Media massa belakangan ini ramai dipenuhi seliweran berita tentang sebuah perusahaan plat merah yang bergerak di bidang institusi keuangan. Sayangnya, kabar yang beredar tidak bisa dibilang kabar positif, bahkan justru cenderung ber-tone negatif.
Dari kebanyakan berita yang disampaikan, perusahaan tersebut mengalami permasalahan keuangan (jika tidak mau dibilang akan bangkrut) karena ketidakjelian (atau kesalahan?) dalam melakukan investasi hingga akhirnya gagal memenuhi kewajibannya.
Tentu hal ini menjadi perhatian, terutama karena secara karakteristik, proses bisnis perusahaan yang bergerak di bidang institusi keuangan cukup sederhana, menghimpun dana dari publik (yang nantinya publik tersebut akan mendapatkan keuntungan atas dana yang diinvestasikan) untuk kemudian diinvestasikan oleh perusahaan ke berbagai ‘wadah’ investasi, baik sektor riil maupun yang non-riil, sesuai dengan kebijakan pimpinan perusahaan.
Namun, yang perlu dipahami adalah proses bisnisnya mungkin sederhana, tapi implementasinya tidak mudah. Menarik publik untuk menginvestasikan dananya ke perusahaan tentu tidak mudah, pun demikian untuk menginvestasikannya ke tempat lain untuk mendapatkan keuntungan atas investasinya.
Perusahaan mengharapkan mendapatkan keuntungan yang besar dari investasinya, karena perusahaan perlu membayarkan premi kepada publik selaku investor perusahaannya, begitu gambaran sederhananya.
Hancurnya Perusahaan Jasa Keuangan di Amerika Serikat
Nah, mengacu pada permasalahan yang terjadi pada perusahaan plat merah di atas, terdapat kondisi yang hampir sama di Amerika Serikat, perusahaan keuangan yang bangkrut karena kegagalan investasinya.
Jika pembaca masih ingat, sekitar satu dekade lalu banyak negara di dunia terguncang oleh krisis keuangan tahun 2007-2008. Kejadian ini mungkin lebih akrab di telinga kita dengan sebutan Global Financial Crisis (Krisis Keuangan Global). Krisis tersebut kemudian terus berkembang dan berubah menjadi resesi ekonomi global, periode pertumbuhan ekonomi yang negatif, pertama kalinya sejak Perang Dunia II.
Harga saham di seluruh pasar saham global anjlok, banyak bank di AS dan Eropa mengalami kerugian, hingga perusahaan besar global yang bergerak pada jasa keuangan, Lehman Brothers, yang telah berusia lebih dari satu abad dinyatakan bangkrut.
Banyak pakar yang percaya bahwa faktor penyumbang utama dalam akar penyebab krisis industri keuangan, yang kemudian meluas menjadi krisis keuangan global adalah kebijakan kompensasi yang diterima oleh para Chief Executive Officer (CEO) dan eksekutif di lembaga keuangan di Amerika Serikat.
Kompensasi, Vitamin atau Penyakit?
Bagaimana rasionalisasi dari pembayaran kompensasi yang diterima oleh para eksekutif bisa menyebabkan sebuah perusahaan merugi? Bahkan bangkrut? Banyak pihak yang salah menganalisis penyebab ini, di mana pihak tersebut terlalu sibuk menyoroti besaran kompensasi yang diterima oleh para eksekutif.
Tentu jika kita mencari tahu informasi tentang kompensasi yang diterima oleh eksekutif di search engine Google misalnya, atau di media massa, titik pembahasan yang muncul akan berfokus pada besarnya nilai kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan.
Kompensasi ini nantinya akan dibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima oleh rata-rata pegawai di perusahaan yang sama, hingga muncul sebuah perbandingan, atau disebut dengan Ratio between CEOs and average workers.
Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 2014, ratio tersebut mencapai 354 : 1. Artinya, kompensasi atau penghasilan yang diterima oleh seorang CEO atau jajaran eksekutif sebesar 354 kali lebih besar dari penghasilan rata-rata pegawai di perusahaan yang sama.
Bahkan, Robert A. Iger, CEO Walt Disney, dibayar 557 kali lebih besar dari rata-rata pegawainya. Sekedar informasi, rasio ini di suatu titik tahun mungkin berubah, turun, tetapi tren secara keseluruhan justru semakin bertambah setiap tahunnya. Artinya, gap antara penghasilan CEO dan pegawai semakin jauh.
Namun, sebagai catatan, bukan besarnya nilai ini yang menjadi penyebab krisis keuangan yang terjadi. Bukan besarnya nilai yang harus dibayarkan oleh perusahaan yang menyebabkan suatu perusahaan merugi, bahkan bangkrut. Benar bahwa krisis keuangan global disebabkan oleh kompensasi eksekutif. Akan tetapi, bukan karena besaran penghasilannya, melainkan karena struktur dari kompensasi yang diterima.
Kompensasi eksekutif biasanya terdiri dari kombinasi dari beberapa komponen, dengan proporsi tertentu dari masing-masing komponen tersebut. Elemen pertama dalam kompensasi adalah gaji pokok, yang diterima dalam bentuk uang tunai dan tidak terkait dengan kinerja. Komponen berikutnya adalah bonus, yang dihitung berdasarkan pencapaian target tertentu, biasanya mengacu pada keuntungan perusahaan yang dituangkan dalam laporan keuangan.
Bonus biasanya diukur dengan dasar jangka pendek, berdasarkan pendapatan tahun sebelumnya. Untuk bonus yang diterima dalam bentuk kas berdasarkan kinerja beberapa tahun, disebut dengan Program Insentif Jangka Panjang (Long-Term Incentives Program/ LTIP). Kedua jenis bonus tersebut adalah non-ekuitas / kompensasi berbasis kas (Non-equity based compensation).
Lalu, eksekutif juga akan mendapatkan kompensasi yang berbasis ekuitas (equity based compensation), yang terdiri dari opsi saham (stock option) dan hibah saham (stock grant). Opsi saham adalah hak yang diberikan kepada eksekutif untuk membeli saham perusahaan pada nilai yang telah ditentukan dan durasi tertentu.
Hibah saham adalah pemberian sebagian saham kepada eksekutif berdasarkan kinerja tahun sebelumnya, dan biasanya, terdapat larangan untuk menjual saham sampai suatu kondisi terpenuhi. Misalnya, untuk ketika telah mencapai target profit tertentu atau masa pensiun eksekutif.
Perkembangan kompensasi eksekutif memasuki dilema selama dan setelah krisis keuangan 2007-2009. Banyak pihak menuduh kompensasi eksekutif sebagai penyebab krisis keuangan di seluruh dunia.
Mereka menduga bahwa para eksekutif berani untuk mengambil proyek-proyek atau investasi yang berisiko, untuk mendapatkan insentif yang lebih tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan perusahaan.
Pada awalnya, tujuan kompensasi adalah untuk mengatasi masalah principal-agent, memperkuat hubungan antara gaji dan kinerja. Frydman dan Saks, para peneliti di bidang kompensasi eksekutif, berpendapat bahwa Performance-Pay Sensitivity (PPS) terus menguat sejak 1970-an.
PPS adalah sebuah ukuran yang mengukur pengaruh dari kompensasi yang diterima oleh eksekutif kepada profit perusahaan atau nilai saham. Kenaikan PPS mengindikasikan bahwa peran kompensasi telah sesuai dengan yang diharapkan.
Tergoda Kompensasi sebagai Motivasi
Namun, meningkatnya PPS tidak otomatis memecahkan masalah kompensasi. Tantangan baru muncul ketika para eksekutif bersedia mengambil risiko untuk memenuhi kriteria kinerja perusahaan.
Iming-iming insentif mengubah eksekutif yang menghindari risiko (risk averse) tidak hanya menjadi eksekutif yang mau mengambil risiko (risk taking), tetapi menjadi eksekutif tersebut melakukan langkah-langkah yang memiliki risiko yang berlebihan (excessive risk).
Rasionalisasinya adalah opsi saham dan hibah saham. Di satu sisi, membuat kepentingan pemilik dan eksekutif bertemu, tetapi di sisi lain, juga secara agresif menggoda eksekutif untuk mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek berisiko.
Dengan proporsi stock option yang tinggi dibandingkan gaji pokok dan bonus misalnya, artinya eksekutif akan berfokus untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, untuk secara simultan meningkatkan kompensasi yang diterimanya juga. Efeknya, eksekutif jadi mau mengambil risiko untuk meningkatkan harga saham.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, semakin tinggi harga saham di pasar dibandingkan dengan harga opsi saham berarti bahwa kompensasi yang diterima oleh eksekutif akan semakin besar.
Masalah serius muncul ketika upaya yang dilakukan oleh eksekutif membawa risiko idiosyncratic, sebuah risiko dari keputusan yang salah dibuat oleh eksekutif terkait dengan strategi bisnis, menghasilkan hasil yang berlawanan, jatuhnya harga saham. Iming-iming insentif bisa membuat keputusan eksekutif untuk menjadi bias dan tidak objektif, termasuk pertimbangan matang.
Penutup
Secara singkat, excessive risk yang dilakukan oleh para eksekutif di banyak perusahaan di Amerika Serikat saat itu, khususnya yang bergerak di bidang keuangan, akhirnya berdampak pada terjadinya krisis keuangan yang menyebar dengan cepat tidak hanya di Negeri Paman Sam saja tetapi menjalar ke seluruh pelosok dunia.
Sebagai respon dari kondisi ini, Pemerintah Amerika Serikat yang diikuti oleh berbagai negara, mulai mengatur tentang bagaimana penerapan kompensasi bagi eksekutif, terutama yang berkaitan dengan kompensasi berdasarkan ekuitas seperti stock option dan stock grant.
Tentu saja, tidak semua motif eksekutif seperti penggambaran di atas, bisa saja dorongannya bukan karena mengejar kompensasi yang lebih besar, tetapi adanya moral hazard. Berinvestasi dengan pertimbangan utamanya untuk memperoleh keuntungan pribadinya.
Bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Proses pengungkapannya masih berlangsung. Bagi saya sebagai penulis, ikut berspekulasi saat ini rasanya bukan sesuatu yang bijak untuk dilakukan.
Saya hanya ingin memunculkan perspektif yang berbeda dalam hal ini, bahwa ternyata mengejar kinerja sebesar-besarnya tidak melulu memberikan hasil yang baik jika tidak diimbangi dengan pertimbangan yang menyeluruh tentang seberapa besar kapasitas perusahaan dalam menghadapi risiko.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
menurut saya meskipun sama-sama terkait investasi, tetapi terkait bagaimana risk attitude publik dalam berinvestasi bisa dieksplorasi di cerita lain pak atas, terima kasih masukannya..
Perspektifnya koq hanya dari sisi keputusan eksekutif di lembaga keuangan. Apakah perilaku publik yang membabi buta dalam investasi, sampai akhirnya kehilangan objektivitas dalam berinvestasi tidak dieksplorasi ?