
Tidak ada era dalam sejarah kebijakan publik ketika data hadir semelimpah hari ini. Negara mengukur hampir segalanya: kemiskinan, inflasi, stunting, kualitas pendidikan dan kesehatan, kepuasan layanan publik, hingga persepsi kepercayaan masyarakat.
Dashboard dibangun, laporan disempurnakan, dan istilah “berbasis data” menjadi mantra di ruang-ruang rapat. Namun di tengah banjir angka itu, satu pertanyaan sederhana justru makin sulit dijawab:
Mengapa keputusan publik seolah sulit berubah berdasarkan data?
Indikator terus diperbarui, analisis makin canggih, tetapi kebijakan bergerak di jalur lama. Program berganti nama, pendekatan dikemas ulang, namun persoalan pokok tetap berulang. Data hadir, tapi tidak memimpin. Ia lebih sering mengiringi keputusan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Di sinilah refleksi perlu dimulai: persoalan kita bukan ketiadaan data, melainkan relasi timpang antara data, intuisi, dan kekuasaan.
Data sebagai Tamu Kehormatan
Dalam praktik kebijakan, data sering diposisikan sebagai alat pembenar, bukan penentu. Ia dikutip ketika mendukung arah yang diinginkan, diabaikan ketika menuntut perubahan yang tidak nyaman. Angka menjadi pembuka presentasi yang elegan, lalu menghilang ketika diskusi memasuki wilayah kepentingan dan risiko politik.
Ambil contoh nyata: kesenjangan pendidikan yang datanya sudah tersedia lengkap selama bertahun-tahun.
Rapor Pendidikan Indonesia 2025 menunjukkan lebih dari 60% anak di beberapa wilayah, terutama Indonesia Timur, belum mencapai kemampuan minimum literasi dan numerasi— artinya 3 dari 5 anak tidak bisa membaca dan memahami teks sederhana atau menyelesaikan soal matematika dasar.
Di Papua, tingkat ketidakhadiran guru mencapai 37-43%—dari 10 guru, hanya 6 yang hadir secara reguler. Kesenjangan geografis sangat ekstrem: Jakarta memiliki rata-rata lama sekolah 11,5 tahun, sementara Papua Pegunungan hanya 5,1 tahun—belum tamat SD.
Data ini bukan temuan baru. Kesenjangan ini telah terdokumentasi dengan baik, dipresentasikan dalam ratusan rapat koordinasi, dan menjadi bahan diskusi di setiap pergantian kurikulum.
Akar masalahnya pun sangat jelas: distribusi guru yang timpang, infrastruktur pendidikan yang minim di daerah terpencil, dan keterbatasan akses internet untuk pembelajaran digital.
Namun respons kebijakan?
Alih-alih menambah anggaran untuk membangun sekolah dan memperbaiki distribusi guru, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk pendidikan justru dipangkas drastis—dari Rp15,3 triliun di 2024 menjadi hanya Rp2,2 triliun di 2025.
Mengapa?
Karena membangun infrastruktur pendidikan di daerah terpencil membutuhkan komitmen anggaran besar, koordinasi lintas kementerian yang rumit, dan hasilnya baru terlihat bertahun-tahun kemudian—semua hal yang tidak menarik secara politis.
Lebih mudah mengganti kurikulum, meluncurkan aplikasi digital, atau membuat program pelatihan guru, ketimbang mengatasi kesenjangan struktural yang memerlukan keberanian fiskal dan politis.
Herbert A. Simon pernah menjelaskan ini lewat konsep bounded rationality: pengambil keputusan selalu dibatasi kapasitas kognitif, waktu, dan kompleksitas informasi.
Namun konteks hari ini menunjukkan ironi berbeda. Keterbatasan utama bukan lagi pada kurangnya data dan informasi, melainkan pada keberanian menanggung konsekuensi dari informasi yang tersedia.
Data ada.
Analisis ada.
Tetapi keputusan memilih jalan yang paling aman secara politik dan administratif.
Di sinilah intuisi sering dijadikan tameng. Intuisi dibela sebagai “kearifan pengalaman”, padahal tidak jarang ia hanya pembungkus bagi kebiasaan lama dan ketakutan pada perubahan. Intuisi yang sehat seharusnya diuji oleh data, bukan dibebaskan darinya.
Ketika intuisi tak pernah dikoreksi fakta, ia berubah jadi bias yang dilembagakan.
Ekonomi Politik Data: Siapa yang Diuntungkan?
Yang perlu kita pahami lebih dalam adalah dimensi ekonomi politik di balik pengabaian data. Data yang baik sering mengancam status quo. Ia mengungkap inefisiensi, mempertanyakan alokasi anggaran, dan menunjukkan siapa yang diuntungkan dari sistem yang ada.
Ketika data menunjukkan bahwa subsidi tertentu lebih banyak dinikmati kelompok menengah-atas ketimbang kelompok sasaran, atau ketika evaluasi membuktikan program unggulan tidak berdampak signifikan, data tersebut tidak hanya mengusik kenyamanan teknis—ia mengancam kepentingan politik dan ekonomi yang terbangun di sekitar program tersebut.
Maka tidak mengherankan jika data sering “ditafsirkan ulang”, indikator diganti di tengah jalan, atau baseline direvisi agar capaian tampak lebih baik. Ini bukan semata persoalan teknis metodologi, tetapi strategi bertahan dalam arena politik kebijakan.
Di sisi lain, masyarakat justru berada dalam posisi paling lemah. Mereka tidak punya akses ke data mentah, tidak memiliki kapasitas untuk memverifikasi klaim pemerintah, dan sering hanya menerima narasi yang sudah dikemas. Kesenjangan akses ini menciptakan asimetri informasi yang melanggengkan kebijakan tidak akuntabel.
Dikotomi Palsu yang Menjerat
Kritik terhadap dominasi data memang tidak sepenuhnya keliru. Data tidak pernah netral. Ia dibentuk oleh metode, asumsi, dan pilihan indikator. Data bisa terlambat, tidak lengkap, bahkan menyesatkan jika dipisahkan dari konteksnya.
Masalahnya, kita sering terjebak dalam dikotomi palsu: seolah harus memilih antara data atau intuisi, antara angka atau kebijaksanaan.
Negara-negara maju menunjukkan dikotomi ini tidak perlu ada. Finlandia menggunakan data pendidikan secara serius, namun tidak untuk menghukum atau memberi peringkat buruk. Data menjadi alat refleksi bersama, dengan keputusan akhir tetap memberi ruang pada profesionalisme guru.
- Inggris, lewat pendekatan behavioural insights, secara sistematis menggunakan eksperimen kebijakan untuk menguji apa yang benar-benar bekerja, namun tetap mempertimbangkan nilai publik, etika, dan dampak jangka panjang.
- Singapura menggabungkan analitik kuat dengan intuisi strategis, mengambil keputusan jangka panjang yang tidak selalu populer dalam jangka pendek.
Benang merah dari ketiganya: data tidak diperlakukan sebagai penguasa tunggal, tetapi sebagai bagian dari proses deliberasi yang matang. Intuisi tidak dibiarkan liar, tetapi didisiplinkan oleh bukti.
Ketika Kecepatan Mengalahkan Ketepatan
Kembali ke konteks kita, persoalan menjadi lebih kompleks karena tekanan politik, birokrasi, dan opini publik yang bergerak cepat. Di era media sosial, kebijakan dituntut responsif, bahkan reaktif. Keputusan cepat dianggap tanda kepemimpinan kuat, sementara kehati-hatian berbasis data dicurigai sebagai keraguan.
Dalam situasi seperti ini, data yang kompleks dan penuh nuansa kalah oleh narasi sederhana yang emosional. Padahal, kebijakan publik bukan lomba popularitas. Ia adalah seni mengambil keputusan sulit dalam kondisi tidak sempurna.
Di sinilah letak relevansinya dengan pemikiran Jürgen Habermas tentang rasionalitas komunikatif: keputusan publik seharusnya lahir dari dialog rasional yang terbuka terhadap argumen terbaik, bukan semata dari rasionalitas instrumental yang mengejar tujuan sesaat.
Data, dalam kerangka ini, berfungsi sebagai bahan diskusi, bukan alat dominasi. Ketika data digunakan hanya untuk memenangkan argumen—bukan mencari kebenaran bersama—kebijakan kehilangan legitimasi moralnya.
Stagnasi yang Tak Kasatmata
Dampak dari semua ini tidak selalu kentara. Laporan tetap rapi, indikator tampak tercapai, program terus berjalan. Namun masyarakat merasakan stagnasi. Mereka mungkin tidak membaca tabel statistik, tetapi mereka merasakan kualitas layanan, harga kebutuhan pokok, dan peluang hidup yang nyata.
Ketika klaim kebijakan tidak sejalan dengan pengalaman sehari-hari, kepercayaan perlahan terkikis. Survei kepuasan layanan publik boleh jadi menunjukkan angka tinggi, tetapi antrian panjang di puskesmas, pengurusan dokumen yang berbelit, dan respons lambat terhadap keluhan tetap menjadi kenyataan.
Yang sering luput dibicarakan adalah posisi para analis dan pengelola data di level teknis. Banyak di antara mereka memahami realitas lapangan dengan tajam. Mereka melihat tren mengkhawatirkan, sinyal kegagalan dini, dan merumuskan rekomendasi perubahan. Namun tidak semua temuan itu mendapat ruang dalam pengambilan keputusan.
Ketika rekomendasi berulang kali diabaikan, analisis berubah jadi ritual administratif. Laporan dibuat karena kewajiban, bukan keyakinan bahwa ia akan mengubah arah. Pada titik ini, negara tidak kekurangan data—ia kehilangan keberanian institusional.
Keberanian yang Hilang
Maka posisi yang perlu kita ambil menjadi jelas dan tidak bisa ditawar: di titik ini kita bukan lagi membutuhkan lebih banyak data, melainkan lebih banyak keberanian untuk membiarkan data mengganggu kenyamanan kita.
Keputusan berbasis data bukan tentang menyingkirkan intuisi, melainkan menempatkannya dalam batas realitas. Data memberi tahu apa yang sedang terjadi, intuisi dan nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan. Ketika salah satunya mendominasi mutlak, kebijakan cenderung gagal.
Menolak data karena tidak sempurna bukanlah sikap kritis,
melainkan defensif. Semua data punya keterbatasan. Tetapi tanpa data, kebijakan hanya bertumpu pada asumsi dan keberanian retorik. Mengabaikan data karena takut salah sama artinya dengan memilih untuk tidak belajar.
Dalam dunia yang makin kompleks dan saling terhubung, kebijakan yang tidak berbasis bukti adalah kemewahan yang tidak bisa kita tanggung. Biayanya terlalu mahal—dalam bentuk anggaran yang terbuang, kesempatan yang hilang, dan kepercayaan publik yang runtuh.
Pertanyaan mendasarnya bukan lagi seberapa canggih sistem data yang kita miliki, tetapi seberapa jauh kita bersedia membiarkan data memengaruhi keputusan—bahkan ketika hasilnya tidak nyaman, tidak populer, dan menuntut perubahan nyata. Akuntabilitas kebijakan di abad ini menuntut keberanian baru: keberanian untuk dikoreksi oleh fakta.
Penutup
Di antara angka dan intuisi, kebijakan terbaik lahir bukan dari memilih salah satunya, tetapi dari keberanian mendengarkan keduanya secara jujur. Negara-negara maju telah membuktikan integrasi itu mungkin. Indonesia memiliki talenta analitik yang tidak kalah, sistem data yang terus membaik, dan tradisi deliberasi yang kuat.
Yang kita butuhkan adalah perubahan budaya: dari budaya yang memperlakukan data sebagai aksesori, menjadi budaya yang menghormati data sebagai kompas. Dari budaya yang takut dikoreksi, menjadi budaya yang haus belajar.
Tantangannya bukan lagi soal kapasitas teknis, tetapi keberanian politik dan integritas institusional. Apakah kita siap membayar harga dari kejujuran terhadap data?
Apakah kita berani mengubah kebijakan meski itu berarti mengakui kesalahan?
Apakah kita sanggup menahan godaan solusi populer demi solusi yang benar?
Negara tidak kekurangan data. Yang masih harus kita bangun adalah keberanian untuk bertindak berdasarkan apa yang data ungkapkan—dan kebijaksanaan untuk menafsirkan angka itu dengan nurani yang matang, demi kepentingan publik yang sesungguhnya.














0 Comments