Luhut Binsar Panjaitan (LBP) adalah fenomena. Mengapa? Karena selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tercatat lebih dari 10 jabatan yang diamanahkan sang presiden kepadanya.
Jabatan yang diamanahkan kepada LBP di antaranya adalah Kepala Staf Presiden, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Koordinator Kemaritiman, Ketua Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri, Koordinator PPKM Wilayah Jawa-Bali, dan yang teranyar LBP mendapat amanah untuk mengatasi permasalahan minyak goreng.
Karena begitu banyaknya jabatan yang diamanahkan kepada LBP, sebagian kalangan menjuluki LBP sebagai menteri segala urusan. Apakah julukan itu tepat? Melihat dari jumlah dan keragaman jabatan yang diamanahkan ke LBP, julukan itu bisa dinilai tepat.
Akan tetapi, julukan tersebut juga bisa dimaknai positif dan negatif. Karena sudah banyak yang memaknainya secara negatif, pertanyaannya “Apakah tidak ada makna positif dari fenomena LBP?” Penulis berpendapat, kita bisa menemukan makna positifnya jika kita melihatnya dari perspektif kebijakan.
Lingkungan Kebijakan
Setiap kebijakan (termasuk kebijakan ekonomi) membutuhkan lingkungan kebijakan yang mendukung. Tanpa lingkungan kebijakan yang mendukung, maka kebijakan tersebut sulit berjalan dengan baik dan sulit mencapai sasaran.
Dalam bukunya berjudul “Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah,” Boediono berpendapat ada tiga faktor dalam lingkungan kebijakan yang mendukung terlaksana dan tercapainya tujuan kebijakan ekonomi di era orde baru:
(1) kestabilan politik;
(2) kelompok yang solid dan mampu, dan;
(3) adanya niat politik yang kuat untuk menjaga keseimbangan ekonomi makro.
Kondisi politik yang stabil memungkinkan kebijakan ekonomi dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Tapi, Boediono memberi catatan kecil bahwa kestabilan politik yang dimaksud di sini tidak hanya diukur dengan apakah presidennya tidak sering berganti, atau apakah kabinetnya jatuh bangun, atau apakah menterinya tidak sering berganti.
Yang dimaksud kondisi politik yang stabil adalah suatu kondisi politik yang mampu memayungi dilaksanakannya, sampai tuntas dan tanpa gangguan yang berarti, kebijakan-kebijakan ekonomi yang sudah diputuskan.
Kondisi politik yang stabil memang penting, tapi itu saja tidak cukup. Untuk membuat, melaksanakan, dan mencapai sasaran kebijakan, kita juga memerlukan kelompok yang solid dan mampu. Solid dan mampu dalam hal apa?
(1) merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi yang rasional; (2) mendapatkan dukungan atau payung politik yang diperlukan; dan (3) melaksanakan secara operasional dengan baik kebijakan-kebijakan tersebut. Di era orde baru, kelompok solid dan mampu itu dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro.
Tapi kunci utama dari lingkungan kebijakan yang mendukung terlaksananya dan tercapainya tujuan kebijakan terletak di faktor ketiga yaitu adanya niat politik yang kuat untuk menjaga keseimbangan ekonomi makro. Tanpa faktor ketiga ini maka tidak akan ada lingkungan politik yang stabil serta tidak akan ada kelompok yang solid dan mampu.
Mengapa Luhut?
Jika membaca fenomena banyak dan ragamnya jabatan yang diamanahkan kepada LBP berdasarkan perspektif kebijakan, maka saya berpendapat itu bukanlah keinginan LBP, melainkan keinginan sang presiden sendiri.
Presiden Jokowi menginginkan LBP menerima amanah itu karena dianggap mampu menjanjikan kestabilan politik serta membentuk kelompok solid dan mampu. Mengapa dua faktor itu yang dibutuhkan? Karena niat politik yang kuat untuk menjaga keseimbangan ekonomi makro sudah dimiliki oleh sang presiden.
LBP dianggap mampu menjanjikan kedua faktor tersebut tentu bukan tanpa alasan. Tampaknya kesimpulan itu berdasarkan pengalaman sang presiden. Ketika sang presiden memberi amanah kepada LBP, amanah tersebut dianggap mampu dilaksanakan sesuai dengan yang beliau harapkan.
Wujud dari kestabilan politik dan kelompok solid dan mampu itu di antaranya ditunjukkan LBP dalam kebijakan proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, Jalan Tol, Undang-Undang Cipta Kerja, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru, penanganan Covid-19 dan yang teranyar tentu permasalahan kelangkaan minyak goreng.
Memang tetap terjadi pro dan kontra. Tetapi bukan pro dan kontra itu yang jadi ukurannya, melainkan apakah kebijakan itu tetap berlanjut atau tidak di tengah dinamika pro dan kontra tersebut. Kenyataannya berbagai kebijakan itu tetap berlanjut.
Belajar dari Luhut
Saya berpendapat setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan LBP mampu menjanjikan politik yang stabil dan kelompok yang solid dan mampu: (1) pengalaman; (2) sadar kekuatan dan; (3) keberanian.
Dalam Seminar Nasional Sekolah Tinggi Angkatan Laut (STTAL) yang disiarkan secara virtual melalui Youtube, Rabu, 25 Mei 2022, LBP mengungkapkan alasan kenapa Presiden Jokowi sering memberikan tugas tambahan kepadanya karena dianggap mampu untuk mengkoordinasikan pekerjaan secara terintegrasi.
Kemampuan itu tentu tidak muncul begitu saja. Menurut LBP kemampuan itu adalah buah dari pengalaman sejak masih jadi tentara di Kopassus TNI Angkatan Darat. Pengalaman itu dimulai dari skala kecil hingga terbawa ke pekerjaan yang sekarang.
Selain karena pengalaman, LBP tampaknya juga sadar dengan kekuatannya. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan internal dan kekuatan eksternalnya. Kekuatan internal itu di antaranya sadar kapasitas pribadi yang mampu mengoordinasi dan mengintegrasikan pekerjaan.
Sedangkan kekuatan eksternal yang dimaksud di antaranya adalah kepercayaan yang diberikan sang presiden, dukungan politik koalisi di parlemen serta jaringan dengan berbagai pihak mulai dari militer, sipil, dan pihak-pihak lainnya – baik di dalam maupun luar negeri.
Walaupun LBP memiliki pengalaman dan sadar kekuatannya, tapi tanpa keberanian kedua hal itu tidak ada gunanya. Mengapa perlu keberanian?
Karena fitrah kebijakan itu tidak bisa menguntungkan seluruh pihak dalam waktu yang bersamaan. Dan yang dirugikan itu tidak selalu orang miskin dan lemah, melainkan juga orang kaya dan kuat secara internal dan eksternal.
Oleh sebab itu, untuk merencanakan, melaksanakan, dan menuntaskan kebijakan diperlukan keberanian. Pertanyaannya: apakah LBP tidak punya rasa takut? Saya yakin LBP juga punya ketakutan. Tapi ia bisa menaklukkan rasa takutnya. Seperti kata Bung Hatta:
“Keberanian bukan berarti tidak takut, keberanian berarti menaklukan rasa takut.”
0 Comments