Mengambil Pelajaran dari Fenomena Corona

by Joko Pitono ◆ Professional Writer | Mar 28, 2020 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

Saat ini sedang terjadi musibah kemanusiaan yang disebut dengan wabah “Corona”. Layak disebut musibah kemanusiaan sebab penyebarannya lewat sesama manusia. Keresahan manusia-manusia pun tidak sekedar soal kesehatan mereka, tetapi lebih dari itu hingga urusan ekonomi, sosial, hingga keagamaan.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu ada juga wabah “Flu Burung” yang penyebarannya melalui hewan unggas. Penanganan wabah ini sepertinya lebih mudah dan cepat – dengan memusnahkan/membakar unggas. Selesai, virus flu burung berlalu. Lantas bagaimana dengan virus COVID-19 alias corona?

Telah berminggu-minggu ini kita semua disibukkan dengan strategi dan aksi penanganan COVID-19. Akan tetapi, pandemi ini sepertinya masih jauh dari berakhir. Setiap hari jumlah kasus semakin banyak. Tak mengherankan jika setiap saat sosial media kita dibanjiri lalu lintas informasi tentang corona. Meresahkan, tapi mari lihat sisi baiknya, corona menyadarkan bahwa kita harus belajar.

Pelajaran Pertama: Berhati-hati Melakukan Perkumpulan

Kita semua telah memahami bahwa penemuan pertama warga negara Indonesia yang positif terjangkit COVID-19 terjadi pada awal bulan Maret 2020 yang lalu. Berita tentang penderita nomor 1 itu menjadi headline di berbagai media. Wajar jika kemudian para wartawan hingga warganet menjadi sangat penasaran dengan kisahnya.

Dari pasien pertama itu, diketahui bahwa yang bersangkutan tertular virus ini dari warga Jepang dalam sebuah acara klub dansa di Jakarta. Tidak ada yang mengetahui saat itu bahwa tamu acara tersebut adalah carrier atau mungkin sudah menjadi penderita virus COVID-19.

Yang pasti, momentum itu menjadi awal mula kegamangan masyarakat untuk menyelenggarakan pertemuan-pertemuan atau bahkan sekedar melakukan perjalanan dalam transportasi umum yang dijejali banyak penumpang.

Puncaknya, beberapa minggu kemudian kantor-kantor pemerintah dan swasta mulai mempekerjakan karyawannya dari rumah guna mengurangi risiko penyebaran virus Corona. Begitu pesat, hingga sebagian besar provinsi di negeri ini telah disapanya (CNN Indonesia). Pada hari Jumat 27 Maret 2020 saja, angka suspect sebanyak 2 orang telah beranak pinak menjadi lebih dari 1000 orang.

Dalam sebuah rute penularan tak kasat mata yang sulit dirangkai, pada akhirnya kekhawatiran akan penyebaran Corona  mengurangi peluang untuk berkumpul bagi siapa saja. Meskipun awalnya hanya dari sebuah klub dansa di salah satu sudut kota Jakarta, kini COVID memberikan dampak ke seluruh aktivitas kerumunan lainnya.

Bukan lagi sekedar soal kumpul-kumpul menyalurkan hobi, kerumunan untuk bekerja dan beribadah bersama-sama (jamaah) pun kini sulit dilakukan. Masyarakat dihimbau untuk bersama-sama mencegah terjadinya kontak fisik, untuk menjaga jarak.

Inilah musibah kemanusiaan yang darinya dapat diambil pelajaran, mengapa musibah ini harus hadir di tengah-tengah manusia. Barangkali, kita sedang mendapatkan pesan bahwa kita harus lebih hati-hati dalam berinteraksi, dalam membuat perkumpulan atau pertemuan.

Bahwa masyarakat Indonesia itu suka berkumpul memang telah kita ketahui bersama. Namun kini virus corona mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati, berperilaku bersih dan sehat, bahkan untuk sementara melatih kita bersabar menahan rindu dengan kawan-kawan kita. Semoga social distancing ini hanya sebentar saja.

Pelajaran Kedua: Menghindari Konsumsi Satwa Liar

Saya sangat tertarik dengan kutipan ini:

“Berbeda dengan virus corona yang beredar sebelumnya, di mana SARS-Cov berasal dari kelelawar, sementara MERS-Cov ditularkan oleh unta. Sejauh ini, diperoleh kesimpulan bahwa 2019-ncov mengalami mutasi pada kelelawar, lalu berlanjut ke ular, dan berakhir masuk ke manusia. Karena itu, masyarakat disarankan untuk menghindari konsumsi satwa liar,” ujar Prof. Soewarno (Sumber: Kompas.com)

Dari mana datangnya COVID-19? Mencermati yang telah diuraikan di atas, virus ini berasal dari orang yang mengkonsumsi satwa liar. Membaca kutipan ini, timbullah pertanyaan dalam benak saya sebagai bagian dari pertanyaan sekaligus klarifikasi: Apakah dalam kurikulum pendidikan di Indonesia telah ada anjuran untuk menghindari atau larangan mengkonsumsi satwa liar?

Pertanyaan selanjutnya, mengapa manusia mengonsumsi satwa liar? Bukankah “katanya” virus corona sudah ditemukan sejak tahun 1960.

Apakah itu artinya sejak tahun 1960 manusia sudah diingatkan agar tidak mengonsumsi satwa liar? Sayangnya dibutuhkan waktu 60 tahun untuk mengingatkan sekaligus memberikan pelajaran kepada manusia untuk sadar terhadap kesalahan yang telah dilakukannya.

Pelajaran Ketiga: Paksaan-paksaan yang Dihadirkan oleh Corona

Virus corona ini memaksa manusia untuk membuka mata, membaca fenomena yang terjadi dan mengambil pelajaran darinya. Menurut hemat saya, pendidikan yang mengajarkan segala sesuatu tentang wabah ini perlu diajarkan kepada siswa-siswa kita. Kurikulum pendidikan kita hendaknya mengadopsi masalah ini agar menjadi bagian dari sistem pendidikan.

Ingat, tujuan pendidikan di negara ini ialah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Kini pendidikan itu diambil alih oleh virus corona. Dalam sebuah artikel, Kompas.com merangkum strategi yang diambil berbagai negara untuk menghadapi corona. Di antaranya dengan 1) Tes, tes, dan lebih banyak tes, 2) Isolasi mereka yang terinfeksi, 3) Persiapan dan reaksi cepat, 4) Jaga jarak, dan 5) Mempromosikan gaya hidup higienis. Mari dalami satu persatu pelajaran yang bisa dipetik dari sana.

1) Tes, Tes, dan Lebih Banyak Tes

Corona mendidik manusia dapat menyadari dan memotivasi dirinya untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Aspek intelektual, aspek emosional, dan aspek spiritual – agar sehat jasmani dan rohaninya. Tes-tes yang dilakukan berdasarkan kesadaran diri lebih efektif daripada berdasarkan himbauan.

Jika sebelum adanya corona, manusia malas atau abai dengan kesehatannya, maka kini manusia mulai sadar dan berlomba-lomba mencari kepastian. Melakukan tes atas dirinya sendiri. Mulai mewaspadai dirinya sendiri.

2) Isolasi yang Terinfeksi

Setelah melakukan tes-tes, corona juga memaksa diri yang terjangkit untuk isolasi demi mencegah virus berkembang lebih luas, dan juga membuka jalan untuk mendeteksi kemungkinan infeksi yang belum berkembang menjadi gejala.

Isolasi ini mendidik manusia untuk mengarantina diri selama proses penyembuhan. Dapat beraktifitas secara bersama-sama lagi setelah dipastikan sehat. Sehat secara intelektual (cerdas), sehat secara emosional (terkendali), dan cerdas secara spiritual (tulus).

Corona mendidik manusia dengan cara memaksa mereka tidak lagi bersama-sama, berkerumun, bergerombol, sebelum memastikan dirinya telah cerdas membaca situasi, telah mampu mengendalikan emosinya, dan tulus menerima dinamika pergaulan dalam komunitasnya.

3) Persiapan dan Reaksi Cepat

Bertindak cepat sebelum penularan meluas di komunitas. Corona memaksa manusia memiliki kemampuan bertindak dengan cepat, tentunya dengan persiapan. Pendidikan hendaknya mampu menyiapkan manusia menjadi manusia yang mampu bertindak dengan cepat sesuai dengan kemampuanya.

Terbukti, himbauan tidak efektif melecut manusia bertindak dengan cepat dalam menyikapi keadaan yang terjadi di sekitarnya. Manusia yang tidak mampu berlari cepat tetap akan duduk meskipun dicambuk.

Di sinilah kritik bagi kita semua. Bahwa pendidikan sejatinya bukan sekedar mampu menjawab soal-soal pilihan ganda untuk mendapatkan sertifikat lulus di level tertentu.

Lebih dari itu, mendidik manusia agar menjadi manusia yang mampu memahami dirinya sebagai manusia secara individu dan bermanfaat bagi individu yang lainnya. Manusia yang mampu merespons masalah yang ada pada dirinya memiliki potensi merespons masalah orang lain. Tidak panik.

4) Jaga jarak

Karena penularan pertama dilaporkan terjadi di sebuah komunitas tanpa disadari, langkah pencegahan sudah sulit diterapkan. Maka langkah berikutnya, ialah tindakan seperti menjaga jarak (social distancing), yang lebih efektif untuk mencegah pihak yang paling rentan terhadap penularan.

Corona memaksa manusia untuk menjaga jarak. Sebelum ada corona, fenomena kerumunan manusia membudaya di mana-mana. Misalnya, warung kopi, restoran, pusat hiburan, dan sejenisnya. Banyak komunitas terbentuk dimana-mana. Dari kerumunan manusia yang secara intelektual, mental dan spiritual belum mapan akhirnya muncul ide-ide yang tidak sehat muncul.

Peran pendidikan lagi-lagi dipertanyakan. Mengapa muncul komunitas-komunitas yang tidak sehat? Apakah salah jika ada yang berpendapat bahwa komunitas yang tidak sehat karena terdiri dari pribadi-pribadi yang tidak sehat? (intelektual, mental, spritual).

Dengan dipaksa untuk jaga jarak, manusia dipaksa juga merenungi apa yang tengah terjadi atau abai sampai manusia ini saling menginfeksi satu sama lain, hingga menghadirkan risiko kepunahan.

5) Mempromosikan Gaya Hidup Higienis.

Corona memaksa untuk hidup higienis atau memilih untuk memungkinkan penyebaran virus corona semakin meluas. Promosi hidup higienis dilakukan di mana-mana secara serentak.

Media sosial sangat membantu proses promosinya. Virus ini memaksa kita untuk sadar bahwa manusia dapat bersama-sama bergerak meskipun di tempat yang berbeda, dan melakukan banyak hal positif.

Hidup higienis bukan hanya sekedar kegiatan seremonial, kegiatan formalitas, untuk menunjukkan bahwa sudah ada kegiatan promosinya. Faktanya manusia sangat rentan dengan virus, daya tahannya rendah. Begitu ada corona datang, langsung panik. Pikirannya, perasaannya, sekaligus mempertanyakan eksistensi ke-Tuhan-annya.

Hari ini, daya tahan manusia diuji oleh corona. Meskipun telah banyak promosi tentang gaya hidup higienis, ternyata praktik itu belum utuh – baru sekedar teori-teori yang secara formalitas disampaikan, dipropagandakan.

Lagi-lagi manusia dipaksa untuk tidak “promosi abal-abal”, kali ini tentang kebersihan. Pendidikan harus hadir untuk mendidik manusia mampu menjalani kehidupannya dengan budaya hidup higienis dalam makna yang sejujur-jujurnya, jangan biarkan corona yang memaksa manusia untuk hidup higienis.

Epilog

Corona sedang memberikan pelajaran yang berharga bagi kehidupan manusia. Lulus dari virus corona, maka manusia terdidik untuk mewaspadai dirinya sendiri; tidak lagi sembarangan berkerumun sebelum memastikan banyak hal; merespon masalah dengan baik; merenungi apa yang tengah terjadi; serta mendidik hidup dengan higienis dalam arti sebenar-benarnya.

Meninjau kembali sistem pendidikan di era yang serba digital ini, di mana segala sesuatunya dapat dilakukan secara online, maka pelajaran dari corona sudah saatnya ditanamkan dengan baik kepada peserta didik dengan bantuan guru dan orang tua.

Dengan segala kemudahan yang dihadirkan teknologi informasi, rasanya tidak sulit mewujudkan ini semua. Di samping itu, saya optimis pada Menteri Pendidikan kita. Semoga pelajaran-pelajaran dari Corona membantu kita mendidik Indonesia.

1
0
Joko Pitono ◆ Professional Writer

Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dan Sekretaris Umum Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI). Tulisannya lebih banyak diwarnai dengan gagasan birokrasi bersih, efisien, dan berdaya.

Joko Pitono ◆ Professional Writer

Joko Pitono ◆ Professional Writer

Author

Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa dan Sekretaris Umum Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI). Tulisannya lebih banyak diwarnai dengan gagasan birokrasi bersih, efisien, dan berdaya.

2 Comments

  1. Avatar

    Luar biasa…lanjutkan dg tulisan-2 berikutnya…

    Reply
  2. Avatar

    trims suhu,nambah ilmu 🙂

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post