana hati.
Ernesto Laclau mendefinisikan bahwa populisme sebagai gerakan politik multi-kelas dan supra-kelas yang hadir dalam momen politik rapuhnya hegemonik kekuatan politik dominan sehingga memberi peluang munculnya struktur kesempatan politik baru bagi gerakan politik akar rumput yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik untuk mengartikulasikan wacana radikal anti-kemapanan. Menurut kamus Bahasa Indonesia, populisme diartikan sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil.
Christa Deiwiks dalam artikelnya “populism” (2009), menyebutkan dua aspek penting ketika mengkaji tentang populisme, pertama, fokus pada orang atau pribadi orang tersebut dan juga kedaulatannya yang melekat pada dirinya, dan kedua adalah aspek pertentangan yang dia sebut sebagai antagonisme antara pribadi orang tersebut dengan struktur kuasa yang berada di luar dari dirinya, seperti elit dalam demokrasi perwakilan, orang asing, dan sebagainya.
Selanjutnya Christa Deiwiks kemudian menyebutkan 3 (tiga) faktor yang menyebabkan lahirnya populisme. Pertama, adalah karena kondisi sosial ekonomi yang buruk atau adanya krisis yang terus berulang. Kedua, masalah ketidakpastian dari lembaga-lembaga politik yang diduga terkait dengan atau bahkan menyebabkan munculnya populisme. Dan ketiga, adanya pemimpin kharismatik mengadopsi gaya tertentu dan retorika yang memiliki karakteristik sebagai sebuah gerakan populis.
Berangkat dari batasan populisme Christa Deiwiks di atas, maka penulis mencoba mengkaji tentang konsep populisme Muhammad Zainul Majdi dalam kepemimpinannya sebagai gubernur di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan untuk mengetahui latar belakang pembentuk politik populisme Muhammad Zainul Majdi dalam membangun NTB.
Siapa Tuan Guru Bajang?
Tuang Guru Bajang terlahir dengan nama Muhammad Zainul Majdi. Ia adalah putra ketiga dari pasangan HM Djalaluddin SH, seorang pensiunan birokrat Pemda NTB dan Hj. Rauhun Zainuddin Abdul Madjid, yang merupakan putri dari TGH. M. Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor), pendiri organisasi Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun-Nahdlatain. Ia lahir di Pancor, Selong Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 31 Mei 1972.
Sebutan Tuan Guru Bajang adalah gelar ulama muda yang disematkan padanya dari masyarakat Sasak. Masa mudanya sebagian besar dihabiskan di bangku pendidikan agama Islam. Ia memulai pendidikan dasar di SDN 3 Mataram (sekarang SDN 6 Mataram). Pada tingkat SLTP, ia bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Mu’allimin Nahdlatul Wathan Pancor, lulus dalam 2 tahun, dan melanjutkan pada Madrasah Aliyah di yayasan yang sama tahun 1991.
Sebelum melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, di tahun 1991-1992, Majdi mengikuti program menghafal Al-Qur’an di Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Nahdlatul Wathan Pancor selama setahun. Pada tahun 1992, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Universitas Al-Azhar Kairo. Tahun 1996 ia lulus meraih gelar Lc. Selanjutnya, ia meraih gelar Master of Art (M.A.) dengan predikat “jayyid jiddan”. Artinya, ia lulus dengan predikat “sangat baik”, satu tingkat di bawah “cemerlang” atau “excellent”.
Pendidikan Strata Tiga (S3) dilanjutkan pada jurusan dan universitas yang sama. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Said Muhammad Dasuqi dan Prof. Dr. Ahmad Syahaq Ahmad ia menyelesaikan disertasinya dengan judul “Studi dan Analisis terhadap Manuskrip Kitab Tafsir Ibnu Kamal Basya dari Awal Surat An-Nahl sampai Akhir Surat Ash-Shoffat”. Pada tanggal 8 Januari 2011, ia lulus dengan predikat “martabah el-syaraf el ula ma`a haqqutba” atau “summa cumlaude”, suatu predikat tertinggi di dunia akademik di atas predikat “magna cumlaude”.
Proses pendidikan yang banyak dihabiskan di sekolah yang berbasis Islam serta berlatar belakang keluarga yang merupakan pendiri Nahdlatul Wathan (NW) memberikan karakter khas pribadi Majdi, yang tentunya nanti berdampak pada perilaku dan pemikirannya dalam kehidupan sosial.
Karakter khas itu membuat Majdi tampil sebagai seorang intelektual “nan religius”. Karakter ini bisa dilihat kemudian sebagai “idiologi” yang tanpa sadar membentuknya dan termanifestasikan dalam kepemimpinannya ketika menjadi gubernur. Sebagai contoh, pendekatan kebijakan pemerintahannya selalu bertendensi kepada kepentingan rakyat dan memiliki basis logika religius.
Berangkat dari latar belakang ideologis yang religius, sebagai contoh lagi, pada periode pertama menjadi gubernur (2008-2013), Majdi mengubah slogan NTB dari “Bumi Gora” menjadi “Bumi Qur’an”, dengan membumikan Qur’an pada anak-anak melalui pendidikan.
Prestasi Nyata
Nama seperti Muhammad Zainul Majdi begitu terisolasi dari pemberitaan media. Padahal kalau kita lihat secara objektif apa yang telah dilakukan oleh Muhammad Zainul Majdi dalam kapasitasnya sebagai Gubernur dalam membangun dan memajukan Nusa Tenggara Barat bangkit dari ketertinggalan adalah sebuah prestasi yang luar biasa yang kemudian membuat kita percaya bahwa ternyata masih ada sosok pemimpin yang memiliki prestasi dan visi serta karya nyata yang baik bagi pembangunan dan kemajuan masyarakat. Salah satu karakter kepemimpinan populis sang gubernur termuda di Indonesia adalah konsistensinya dalam memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan masyarakat NTB.
Konsistensi idealisme itu kemudian membawa dampak yang signifikan bagi kemajuan ekonomi masyarakat. Karenanya, sejak tahun 2009 atau di awal kepemimpinannya menjadi gubernur NTB, ia juga telah menorehkan banyak prestasi berupa berbagai penghargaan nasional bahkan internasional.
Pusaran Politik
Pada tahun 2007, Muhammad Zainul Majdi terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatun Wathan (PBNW) Pancor. Melalui organisasi ini, ia aktif memberikan tausyiah di masyarakat. Ia kemudian menjadi dekat dengan jamaah wirid, jama’ah hizib, dan jama’ah tarekat. Pengajian ini adalah medium yang sangat efektif untuk menyampaikan hal-hal yang terkait pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan lain-lain.
Majdi tidak hanya terhubung pada lingkarannya saja (warga NW), tetapi juga lintas suku (Sasak, Samawa, Mbojo), lintas bahasa, dan lintas keyakinan, yang terbangun beriringan dengan aktivitas dakwah yang dijalankannya. Ia tak segan-segan terjun ke pelosok-pelosok desa di Lombok dan Sumbawa.
Pada tahun 2004, oleh Yusril Ihza Mahendara yang juga Ketua Majelis Syuro PBB yang begitu kagum dengan kepribadian Tuan Guru Bajang karena kepribadiannya yang bersahaja, maka melalui Partai Bulan Bintang Muhammad Zainul Majdi diusung sebagai menjadi calon anggota DPR dan kemudian terpilih menjadi anggota DPR RI untuk periode 2004-2009 dari daerah pemilihan NTB.
Ditengah perjalanannya sebagai anggota DPR, tahun 2008 Muhammad Zainul Majdi dicalonkan sebagai gubernur berpasangan dengan Badrul Munir (seorang birokrat daerah) pada pemilihan Gubernur NTB periode 2008-2013 yang didukung Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di usianya yang masih muda (36 tahun) itu sang Tuan Guru terpilih menjadi gubernur NTB dengan perolehan suara mencapai 36 persen.
Dalam posisinya sebagai Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi kemudian terpilih sebagai Ketua DPD Partai Demokrat (PD) NTB 2011-2015. Zainul terpilih secara aklamasi dalam Musda II Partai Demokrat NTB yang berlangsung di Grand Legi Hotel, Mataram, Lombok, pada tanggal 3 April 2011. Bagi Tuan Guru konsep politik santun adalah hal yang paling mendasar dalam kepemimpinan politik.
Selanjutnya pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2013-2018, Muhammad Zainul Majdi kembali mengikuti kontestasi elektoral sebagai calon Gubernur NTB. Muhammad Zainul Majdi berpasangan dengan Muhammad Amin (TGB-Amin) yang didukung oleh Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN, Partai Gerindra, dan PKB. Pada pemilu yang dilaksanakan pada 13 Mei 2013, pasangan TGB-Amin dinyatakan menang oleh KPU dengan raihan suara 1.038.642 pemilih atau 44,36 persen suara.
Politik Populisme Tuan Guru Bajang
Di tengah kondisi masyarakat NTB yang mengalami keterpurukan ekonomi, Muhammad Zainul Majdi hadir untuk mengambil peran sebagai seorang pemimpin, bukan sebagai seorang penguasa. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kepentingan untuk bagaimana mensejahterakan masyarakatnya melalui kebijakan dan program yang benar-benar untuk kemaslahatan rakyat NTB. Kebijakan dan program yang berpihak pada rakyat itulah jalan politik populisme Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi dalam memimpin Provinsi NTB untuk maju mengejar ketertinggalan. Aktualisasi kebijakan populisme itu terlihat dari program unggulan yang ditujukan bagi peningkatan ekonomi masyarakat NTB, salah satunya adalah Program Lumbung Bersaing.
Program Lumbung Bersaing ini adalah bentuk manifestasi konsep idiologis Muhammad Zainul Madji dalam kapasitasnya sebagai Gubernur yang kemudian dituangkan dalam visi-misi pemerintah Provinsi NTB, yang berlandaskan pada 5 (lima) nilai dalam membangun Nusa Tenggara Barat, yakni: Kerja Keras, Kesungguhan, Komitmen, Kebersamaan, dan Keberpihakan kepada rakyat.
Politik populisme yang dipraktikkan Tuan Guru Bajang dalam kepemimpinan di NTB tampak jelas dari pola kebijakan pemerintahan dalam membangun NTB. Kehadiran Program Lumbung Bersaing adalah program yang tujuannya adalah untuk pengentasan kemiskinan masyarakat sekaligus untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat NTB.
Secara sosiologis, politik populisme Tuan Guru Bajang terbentuk karena faktor kultural. Faktor kultural adalah faktor lingkungan sosial di mana ia dibesarkan dalam kehidupan keluarga, yang memegang teguh konsep dan nilai-nilai religiusitas serta dipengaruhi pola pendidikan Islam. Hal ini yang kemudian membentuk sisi ideologisnya yang religius, yang melihat bahwa kehidupan dan kepemimpinan adalah pengabdian dan keberpihakan pada kepentingan rakyat sebagai bagian dari ibadah sosialnya. Point penting dari nalar legitimasi politik Muhammad Zainul Majdi dipentas politik NTB adalah tidak terbentuk karena pragmatisme kekuasaan, atau karena pengaruh basis modal kapital yang kuat tapi lebih disebabkan oleh nilai-nilai idiologis yang terbentuk secara sosial melalui struktur pendidikan dan kultur lingkungan sosial yang Islami.
0 Comments