Menengok Kembali Rencana Simplifikasi “Hanya” Dua Status Pegawai: PNS dan PPPK

by Ladiatno Samsara ◆ Active Writer | Jan 23, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Pada 18 Januari 2021 silam, ramai diberitakan media online bahwa pada tahun 2023 pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), akan membuat kebijakan besar soal status pegawai. Yaitu, hanya ada dua jenis pegawai yang bekerja dalam institusi pemerintahan.

Pertama ialah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan kedua ialah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Penetapan kedua jenis “status” pegawai tersebut telah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Kabar ini tentunya akan memberikan efek yang sangat beragam bagi seluruh instansi pemerintahan, baik yang di level pusat maupun daerah. Efeknya tentu saja bukan hanya sesimpel perubahan dalam manajemen kepegawaian saja, melainkan mempengaruhi banyak aspek. Berikut diuraikan dalam dua aspek besar: positif dan negatif.

Aspek Positif: Kemudahan Pengelolaan, Database, dan Gaji

Terdapat beberapa hal positif dengan hanya ada duanya jenis pegawai. Pertama, ia akan memudahkan pengelolaan kepegawaian oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai leading sector pengelolaan pegawai yang bekerja dalam instansi pemerintahan di Indonesia.

Pengaturan dan pengelolaan menjadi lebih simpel, karena di setiap instansi pemerintah, di manapun, hanya ada dua jenis pegawai. Jika bukan PNS, ya PPPK. Kelihatannya akan simpel. Namun, nanti dalam implementasinya juga tidak sesimpel itu.

Kedua, seluruh pegawai di instansi pemerintah akan memiliki database yang seragam. Layaknya PNS, PPPK akan memiliki nomor registrasi kepegawaian. Artinya track record, rekam jejak, dan prestasi kerja bisa dengan mudah ditelusuri, terlebih jika PPPK tersebut hanya berkarir di instansi pemerintah saja.

Ketiga, pengelolaan pegawai jelas akan lebih mudah. Garis koordinasi yang berjalan dilakukan sebagaimana pengelolaan PNS. Terlepas ini nantinya akan baik atau belum, tapi setidaknya garis koordinasi akan jelas antara unit kerja pengelolaan kepegawaian di instansi maisng-masing dengan BKN.

Keempat, terdapat kejelasan terkait gaji. Aturan mengenai PPPK jelas bahwa seluruh hak dan kewajiban PPPK sama layaknya PNS. Yang membedakan hanya PPPK tidak memiliki hak untuk mendapatkan pensiun. Artinya, apabila dilihat dari aspek ini, kejelasan gaji PPPK lebih terjamin.

Aspek Negatif: Kesiapan Data dan Potensi Konflik

Namun, di sisi lain terdapat juga aspek negatif penyederhanaan status pegawai ‘hanya’ menjadi dua ini, khususnya pada masa transisi. Bisa jadi, aspek negatif ini merupakan dampak yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan aspek positifnya. Mari kita ulas satu persatu.

Pertama, timbul pertanyaan apakah pemerintah memiliki database terkait seluruh pegawai dengan jabatan apapun di luar PNS. Mungkin kita punya atau masih ada celah untuk bisa diinventarisir. Namun, tentunya hal ini akan menyulitkan karena di setiap instansi memiliki status kepegawaian yang berbeda.

Ada instansi yang menggunakan istilah honorer, ada juga yang menggunakan istilah tenaga kontrak, dan ada juga yang mengunakan istilah pegawai pemerintah non pegawai negeri (PPNPN). Bahkan masih banyak istilah lain yang mungkin dipakai.

Selain status, jumlah pegawai non-PNS pun tidak bisa teridentifikasi dengan rinci. Hal ini dikarenakan proses rekrutmen tenaga honorer atau kontrak biasanya tidak dilakukan secara terpusat, melainkan secara mandiri oleh masing-masing unit kerja eselon II.

Kedua, potensi konflik ketika proses rekrutmen PPPK. Hal ini menjadi hal yang serius untuk dipikirkan solusinya. Berkaca pada rekrutmen PPPK tenaga pendidikan dan kesehatan beberapa waktu yang lalu, potensi konflik akan relatif besar, khususnya ketika proses rekrutmen ini akan dilakukan pada tahun 2023.

Apabila berkaca pada Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, proses rekrutmen PPPK dilakukan dengan seleksi, seperti halnya yang dilakukan untuk tenaga pendidikan dan kesehatan.

Jika hal tersebut benar akan dilakukan, akan terbentuk pasar bebas yang akan mengusik pegawai kontrak atau honorer yang saat ini telah bekerja di instansi pemerintah. Namun, di sisi lain, jika pegawai tersebut otomatis dialihkan, maka akan bertabrakan dengan amanat PP tentang PPPK.

Aspek Negatif: Gaji Rancu Perlunya Ketegasan

Ketiga, pemberian gaji PPPK masih rancu. Apabila terhadap PNS gaji sepenuhnya ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta tunjangan yang melekat di anggaran masing-masing instansi, maka tidak demikian dengan PPPK.

Penghasilan PPPK tentunya tidak akan sama, bahkan lebih sulit ditetapkan secara proporsional daripada PNS yang saat ini mengalami kesenjangan takehomepay antar instansi. Hal ini karena anggaran gaji PPPK melekat di instansi masing-masing.

Di setiap instansi pemerintah baik pusat atau daerah akan ada beban anggaran pembayaran gaji PPPK. Hal ini berbeda dengan kondisi existing di mana gaji pegawai kontrak atau honorer mayoritas melekat di honorarium kegiatan atau nama lain yang tidak menyebutkan pembayaran gaji secara rutin.

Keempat, belum cukup tampak ketegasan instansi yang membina kepegawaian untuk melakukan pengawasan terhadap status kepegawaian. Apakah kebijakan status pegawai PNS dan PPPK bisa diawasi dengan optimal?

Atau jangan-jangan akan muncul lagi status pegawai yang baru selain status PNS dan PPPK, mengingat pengelolaan anggaran masih dilakukan secara mandiri oleh masing-masing unit kerja pada instansi pemerintah. Bahkan, setiap unit kerja bisa memiliki kewenangan untuk membayarkan honorarium personil di luar PNS, baik berupa honor bulanan ataupun bentuk honorarium yang lain.

Penutup: Pengkajian dan Persiapan Lebih Matang

Rencana pemerintah, untuk menertibkan status pegawai menjadi ‘hanya’ dua, perlu memperhatikan banyak aspek agar tidak muncul potensi konflik. Aspek positif dan negatif harus dipertimbangkan dan diperhitungkan sebaik mungkin. Terlebih, dinamika birokrasi dan pola kerja kekinian telah banyak mengalami perubahan.

Selain itu, penulis mengharapkan adanya ketegasan instansi pembina kepegawaian di negeri ini untuk menjadi kunci yang mengarah pada solusi. Kita telah pahami bahwa banyak pekerjaan rumah terkait pengelolaan SDM di lingkungan birokrasi.

Ketegasan menjalankan kebijakan yang dihasilkan dari kajian merupakan keharusan dalam setiap inovasi. Kita semua menanti gebrakan itu, agar status kepegawaian di instansi pemerintah bisa lebih tertib dan teratur, birokrasi menghasilkan manfaat lebih luas kepada masyarakat.

0
0
Ladiatno Samsara ◆ Active Writer

Seorang peneliti dan pengamat Manajemen Pengembangan Kompetensi ASN. Saat ini bekerja sebagai Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Ladiatno Samsara ◆ Active Writer

Ladiatno Samsara ◆ Active Writer

Author

Seorang peneliti dan pengamat Manajemen Pengembangan Kompetensi ASN. Saat ini bekerja sebagai Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post