Selasa tanggal 10 Agustus 2021 yang lalu, penulis mengikuti sebuah webinar yang digagas oleh rekan-rekan satu angkatan di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Sekarang perguruan tinggi ini bernama Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Adapun tajuk acara tersebut adalah “Refleksi 15 Tahun Angkatan 14 STPDN”.
Selain diisi dengan berbagi cerita mengenang masa lalu, kegiatan tersebut juga diisi dengan seminar yang menghadirkan beberapa pembicara. Kurang lebih ada empat pembicara yang menyampaikan materinya dalam kegiatan tersebut.
Saya, meskipun terlambat karena harus meninabobokan si “bungsu” terlebih dahulu, akhirnya berhasil bergabung juga. Saat saya di-approve oleh host, acara sedang diisi dengan penyampaian materi dari salah seorang guru kami, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri yakni Profesor Sadu Wasistiono, M.Si. Hal ini membuat saya antusias. Maka, sembari ditemani segelas kopi hangat, saya memerhatikan materi dengan seksama.
Dunia Berubah, Birokrasi Harus Berubah!
Dalam materinya profesor menyampaikan bagaimana dunia berubah begitu cepat akibat perkembangan teknologi informasi. Terutama semenjak ditemukannya internet, perubahan dan perubahan terus terjadi bahkan dalam hitungan waktu yang tidak rasional. Batas-batas negara bukan hanya nyaris tidak ada, akan tetapi benar-benar tidak ada.
Kemarin kita mengenal masyarakat 4.0 sekarang sudah muncul masyarakat 5.0. kemudian muncul istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang di dalamnya mengisyaratkan perubahan dunia yang begitu cepat dengan tantangannya: fluktuasi keadaan yang sulit diduga, ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakjelasan.
Oleh karena itu, dalam menghadapi perubahan yang sangat signifikan, pemerintah dan birokrasi di dalamnya harus berubah. Birokrasi harus bisa bergerak bebas, mampu menyesuaikan diri secara sigap dengan perubahan lingkungan, dan mampu menjadikan perubahan sebagai peluang untuk berkembang dan mengejar ketertinggalan.
Model birokrasi Weberian (yang masih kental di Indonesia) harus ditinggalkan. Pilihan untuk meninggalkannya sudah lama didengungkan oleh para ahli administrasi publik, dan sekarang seiring perkembangan yang lebih progresif maka perubahan itu bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Pilihannya tentu saja tertinggal atau mati secara pelan-pelan (mohon maaf yang terakhir tentu hanyalah metafora dari saya).
Prinsip-prinsip struktur hierarkial, impersonalitas, law/rule based organization, dan kewenangan bersifat komando yang sangat weberianis itu sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Prinsip itu hanya menciptakan kelambanan dan kekakuan.
Struktur pengambilan keputusan yang harus melalui rantai struktur panjang telah membuat keputusan yang harusnya dibuat detik ini mundur berjam-jam kemudian, hanya untuk menemukan kondisi telah berubah dan keputusan tersebut tidak lagi akurat.
Mengkritisi Birokrasi Weberian
Pelaksanaan tugas yang selalu menyandarkan pada aturan, telah terbukti gagal karena aturan tidak selalu dapat menampung perubahan yang terus terjadi. Merujuk pada Buku Humanocracy Gary Hammel dan Michele Zanini, Profesor mengkritik habis birokrasi model Weberian yang bercirikan:
1) berstratifikasi dan berpandangan sempit;
2) dibakukan dan lamban, sehingga menciptakan birokrasi yang parokial, kuno, dan tidak luwes;
3) terspesialisasi dan dibatasi;
4) terstandarisasi dan membuat linglung.
Pemerintah sendiri mulai peka dengan kondisi ini. Hal ini ditandai dengan munculnya kebijakan pemerintah untuk melaksanakan penyederhanaan birokrasi menjadi 2 (dua) level hierarki. Tujuannya adalah membuat birokrasi menjadi lebih singkat dan mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang begitu cepat.
Hierarki yang terlalu panjang membuat pengambilan keputusan menjadi panjang dan kaku. Hal ini membuat setiap respons menjadi sangat lambat. Lahirnya Omnibus Law juga merupakan respons pemerintah terhadap kondisi dunia saat ini.
Melalui penyederhanaan aturan dan pemangkasan sejumlah ketentuan yang kontraproduktif, diharapkan kondisi baru yang akan datang dapat terwadahi tanpa harus lagi merubah aturan. Melalui penghilangan beberapa kewenangan rigid, diharapkan pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dapat menyelesaikannya melalui konsensus.
Humanocracy: Manusia Sebagai Inti Organisasi
Beliau kemudian menjabarkan konsep-konsep humanocracy, sebuah buku yang mengubah kemapanan birokrasi yang selama ini dikenal. Secara umum konsep ini menitikberatkan kepada manusia sebagai inti organisasi.
Jika konsep Weberian mengagungkan struktur, hierarkial kewenangan posisional, hubungan impersonal, dan ketentuan yang mengatur organisasi, maka humanocracy justru menitikberatkan pada manusia sebagai sentra organisasi.
Dengan demikian, bukan manusia sebagai alat organisasi, melainkan organisasi sebagai alat manusia untuk mencapai tujuan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat-kalimat kuncinya yaitu:
“Human beings are resilient. Our Organizations aren’t”, “Human beings are creative, organizations are (mostly) not.” dan “Human beings are passionate. Our organizations are (mostly) not.”
Prinsip humanocracy dapat digambarkan sebagai berikut:
Sebagai penutup, beliau mengajak semua peserta berpikiran terbuka dan menerima konsep baru ini. Dengan kondisi ketidakteraturan dan perubahan yang sangat signifikan seperti sekarang, maka yang tidak berubah akan tertinggal.
Kura-kura vs Kancil: Harapan dalam Ketertinggalan
Memperhatikan penyampaian profesor, membuat saya berpikiran skeptis terhadap masa depan bangsa, terutama birokrasi. Harus kita sadari bahwa birokrasi Indonesia saat ini masih jauh dari harapan. Indeks persepsi korupsi, indeks efisiensi pemerintahan, indeks kemudahan berbisnis yang relatif stagnan, adalah bukti dari postulat penulis.
Belum lagi jika penulis berbicara pengalaman pribadi dan pengamatan penulis. Dengan kondisi ini tentu akan sangat sulit bagi kita untuk mengejar ketertinggalan. Jangankan menerapkan konsep birokrasi terkini, menerapkan konsep-konsep sebelumnya; seperti New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS) saja, kita masih sangat tertatih.
Maka ketertinggalan adalah keniscayaan bagi kita.
Namun akhirnya, penulis teringat dongeng semasa kecil tentang perlombaan kura-kura dan kancil. Bagi pembaca yang belum tahu, bolehlah penulis menceritakannya sekilas.
“Alkisah, seekor kura-kura yang rendah hati dan tidak sombong bertetangga dengan si Kancil yang jumawa. Singkat kata, kura-kura menantang Kancil dalam pertandingan adu cepat berlari. Dengan perasaaan meremehkan, kancil menyanggupi tantangan kura-kura.
Di atas kertas, kura-kura kalah jauh dari tetangganya itu. Namun, kura-kura berlatih habis-habisan sementara Kancil yang sudah sangat dipastikan akan memenangkan lomba, tak melakukan apa-apa. Ia hidup seperti biasanya. Lagian hukum alam mana yang akan membuat kura-kura bisa berlari lebih cepat dari dirinya?
Semenjak zaman Adam hingga nanti jaman Zadam, kura-kura sudah ditakdirkan untuk lambat. Kecuali saat itu sudah ditemukan sepeda motor dan kura-kura dapat mengendarainya, dan hal itu tidak dikatakan curang, barulah mungkin peluang kemenangan menjadi seimbang.
Hari-H pun datang. Kura-kura, seperti yang telah diduga, benar-benar lambat meskipun ia tetap bergerak dengan konsisten. Kancil si jumawa kemudian merasa bosan. Benaknya membujuk untuk beristirahat dahulu. Ia masih akan menang dengan lari cepat menjelang kura-kura mencapai finis.
Hanya perlu hitungan detik atau menit untuk itu. Begitu benak Kancil. Selanjutnya, kancil tertidur lebih lama dari rencananya. Saat Ia membuka matanya, tampak jelas di garis finis sana, Kura-kura sudah meloncat-loncat bahagia. Kura-kura kini bergelar Sang Juara.”
Banyak makna dan pembelajaran dari kisah yang selalu Ibunda sampaikan itu. Pantang menyerah dan konsistensi adalah salah duanya. Dari cerita itu kita belajar bagaimana kura-kura tak memedulikan hukum alam. Tak memedulikan siapa lawannya. Bisa jadi Indonesia bernasib seperti si Kura-kura.
Kita, seperti halnya si Kura-kura, hanya perlu fokus pada kemampuan fisik untuk mencapai tujuan. Bagi Kura-kura tak peduli apapun yang dilakukan lawannya yang penting Ia mampu mencapai garis finis. Sekali lagi, karena bagi kura-kura mencapai garis finis saja sudah sebuah prestasi.
Mengasuh Birokrasi Indonesia
Sebagaimana dikemukakan oleh Profesor Sadu Wasistiono dalam resume buku humanocracy yang dibagikan kepada peserta setelah webinar, “Sebuah konsep tidak disusun dalam ruang hampa, tetapi merupakan akumulasi dari konsep-konsep sebelumnya”, maka sebuah perbaikan organisasipun demikian. Ia harus melalui kemapanan terlebih dahulu sebelum mulai beralih pada konsep atau paradigma yang lain.
Beranjak dari teori organisasi sebagai sebuah organisme, penulis percaya terhadap siklus kehidupan organisasi. Tidak ada organisasi yang tiba-tiba berada di masa keemasan (prime) sebelum melalui masa pengenalan (courtship), bayi (infancy), dan anak-anak (go-go) sebagaimana dikemukakan oleh Ichak Adizes yang di tulis dalam artikel Sam’un Jaja Raharja di Jurnal Administrasi Bisnis Tahun 2010.
Pengamatan penulis, hal ini justru yang selama ini terjadi. Seringkali kita ingin segera menerapkan sebuah konsep tanpa melakukan self assessment terhadap kondisi kita saat ini. Kebijakan baru hadir di tengah pekerjaan rumah yang banyak dari kebijakan pendahulunya.
Maka, mengasuh birokrasi Indonesia bermakna membawa birokrasi ke arah pertumbuhan yang rasional sesuai dengan usianya. Jikapun tidak sesuai usia, maka setidaknya mengasuh sesuai dengan perkembangannya. Perkembangan yang tidak menyisakan banyak cacat pada setiap tahapannya.
Epilog: Ketenangan dalam Memperbaiki Birokrasi
“Ketenangan adalah separuh obat, kecemasan adalah separuh penyakit” perlu kiranya kita lekatkan pada usaha perbaikan birokrasi. Ketakutan akan tergilas karena perubahan yang begitu signifikan di dunia jangan membuat kita tergesa dalam bertindak.
Meloncat lebih melelahkan daripada berjalan secara konsisten. Jangan tergesa ingin mengejar ketertinggalan, sementara diri ini tidak mampu melakukannya. Terkadang, fokus pada memperbaiki diri lebih baik ketimbang mengejar orang lain. Seperti yang Sang Kura-kura lakukan.
Pada bagian berikutnya penulis akan membandingkan masing-masing paradigma mulai dari Weberian, NPM, NPS, hingga terakhir post birokrasi dengan penerapannya pada birokrasi Indonesia. Dengan begitu, maka upaya perbaikan secara berkesinambungan bisa berjalan sesuai harapan. Semoga Allah memberikan penulis kesempatan untuk terus berkarya meskipun sekedar karya kecil ini.
Wallahu A’lam bissawab
Praktisi pemerintahan yang bernama pena inspekturrojali. Penulis adalah seorang PNS Camat Talegong Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Pembahasan yang cukup sedikit wow bagi saya yang awam, sedikit membuka gagasan tentang paradigma birokrasi.
Makasih pak…
Menarik artikel yang mencoba menggeserkan aparadigma dari birokrasi menuju humanocracy. Namun sayang belum ternampak perbandingannya dari kedua konsep tersebut.