Mengatasi Degradasi Lingkungan dengan Memutus Kemiskinan: Jurus Jitu ala Flag Smasher

by Dhian Adhetiya Safitra ◆ Active Writer | Aug 12, 2021 | Resensi/Ulasan Buku dan Film | 0 comments

Sumber : https://gamerant.com/falcon-winter-soldier-flag-smashers-evil/

Izinkan saya mengulas tentang dampak kemiskinan terhadap degradasi lingkungan, dan peran pemerintah (pusat dan daerah) untuk menekan kemiskinan melalui pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Diskusi ini diawali dari sepotong cerita fiktif.

Flag Smasher: “One world, one people”

Dalam benak seorang Karli Morgenthau sang pemimpin dari Flag Smasher (sekelompok “pejuang radikal” dengan aksi mengincar simbol kekuasaan sebuah negara seperti kedutaan besar, bendera, dan bahkan ikon negara tersebut seperti halnya Captain America), keinginannya menyatukan dunia adalah sesuai dengan motto “One World. One people.

Karli Morgenthau memang hanya karakter fiktif, mungkin hanya familiar bagi rekan-rekan penggemar Marvel Cinematic Universe (MCU). Akan tetapi, keyakinannya bisa jadi telah dianut oleh banyak orang. Morgenthau, dalam cerita tersebut, memimpin pergerakan yang memperjuangkan nasib pengungsi terlantar pasca fenomena the Blip. Sebuah misi yang sejatinya terdengar sangat heroik, tentang keadilan dan kemanusiaan.

Para Bliper  ditolak oleh negara-negara yang menganggap pengungsi adalah beban negara [1]. Apa yang digambarkan oleh MCU mungkin fiksi, namun faktanya permasalahan kemiskinan atau pengungsian selalu diberitakan setiap waktu di layar televisi atau berita online.

Kemiskinan selalu menjadi kambing hitam banyak masalah sosial [2] dan menjadi konsensus umum bahwa penurunan kualitas lingkungan, pertambahan penduduk, atau kurangnya produktivitas disebabkan oleh kemiskinan [3].

Dalam konsep yang lebih global, pentingnya mengatasi kemiskinan di mata dunia juga ditunjukkan dengan masuknya isu kemiskinan ini dalam tujuan pertama dan ke dua Sustainable Development Goals (SDGs) [4].

Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan

Lalu apa hubungan antara kemiskinan dengan kerusakan lingkungan? Kemiskinan dan kerusakan lingkungan ini diibaratkan seperti “lingkaran setan”, atau dapat juga dianalogikan dalam guyonan “mana yang lebih dulu keluar: ayam atau telur?”

Sebuah gambar berikut mungkin dapat menjadi ilustrasi:

Sumber: Beacher (2000) [5]

Kemiskinan menyebabkan keluarga tidak produktif (atau disebut juga tidak sibuk), yang kemudian mendorong peningkatan populasi. Peningkatan populasi menyebabkan daya dukung/tampung lahan berkurang.

Pada akhirnya, kemiskinan menyebabkan penggunaan lahan yang tidak ideal dan menyebabkan kerusakan lahan/lingkungan. Kerusakan lahan menyebabkan hasil produksi pertanian tidak optimal yang menyebabkan pemilik/pengelola lahan menjadi miskin. Ini baru dari sisi pengelolaan lahan [5].

Di sisi lain, siklus di atas juga dapat dilihat dari sisi edukasi lingkungan, di mana individu miskin kesulitan mendapatkan akses ke pendidikan, menyebabkan aktivitas ekonomi atau kesehariannya tidak mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan [6]. Dalam bahasa lebih sederhana, biasa dilontarkan kalimat semacam,

Mikirin ngisi perut aja udah puyeng, ngapain mikirin pohon pohonan!”

Permasalahan Lintas Sektoral

Dari gambaran siklus kemiskinan di atas dapat pula disimpulkan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah lintas dimensi/sektoral yang sesungguhnya saling terkait. Sebagai masalah multisektoral, maka penyelesaiannya pun tidak dapat dilakukan secara parsial saja. Perlu ada intervensi dari pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah – baik pusat maupun daerah.

Perambahan hutan secara ilegal oleh warga sekitar hutan merupakan salah satu simtom permasalahan kemiskinan [7]. Kemiskinan mendorong individu bertahan hidup dan melakukan eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang berstatus public goods secara tidak terkendali.

Pemicunya, bisa jadi karena melakukan secara terpaksa dengan sumber daya yang sangat terbatas baik alat [8] maupun pengetahuan, sehingga melewati daya dukung SDA untuk melakukan recovery.

Bagaimana Pemerintah berperan? Flag Smasher secara fiksi memberikan pesan, bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah lintas negara, sehingga ideologi yang tepat adalah ideologi one world one people. Namun, apakah hal tersebut bisa diterapkan di dunia nyata?

Tanpa menjadikan dunia satu kesatuan politik, SDGs telah dianggap sebagai refleksi kepentingan semua negara. Penyatuan kepentingan ini tentunya telah mempertimbangkan perbedaan kepentingan nasional antarnegara dengan melihat kapasitas, kebutuhan, dan prioritas yang berbeda [9].

Epilog: Bagaimana Indonesia (harus) Mengatasinya

Dalam level pemerintah Indonesia, kebijakan pengentasan kemiskinan berbasis lingkungan harus mempertimbangkan keberagaman karakter tiap pemerintah daerah. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah, di antaranya:

  1. Menyiapkan indikator kemiskinan yang di dalamnya juga terkandung indikator lingkungan.
  2. Mendorong agar terdapat visi bersama dan melakukan kebijakan yang terpadu, terukur, dan akuntabel antardaerah. Contoh sederhananya adalah banjir Jakarta. Fenomena banjir pada dasarnya disebabkan oleh masalah lingkungan di Kota Bogor dan sekitarnya. Oleh karenanya, perlu adanya intervensi pemerintah pusat atau kesadaran antarpemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang terintegrasi.
  3. Melakukan riset untuk mencari akar permasalahan antara kemiskinan dan kerusakan lingkungan dengan mempertimbangkan trade off kedua hal tersebut.

Di samping itu semua, kita juga harus memahami bahwa tidak semua permasalahan lingkungan terkait kemiskinan [10]. Namun begitu, dalam hemat saya, mengatasi kemiskinan adalah jurus paling jitu mengatasi masalah lingkungan di Indonesia.

Strategi pengentasan kemiskinan itu sendiri adalah memutus “siklus” kemiskinan dengan peningkatan daya beli melalui jaminan sosial, bantuan langsung tunai, dan berbagai bentuk subsidi pemerintah lainnya untuk peningkatan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar.

Referensi:

[1] Marvel. (2021). The Falcon and The Winter Soldier.
[2] Duraiappah, A. (1996). Poverty and environmental degradation: a literature review and analysis.
[3] Jalal, K. (1993). Sustainable development, environment and poverty nexus.
[4] Bappenas. (2017). Pedoman Penyusunan Rencana Aksi SDGs. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
[5] Baecher, G., et al. (2000). The Nile Basin: Environmental transboundary opportunities and constraints analysis. International Resources Group, for USAID, Washington DC.
[6] Bekalo, S. and Bangay, C. (2002). Towards effective environmental education in Ethiopia: problems and prospects in responding to the environment—poverty challenge. International Journal of Educational Development, 22(1), 35-46.
[7] Murti, H. A. (2018). Perhutanan sosial bagi akses keadilan masyarakat dan pengurangan kemiskinan. Jurnal Analis Kebijakan, 2(2).
[8] Ding, Y. (2009). Impacts of Poverty and an Inability to Manage the Environment. T. Teng, & Y. Ding, Environment and Development, 1, 267-285.
[9] United Nation. (2017). Voluntary Common Reporting Guidelines for Voluntary National Reviews at the High-Level Political Forum for Sustainable Development https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/17346Updated_Voluntary_Guidelines.pdf
[10] Schleicher, J., Schaafsma, M. and Vira, B. (2018). Will the Sustainable Development Goals address the links between poverty and the natural environment? Current opinion in environmental sustainability, 34, 43-47.

2
0

Penulis pemula yang berminat pada tema/isu ekonomi/valuasi lingkungan. Alumni Prodi D-III PBB/Penilai pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang sedang belajar meneliti di Prodi D-IV Manajemen Aset Publik Politeknik Keuangan Negara STAN. Pecinta kaos oblong, kopi robusta, dan downtube bike yang terkadang tersenyum saat pernyataan Weimer dan Vining terjadi di sekelilingnya.

Dhian Adhetiya Safitra ◆ Active Writer

Dhian Adhetiya Safitra ◆ Active Writer

Author

Penulis pemula yang berminat pada tema/isu ekonomi/valuasi lingkungan. Alumni Prodi D-III PBB/Penilai pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara yang sedang belajar meneliti di Prodi D-IV Manajemen Aset Publik Politeknik Keuangan Negara STAN. Pecinta kaos oblong, kopi robusta, dan downtube bike yang terkadang tersenyum saat pernyataan Weimer dan Vining terjadi di sekelilingnya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post