Akhirnya pemerintah secara resmi mengumumkan peluncuran Kurikulum paradigma baru yang dilabeli sebagai Kurikulum Merdeka kepada publik (11/2/2022), sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-15.
Sejak penerapannya pada sekolah pilot di bawah bendera Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan, serta rencana menjadi pilihan kurikulum bagi sekolah lain di tahun 2022, isu “ganti menteri, ganti kurikulum” semakin mengemuka.
Di balik itu, sejatinya Kurikulum Merdeka membawa semangat melanjutkan proses peningkatan kualitas pembelajaran yang telah diinisiasi oleh beberapa kurikulum sebelumnya. Beberapa esensi dan tujuan pembelajaran juga masih selaras dengan intensi kurikulum yang telah ada,
bahwa kurikulum merupakan pedoman dalam penetapan konten maupun metode pembelajaran yang berfokus pada peningkatan kualitas serta hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Tiga Karakteristik Utama Kurikulum Merdeka
Dalam konteks di atas, setidaknya ada tiga karakteristik utama Kurikulum Merdeka.
Pertama, bersifat holistik. Kurikulum ini dirancang untuk mengembangkan keterampilan menyeluruh peserta didik, baik pada ranah akademis maupun non-akademis, kompetensi sosial dan emosional, serta kecerdasan spiritual.
Dalam hal ini, pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter didorong agar lebih banyak dilakukan, yaitu berkisar 20-30 persen dari jam pelajaran. Berbagai analisis membuktikan, metode belajar melalui projek memungkinkan siswa untuk mendapatkan beragam keterampilan teknis di luar bidang ilmu yang dipelajarinya, termasuk keterampilan bekerja bersama sesamanya.
Bell (2010) dalam Project-Based Learning for the 21st Century: Skills for the Future mengungkapkan bahwa, pembelajaran berbasis projek mendorong peserta didik untuk mandiri dalam menentukan tujuan dan perencanaan pembelajaran, serta terampil dalam berkolaborasi secara sosial untuk saling termotivasi secara intrinsik untuk saling belajar dan berbagi pengetahuan.
Kedua, fokus pada materi esensial. Selama ini, kurikulum laksana “tempat penitipan”. Segala bentuk permasalahan kehidupan dijejalkan dalam konten kurikulum dan berharap dapat diselesaikan melalui media pendidikan.
Melalui paradigma penyederhanaan, kurikulum disusun dengan mengacu pada target kompetensi peserta didik yang ingin dikembangkan, dan bukan didasarkan pada materi pembelajaran tertentu. Oleh karena itu, praktik pembelajaran akan lebih disederhanakan dan mendalam pada capaian kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi.
Reformasi pembelajaran di Finlandia yang diungkap Walker (2017) dalam Teach Like Finland, misalnya, menunjukkan bahwa pembelajaran menjadi optimal ketika guru berfokus mengajar hal-hal mendasar yang nantinya bermanfaat pada penguasaan siswa di bidang ilmu lain, yaitu keterampilan literasi dan numerasi.
Melalui pembelajaran yang berfokus pada materi esensial dan mendasar tersebut, fleksibilitas akan didorong agar pembelajaran dapat sesuai dengan kebutuhan dan kecepatan belajar siswa.
Ketiga, bersifat kontekstual dan personalisasi. Kurikulum dapat dirancang secara fleksibel sesuai konteks (budaya, misi dan kondisi lingkungan sekolah) serta kebutuhan siswa.
Dalam hal ini, kurikulum memberikan keleluasaan pada guru untuk lebih banyak berdiskusi dengan siswa untuk menentukan pembelajaran yang akan dipraktikkan serta menyesuaikan perangkat ajar berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa tersebut.
Dari upaya ini, kemandirian siswa dan kepercayaan guru kepada siswa akan perlahan terbangun. Pinsker (2016) dalam “Why so Many Smart People aren’t Happy” menyatakan bahwa kemandirian akan menumbuhkan kebahagiaan dalam berbagai hal, termasuk dalam praktik pembelajaran.
Dalam konteks ini, ruang-ruang kelas akan menumbuhkan kemandirian yang bertanggung jawab atas pembelajaran yang siswa jalani.
Implikasi Perubahan Kurikulum
Setiap perubahan akan berpotensi memunculkan implikasi di sisi yang lain. Sebagai langkah perubahan yang bukan pertama kali, kelahiran Kurikulum Merdeka juga mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya mitigasi.
Setidaknya, ada tiga implikasi yang muncul dari adanya perubahan kurikulum ini. Pertama, terkait dengan regulasi mengenai jam mengajar dan tunjangan profesi guru. Dua isu ini menjadi sensitif ketika penyederhanaan kurikulum dianggap dapat menurunkan potensi guru mata pelajaran tertentu dapat memenuhi jam mengajar minimal yang ditetapkan sebanyak 24 jam/minggunya.
Dalam hal ini, sekolah diberikan kesempatan untuk menghitung kebutuhan guru agar sesuai dengan beban kerjanya, serta memberikan jam tambahan mengajar pada guru yang diprediksi akan mengalami kekurangan jam mengajar.
Mitigasi kedua adalah berkaitan dengan **linieritas mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan guru yang mengampu. Pada praktik pelaksanaannya di Sekolah Penggerak, isu linieritas ini diakomodasi dalam Keputusan Mendikbud Nomor 371/M/2021 tentang Program Sekolah Penggerak, yang menjelaskan terkait dengan pemenuhan beban kerja dan penataan linieritas guru bersertifikat pendidik dalam implementasi pembelajaran.
Dalam salah satu poinnya misalnya, berkaitan dengan mata pelajaran Informatika SMP dan SMA Kelas X yang dapat diampu oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik sarjana atau sertifikat pendidik bidang/keahlian ilmu komputer, informatika, teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), ataupun MIPA/sains.
Ketiga, kapasitas sekolah dan guru dalam menerjemahkan menjadi Kurikulum Operasional di Satuan Pendidikan (KOS) menjadi tantangan tersendiri.
Sejauh ini, berbagai pelatihan dan pendampingan kepada komite pembelajaran yang terdiri dari unsur guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah sudah dilakukan, termasuk penyediaan sumber belajar yang sifatnya terbuka seperti platform teknologi untuk para guru agar dapat belajar dan berbagi praktik baik dengan sesama guru di dalam atau di luar komunitasnya.
Berbagai analisis menunjukkan, siswa yang terlibat dalam pembelajaran yang berbasis pada kemampuan dirinya untuk melakukan pengaturan (selfregulated learning) memiliki hubungan positif dengan prestasi akademik yang dicapai siswa.
Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mendukung dan melatih siswa melakukan tindakan yang berkaitan dengan selfregulated learning dan mendorong praktik kemandirian pembelajaran, akan berpotensi meningkatkan prestasi siswa. Kurikulum Merdeka hadir sebagai salah satu upaya mendorong tranformasi positif praktik pembelajaran berbasis kemandirian siswa tersebut.
Epilog: Mengajarkan Fakta, Membangun Nalar
Perlu diakui, pendidikan kita sudah lama terpenjara pada praktik yang membelenggu siswa pada cara belajar yang belum sepenuhnya demokratis, serta membebani banyak teori yang tidak sepenuhnya bermakna bagi konteks kehidupan siswa di kemudian hari.
Kita semua berperan untuk mengawal pelaksanaan kurikulum agar tidak menjadi belenggu baru dalam pendidikan. Bisa jadi hari ini kita bersepakat pada kalimat di chapter pertama Hard Times, novel lawas Charles Dickens.
Thomas Gradgrind, tokoh pengawas dewan sekolah dalam novel tersebut mengatakan bahwa, yang dibutuhkan dalam kehidupan anak-anak adalah menunjukkan berbagai fakta, dan kita hanya dapat membentuk nalar seseorang dengan mengajarkan mereka pada fakta yang ada.
Oleh karena itu, penting untuk mengajarkan fakta kepada anak-anak, dan menjadikan fakta sebagai prinsip ketika membesarkan anak-anak dan membangun nalar mereka.***
Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.
0 Comments