Sampai dengan saat ini proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) masih jamak dianggap sebagai arena terjadinya korupsi. Secara kenyataan, memang sebagian besar korupsi terjadi pada proses PBJ. Namun, pernahkah kita merenungkan kembali apakah korupsi selalu menghantui proses PBJ di manapun berada?
Beragamnya Pengertian Korupsi
Semua lapisan masyarakat dari muda hingga tua, dari desa hingga kota, dari masyarakat awam hingga sang penguasa, semua pasti mengenal kata korupsi. Bahkan, ketika saya amati dua bocah yang sedang bermain game di telepon genggamnya, saat salah satu kedapatan melakukan cheating, rivalnya langsung menuduh “korupsi”.
Berbagai pengertian korupsi dari para ahli pun berbeda-beda. Syed Hussein Alatas, seorang sosiolog sekaligus politisi Malaysia, mengatakan bahwa korupsi adalah pencurian yang melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Gunnar Myrdal, seorang ekonom Swedia, memberi pengertian tentang korupsi sebagai suatu masalah dalam pemerintahan karena kebiasaan melakukan penyuapan.
Pemahaman menarik datang dari Mubyarto, seorang akademisi Indonesia. Dia mengatakan bahwa korupsi adalah suatu masalah politik lebih daripada ekonomi yang menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik, dan para pegawai pada umumnya.
Adapun Webster Dictionary menyebutkan bahwa korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Dari beberapa banyak pengertian korupsi, ternyata kita belum satu kata atau sepakat tentang apa itu korupsi. Bahkan, sekalipun istilah itu sudah menjadi produk perundang-undangan.
Tampak sepele, tetapi banyaknya pemahaman tentang korupsi membawa implikasi pada penindakan terhadap kasus korupsi menjadi kian subjektif. Akibatnya Aparat Penegak Hukum (APH) dapat dengan leluasa menjustifikasi suatu tindakan yang sebenarnya termasuk urusan maladministrasi atau perdata menjadi masuk dalam kategori sebuah tindakan korupsi.
Pasal Sakti Pemicu Kriminalitas
Salah satu pemicu terjadinya kriminalisasi adalah adanya pasal sakti dari UU Tipikor yang melihat kejadian tanpa mendasari bagaimana pelaku berbuat. APH selaku pemegang peran bekerja pada tataran dogmatis. Dengan demikian tujuan hukum untuk mencapai keadilan masih jauh dari kenyataan.
Pasal sakti tersebut di antaranya adalah pasal 2 dan 3 pada UU Tipikor. Pada pasal 2 ayat(1) UU Tipikor menyebutkan bahwa:
“setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.”
Sedangkan pasal 3 menyebutkan:
“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.”
Jika kita mencermati pasal 2 ayat (1) tersebut, terlihat pasal itu sangat ampuh untuk menjerat setiap orang, meski yang bersangkutan tidak mempunyai jabatan/wewenang/kuasa. Ibarat penjaga kantor yang ikut menemani lembur seorang tersangka, dia dapat dianggap ikut berperan di dalam timbulnya kerugian negara.
Sedangkan pada pasal 3 hanya bisa menjerat setiap orang yang mempunyai wewenang, jabatan, kesempatan dan kedudukan yang berakibat pada timbulnya kerugian negara tetapi justru mendapat ancaman hukuman yang lebih rendah daripada pasal 2.
Persamaan kedua pasal tersebut adalah sama-sama belum pasti tentang kriteria unsur melawan hukum dan pembuktian adanya unsur merugikan negara. Terkadang berdasarkan dari hasil pemeriksaan, meski termasuk dalam kesalahan administrasi, suatu tindakan dapat dipaksakan untuk masuk pada kategori korupsi (Baca juga http://birokratmenulis.org/menolak-kriminalisasi-pbj/).
Subjektivitas Berujung Kriminalitas
Dalam proses PBJ, subjektivitas APH dalam menyatakan suatu tindakan korupsi dapat berujung pada kriminalisasi yang mengoyak keadilan hukum. Untuk mencari keadilan hukum bagi kasus PBJ, kita perlu mengurai sistem, pelaku, dan pemegang peran.
Sementara di sisi perhitungan kerugian negara, yang menjadi kewenangan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebagai auditor negara pun masih bersifat subjektif.
Kasus berikut dapat menjadi contoh betapa subjektivitas pemeriksaan dan proses penegakan hukum terjadi.
Sebuah kegiatan pemeliharaan berkala/rutin suatu jalan di awal tahun menjadi objek pemeriksaan. Sementara pada tahun berikutnya jalan tersebut dilakukan pengaspalan. Oleh pemeriksa hal tersebut dianggap sebagai temuan adanya pekerjaaan fiktif dikarenakan pekerjaan dimaksud sudah tidak tampak dan terukur.
Sementara di daerah lain dengan peristiwa serupa, hal tersebut tidak menjadi permasalahaan dalam pemeriksaan sepanjang bukti-bukti pelaksanaan pekerjaan dapat diyakini kebenarannya.
Sialnya, pada pemeriksaan yang menjadikan peristiwa tersebut sebagai temuan, oleh APH ditingkatkan statusnya menjadi suatu tindakan korupsi.
Kriminalisasi Akibat Pelaksanaan Mandat
Contoh kasus menarik lainnya tentang kriminalisasi terjadi di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Seorang pejabat pengadaan (PP) menjadi tersangka akibat melakukan proses pengadaan langsung dengan mengikuti petunjuk norma tidak tertulis secara turun-temurun di daerahnya.
Petunjuk norma tidak tertulis tersebut adalah penentuan rekanan pengadaan langsung yang ditentukan oleh atasan pejabat pengadaan. Sedangkan tugas pejabat pengadaan hanyalah memproses rekanan yang telah ditetapkan.
Memang disayangkan mengapa sebuah kebiasaan menjadi norma tidak tertulis yang ditaati dan dijadikan acuan dalam proses pengadaan di pemda tersebut, yang ternyata kebiasaan tersebut menyimpang dari ketentuan (peraturan presiden) tentang PBJ.
Namun demikian, dalam kasus tersebut, pejabat pengadaan yang dijadikan tersangka sesungguhnya hanyalah menjalankan perintah atasan untuk memproses pengadaan dengan rekanan pilihan berdasarkan mandat.
Merujuk pada UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan yang menjalankan tugasnya melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Demikian juga jika mengacu pada teori hukum perdata, pada pasal 1367 KUHPerdata, penanggung jawab sebuah tindakan yag dilakukan oleh seseorang dalam pelaksanaan tugas adalah pemberi mandat.
Adapun sebagai pelaku pengadaan, sering karena mengejar target kinerja atau pelaksanaan yang harus segera, kadang kurang begitu mencermati beberapa kaidah norma yang ada sehingga tidak menyadari jika bertentangan dengan hukum di atasnya.
Atas kejadian tersebut, setelah menyadari adanya inkonsistensi, sebaiknya para pelaku pengadaan mengajukan toetsingrecht (hak menguji). Dari toetsing review, pengujian dapat dilakukan secara formal, yaitu berkenaan dengan prosedur pembentukannya dengan menilai apakah sesuai dengan norma yang telah diatur sebelumnya. Pengujian juga dapat dilakukan secara material, yaitu berkenaan dengan apakah isinya sesuai atau bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, jika didapati norma tentang petunjuk pelaksanaan PBJ yang tidak jelas prosedur pembentukannya dan/atau bertentangan dengan perpres tentang pengadaan barang dan jasa, maka isinya dapat ditinjau kembali untuk dilakukan revisi.
Pelaksanaan Tugas atau Konflik Kepentingan?
Di dalam kasus korupsi PBJ, untuk menilai apakah peran seseorang tersebut layak diperiksa secara intensif sebagai tersangka, dapat kita amati dari batasan wewenang/diskresi.
Untuk mengetahui apakah tindakan seorang pengguna anggaran (PA), pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia lelang, dan panitia penerima hasil pengadaan (PPHP) adalah dalam rangka untuk kelancaran proses ataukah dalam kategori konflik kepentingan, dapat kita lihat dari masing-masing tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya masing-masing.
Misalkan seorang PPK mengganti salah satu personil tenaga ahli konsultan yang berhalangan tetap demi kelancaran tugas dan dia memilih orang dengan kompetensi yang sesuai, maka tindakannya adalah dalam rangka melancarkan tugas.
Sedangkan jika mengganti personil dengan teman dekatnya yang ternyata secara kompetensi berada di bawah persyaratan, maka dalam hal ini tindakannya terindikasi konflik kepentingan.
Atau, seorang PPK yang telah menandatangani perintah pembayaran, meski pengawas lapangan dan PPHP belum merekomendasi besaran volume terpasang di lapangan. Demikian juga panitia lelang yang melakukan hal melebihi wewenangnya. Terhadap keduanya dapat terlebih dahulu kita lakukan uji secara formal dan materiil atas alasan-alasan yang mendasari perbuatannya, agar kita bisa mengurai apakah perbuatannya dapat dikategorikan melawan hukum atau demi kelancaran tugas.
Epilog
Dengan beragamnya pemicu kriminalitas sudah selayaknya para pemeriksa dan APH tidak berada dalam tingkatan kelas dogmatis, melainkan harus melihat kasus secara lebih utuh. Dengan demikian, hasil keputusan merupakan hasil dari gabungan beberapa lapisan dalam ilmu hukum. Manakala APH hanya berada pada tataran dogmatic hukum, maka hukum akan jauh dari rasa keadilan.
Ketika pemeriksa dan APH berpikir dalam beberapa tingkatan ilmu hukum, yaitu dogmatic hukum, teori hukum, dan filsafat hukum, maka hasil keputusan akan lebih humanis dan berkeadilan. Dalam kondisi demikian tujuan hukum untuk membuat orang bahagia bukan suatu kemustahilan.
Penerapan tuntutan hukuman maksimal hanya akan menciptakan nilai bargaining yang semakin tinggi. Untuk lebih tercapainya keadilan dan kepastian hukum perlu dipertimbangkan untuk mengajukan judicial review terhadap UU Tipikor.
Sudah seharusnya tujuan hukum dibuat adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Tujuan hukum menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang baik. Sedangkan Thomas Aquinas mengatakan bahwa tujuan hukum bagi pembentuk undang-undang adalah sebuah niat untuk menjamin kebaikan umum sesuai dengan keadilan Illahi.***
Lulusan S1 Teknik Sipil Undip dan S2 Magister Ilmu Hukum UKSW. Saat ini bekerja sebagai PNS Bapelitbangda Kota Salatiga.
Sayang sekali sistem pbj yg ada hanya berorientasi utk mendapatkan barang/jasa yg ekonomis, dan berkualitas akan tetapi tdk memberikan perlindungan yg cukup kpd pihak2 pelaksana kegiatan tersebut, menurut sy pengadaan yg baik harus setidak2nya mencakup 2 hal, mendapatkan brg/jasa yg berkualitas dan para pelaksana mendapatkan rasa aman dan adanya kepuasan dlm proses pelaksanaan pengadaan, sdh semestinya lkpp mulai memikirkan bgmn agar para pelaksana pengadaan mendptkan Perlindungan thd kriminalisasi shg mereka bs bekerja secara profesional dan bukan dg keterpaksaan….
Korban PBJ di sebabkan Karena Sistem Pilkada dan Keserakahan. sebaik apapun peraturan yg dibuat jika regulasi pemerintah yg tidak sejalan dengan sistem administrasi lembaga lain. Akan tetap menimbulkan kriminalisi di PBJ pemerintah
Kayaknya kedepan, kita gak usah ngerjakan kegiatan PBJ saja..
Mas Bambang Pramusinto sepertinya hopeless, yah…..
Ayo , teruslah bersemangat berusaha mengubah negeri menjadi lebih baik dan keadilan bermartabat
Tindakan korupsi sebagian besar terjadi pada nilai yang tercantum pada Pengadaan Barang Jasa berupa Fee yg diminta oleh Pejabat ke Pengusaha. Ada satu cara untuk menghilangkan sebagian besar tindakan korupsi yaitu sistem pengadaan barang jasa, apakah dari pemerintah dalam hal ini LKPP sebagai penanggungjawab dan pelaksana dlm sistem Pengadaan Barang Jasa mau merubah cara evaluasi terhadap rekanan peserta lelang. Caranya yaitu dengan sistem pemeriksaan/evaluasi silang antar daerah atau antar LPSE terhadap seluruh Dokumen Penawaran Lelang peserta, jadi LPSE di daerah hanya melakukan proses pembuktian kualifikasi dan penawaran saja, evaluasinya dilakukan LPSE daerah lain ( seperti pemeriksaan silang ujian anak sekolah). dgn sistem lelang Elektronik seperti sekarang LKPP gampang saja memberlakukan hal tsb. Jadi tidak akan ada lagi permintaan Fee dari Pejabat / Kepala Daerah ke Rekanan/Pengusaha krn yg akan menentukan pemenang Lelang bukan dari LPSE setempat yg otomatis pengelolanya pejabat/pegawai bawahannya, melainkan LPSE daerah lain yg di silang secara acak pada saat proses lelang. Apabila sistem tsb berlaku maka Pilkada akan sunyi dari peserta yg berorientasi korupsi pada APBD dgn Fee proyek.
Betul pak Eddhi…
Ide yang cukup bagus untuk mengurangi potensi terjadinya korupsi.
Meski metode tersebut tidak akan mampu meniadakan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi saat pelaksanaan, selama masyarakat masih mengasumsikan bahwa proyek sebagai ladang uang yang tak akan habis untuk digali….
uraian yang menarik, dan seperti yang menjadi keyakinan saya, ketika hukum hanya mengikuti dogmatis hitam putih pasal, maka keadilan dikoyak oleh sang penggenggam kewenangan. miris dan tragis. tetapi faktanya, pencuri coklat atau bahkan sekedar barang-barang lain yg tidak berbobot pun akhirnya menjadi target penegakan hukum yang semu tadi. sedangkan jauh di dalam relung-relung pemerintahan yang lain, masih banyak oknum yang masih dengan bebas memupuk pundi-pundi haram dengan korupsi yang sesungguhnya, tetapi tidak tersentuh penegakan hukum
Masih sangat perlu perbaikan di dalam etika kerja , etika bisnis, etika pelayanan & etika hubungan manusia di kalangan masyarakat, pemerintahan dan APH, sehingga betapa indahnya saat di dalam konsep, penilaian dan penerapan nilai-nilai baik-buruk, benar-salah menjadi bagian dari suatu kewajiban dan sebagai tanggung jawab moral
Korupsi terjadi bukan saja karena oknumnya yang tamak
Tapi karena regulasi yang membuat ia masuk ke sistem warisan pendahulu
Betul mas Agus…..
Berarti diharapkan adanya regulasi inovatif yang bisa memutus sistem yang selama ini rumit