Menemukan Kembali Makna Pengabdian

by | Sep 23, 2025 | Bangkit, Refleksi Birokrasi | 2 comments

Hampir dua dekade menjalani karir sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), saya duduk di ruang kerja yang telah menjadi saksi bisu perjalanan saya di birokrasi. Kertas-kertas bertumpuk di meja, berkas-berkas yang menyimpan cerita pelayanan pada masyarakat, dan di sudut ruang, foto keluarga kecil yang mengingatkan mengapa saya memilih jalan ini pada awalnya.

Hari itu, mata saya tertuju pada sebuah artikel dengan judul “Memilih Mundur Dari PNS” yang ditulis oleh Poltergiest di laman birokratmenulis.org 7 tahun silam.

Judulnya yang cukup provokatif dan posisinya yang bertengger di puncak teratas popular post, sebagai artikel dengan tingkat views terbanyak menggugah saya untuk membaca lebih lanjut.

Ternyata, artikel tersebut berisi kisah seorang rekan birokrat
yang memutuskan mengundurkan diri dari instansinya—sebuah narasi personal yang jujur
tentang kekecewaan, ketidakcocokan dengan lingkungan kerja, dan pencarian kebahagiaan
di luar birokrasi.

Semakin dalam saya membaca, semakin terasa bahwa cerita ini bukan sekadar pengalaman individual. Jumlah pembaca yang tinggi dan komentar-komentar yang bergema dengan nada serupa menunjukkan bahwa ini adalah representasi dari kegelisahan yang dialami banyak ASN.

Narasi tersebut menggelitik nurani saya untuk merenung lebih dalam—bukan untuk menghakimi pilihan dari tokoh yang diceritakan oleh penulis, melainkan untuk memahami fenomena yang lebih besar: krisis makna dalam pengabdian kepada bangsa ini.

Saya memahami sepenuhnya keputusannya. Alasan-alasan yang ia sampaikan bukanlah hal asing di telinga para ASN:

  • atasan yang kurang empati,
  • beban kerja yang tidak jelas,
  • lingkungan yang tidak kondusif,
  • bahkan sampai pada dampak kesehatan mental dan fisik.

Sebagai manusia, wajar jika ia mencari lingkungan yang lebih mendukung kesejahteraan pribadinya. Pilihan untuk mundur adalah hak yang sah, dan saya hormati keberaniannya mengambil langkah tersebut.

Namun, justru dari kisahnya inilah saya menemukan kembali alasan mengapa tetap memilih bertahan di birokrasi. Bukan karena zona nyaman—sejatinya, bekerja di sektor publik dengan segala kompleksitasnya tidak pernah nyaman— melainkan karena kesadaran bahwa di tengah krisis kepercayaan banyak pihak terhadap birokrasi.

Justru, saat inilah dibutuhkan ASN yang bertahan dan membuktikan bahwa pengabdian sejati bukan tentang kenyamanan, tetapi tentang komitmen pada perubahan yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Dilema yang Menghinggapi Banyak ASN

Cerita rekan tersebut, jika dicermati, mencerminkan krisis yang dialami banyak ASN kontemporer. Generasi milenial dan Gen Z yang masuk birokrasi membawa ekspektasi yang berbeda dibanding generasi sebelumnya.

Mereka menginginkan pekerjaan yang meaningful, lingkungan kerja yang suportif, dan apresiasi yang proporsional. Ketika realitas birokrasi tidak sesuai harapan, muncullah kegalauan yang dapat berujung pada keputusan resign.

Kekhawatiran saya adalah jika narasi seperti ini terus berkembang tanpa diimbangi perspektif lain, ia berpotensi memicu keraguan massal di kalangan ASN, terutama generasi muda.

Bayangkan jika ASN-ASN kompeten dengan idealisme tinggi satu per satu meninggalkan birokrasi karena merasa tak dihargai atau tak bahagia. Siapa yang akan memperbaiki sistem dari dalam? Siapa yang akan melayani masyarakat dengan dedikasi tinggi?

Tidak seperti sektor privat yang orientasinya profit dan kepuasan pelanggan semata, birokrasi memiliki kompleksitas tersendiri: melayani seluruh lapisan masyarakat, terikat regulasi yang ketat, dan harus mempertanggungjawabkan setiap tindakan pada publik. Ini bukan berarti birokrasi tak boleh diperbaiki, tapi pemahaman terhadap nature-nya harus proporsional.

Takdir Luhur di Balik Seragam KORPRI

Ketika saya mengenakan seragam ASN setiap hari, saya tidak melihatnya sekadar sebagai kostum profesi. Seragam ini adalah simbol amanah rakyat yang diemban di pundak. Setiap kali saya melayani masyarakat—baik yang datang dengan senyum maupun dengan kemarahan—saya diingatkan bahwa ini bukan pekerjaan biasa.

Berbeda dengan sektor swasta yang ukuran keberhasilannya relatif jelas (profit, revenue, market share), keberhasilan di birokrasi sering kali tidak terlihat secara langsung.

Ketika kita memproses izin usaha seorang pengusaha kecil
dan bisnis mereka berkembang, ketika kita memfasilitasi program bantuan sosial yang mengentaskan keluarga dari kemiskinan, atau ketika kebijakan yang kita rumuskan berdampak positif pada ribuan rakyat—ini adalah pencapaian yang tak ternilai dengan materi.

Max Weber, sosiolog Jerman yang mengkaji birokrasi modern, menekankan bahwa birokrasi yang ideal adalah yang beroperasi berdasarkan aturan, kompetensi, dan impersonalitas. Namun di balik prinsip-prinsip rasional tersebut, ada dimensi spiritual yang tak boleh diabaikan: panggilan untuk mengabdi pada kepentingan yang lebih besar dari diri sendiri.

Martin Seligman, psikolog yang menggagas teori Positive Psychology, menyebutkan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) bukan hanya berasal dari pleasure dan gratifikasi personal, tapi dari engagement pada sesuatu yang bermakna dan berkontribusi pada kebaikan bersama.

Inilah yang saya temukan dalam birokrasi: kesempatan untuk terlibat dalam misi yang transenden.

Ketersediaan Air dalam Krisis

Izinkan saya berbagi sebuah analogi. Bayangkan birokrasi sebagai sistem penyediaan air bersih dalam sebuah kota. Ketika air mengalir lancar dari kran, tak banyak orang yang menyadari kompleksitas sistem di balik layanan tersebut: sumber air, proses penyaringan, jaringan pipa, pemeliharaan, hingga teknisi yang bertugas 24 jam.

Baru ketika terjadi krisis—air tidak mengalir, kualitas menurun, atau sistem rusak—masyarakat menyadari betapa vitalnya peran mereka yang bekerja di balik layar. Petugas yang bertahan dan memperbaiki sistem saat krisis itulah pahlawan sesungguhnya.

ASN adalah petugas sistem dalam analogi di atas. Saat negara menghadapi pandemi, bencana alam, krisis ekonomi, atau gejolak sosial, birokrasi menjadi garda terdepan yang memastikan pelayanan publik tetap berjalan.

Kita bisa saja bekerja dari rumah, tapi pelayanan darurat, bantuan sosial, dan koordinasi tanggap krisis harus tetap berjalan. Inilah makna pengabdian yang sesungguhnya.

Panggilan Nurani yang Immateri

Tokoh yang diceritakan penulis yang memutuskan resign menyebutkan bahwa sekarang ia merasa lebih “berguna dan dihargai” di tempat kerja baru. Saya tidak dalam kapasitas mempertanyakan perasaannya—setiap orang berhak mencari lingkungan yang kondusif untuk perkembangan diri.

Namun pertanyaannya: apakah “berguna” hanya diukur dari pengakuan sejawat atau lingkungan kerja yang nyaman?

Dalam hidup, ada pencapaian yang kasat mata dan ada yang tidak. Gaji yang meningkat, jabatan yang naik, pujian dari atasan—semua itu terlihat jelas.

Tapi, dampak kebijakan yang kita rumuskan pada kehidupan masyarakat, pelayanan yang kita berikan pada rakyat kecil, kontribusi kita dalam membangun tatanan sosial yang lebih baik—ini semua adalah pencapaian yang tak ternilai, meski tak selalu visible.

Ketika seorang ibu penerima bantuan sosial bisa menyekolahkan anaknya, ketika seorang petani mendapat kemudahan akses kredit melalui program yang kita fasilitasi, atau ketika sebuah komunitas terpinggirkan mendapat perhatian melalui kebijakan inklusif yang kita dukung—di situlah makna sejati dari pengabdian.

Intinya, ini bukan tentang upah atau gaji, tapi tentang amanah yang diemban.

Menjadi Agen Perubahan, Bukan Penonton

Kritik terhadap birokrasi memang banyak dan sebagian memang faktual dan beralasan. Sistem yang sangat birokratis, pelayanan yang lamban, oknum yang tidak berintegritas—semua itu nyata adanya. Tapi pertanyaannya: apakah kita ingin menjadi bagian dari solusi atau justru meninggalkan masalah begitu saja?

Setiap sistem sosial memiliki kelemahan dan membutuhkan perbaikan. Jika ASN-ASN kompeten dan berintegritas terus meninggalkan birokrasi, siapa yang akan memperbaiki sistem dari dalam? Perubahan besar dalam sejarah selalu dimulai dari individu-individu yang memilih bertahan dan berkomitmen pada transformasi jangka panjang.

Saya tidak menafikan bahwa ada kalanya lingkungan kerja memang toxic dan merugikan kesehatan mental. Dalam situasi ekstrem seperti itu, keluar mungkin adalah pilihan terbaik.

Tapi jika persoalannya adalah ekspektasi yang tidak terpenuhi atau ketidakcocokan dengan kultur birokrasi, mungkin saatnya untuk melakukan reframing terhadap definisi kesuksesan dan kebahagiaan.

Kebahagiaan yang Bermakna

Viktor Frankl, psikiater dan holocaust survivor, dalam bukunya “Man’s Search for Meaning” menyebutkan bahwa kebahagiaan tidak bisa dijadikan tujuan utama. Ia muncul sebagai by-product dari keterlibatan pada sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Frankl menemukan bahwa orang yang mampu bertahan dalam kondisi paling sulit sekalipun adalah mereka yang menemukan makna dalam penderitaannya.

Birokrasi, dengan segala tantangannya, menawarkan arena untuk menemukan makna tersebut. Ketika kita berhasil melayani masyarakat dengan baik, ketika kebijakan yang kita rumuskan membawa perubahan positif, atau ketika kita berhasil membangun tim kerja yang solid dan produktif—di situ ada kepuasan yang tidak bisa dibeli dengan gaji besar atau pengakuan atasan.

Memasuki pertengahan dekade kedua berkarir, saya mengalami pasang surut. Ada masa-masa jenuh, frustrasi dengan sistem, bahkan sempat mempertanyakan pilihan hidup.

Tapi setiap kali melihat dampak positif dari kerja yang telah dilakukan—program kesehatan yang menyelamatkan jiwa, atau kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat—saya kembali menemukan alasan mengapa memilih tetap bertahan.

Komitmen pada Generasi Mendatang

Bagi rekan-rekan ASN yang sedang mengalami kegalauan serupa, saya mengundang untuk merefleksikan kembali alasan awal memilih berkarir di birokrasi. Apakah semata-mata karena gaji yang pasti dan jaminan pensiun? Atau ada panggilan yang lebih dalam untuk berkontribusi pada kemajuan kolektif sebagai bangsa?

Jika jawabannya yang kedua, maka tantangan dan frustrasi yang dihadapi hari ini bisa menjadi batu loncatan untuk menjadi ASN yang lebih baik, lebih inovatif, dan lebih berdampak. Alih-alih melihat masalah sebagai alasan untuk pergi, lihatlah sebagai peluang untuk membawa perubahan.

Birokrasi memang bukan tempat bagi mereka yang mencari gratifikasi instan.
Ia adalah marathon, bukan sprint. Tapi bagi mereka yang memahami esensi pelayanan publik sebagai ibadah dan pengabdian sebagai panggilan suci, birokrasi menawarkan kesempatan yang tak tergantikan: menjadi bagian dari sejarah peradaban bangsa.

Setiap generasi memiliki amanah zamannya. Generasi saya bertugas membangun fondasi, generasi berikutnya memperkuat struktur, dan generasi masa depan akan menuai hasilnya.

Jika hari ini kita meninggalkan pos, siapa yang akan meneruskan estafet pembangunan? Siapa yang akan memastikan bahwa birokrasi kita semakin baik, semakin profesional, dan semakin mengabdi pada rakyat?

Mari kita jadikan kritik dan tantangan sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik, bukan sebagai alasan untuk menyerah. Karena di balik seragam yang kita kenakan, tersimpan amanah rakyat yang tak boleh kita sia-siakan.

Dan pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukan terletak pada kenyamanan diri, tapi pada kesadaran bahwa hidup kita telah bermakna dan berkontribusi pada kebaikan bersama.

6
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

2 Comments

  1. Avatar

    Hallo bang Irsyad!
    Ternyata cukup seru juga melihat sudut pandang birokrat dari generasi yg lebih senior. Saya sebagai milenial generasi akhir dan kawan-kawan gen z nampaknya sudah jarang yg menganggap karir di birokrasi sebagai pengabdian. Kebanyakan dari kami ingin berkarir secara profesional dan to the point. Saya sendiri berpikir bahkan meritokrasi tidak akan pernah tercapai selama kita menganggap ASN adalah karir pengabdian. Saya pikir kalau tidak ada insentif atau sekedar benefit yg cukup untuk seseorang berkarir secara profesional dg segudang skill dan knowledge yg dimiliki, secara natural orang tersebut akan memilih tempat yg lebih layak untuk dirinya berkembang. Semoga gap perbedaan cara pandang antar generasi ini bisa mendapat titik temu yg mencerahkan.
    Senang bisa membaca tulisan abang, semoga sehat dan sukses selalu.

    Reply
    • Avatar

      Halo Mas Alwan! Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan saya dan memberikan perspektif yang sangat menarik.
      Saya sangat menghargai kejujuran dan keterbukaan Anda dalam menyampaikan pandangan generasi milenial-Gen Z tentang karir di birokrasi. Dan yang paling penting: saya setuju dengan sebagian besar poin yang Anda sampaikan.

      Anda benar—profesionalisme dan meritokrasi seharusnya menjadi fondasi birokrasi modern. Insentif yang layak, benefit yang memadai, dan penghargaan terhadap kompetensi adalah kebutuhan yang sangat legitimate. Saya tidak percaya bahwa “pengabdian” harus identik dengan menerima ketidakadilan, gaji rendah, atau sistem yang tidak menghargai kinerja. Justru sebaliknya: pengabdian yang sejati seharusnya didukung oleh sistem yang profesional, adil, dan meritokratis.

      Yang saya coba sampaikan dalam tulisan bukan bahwa kita harus menerima kondisi yang tidak ideal dengan dalih “pengabdian,” melainkan bahwa di tengah segala keterbatasan sistem saat ini, tetap ada dimensi makna yang lebih dalam yang bisa kita temukan dalam melayani publik. Ini bukan tentang memilih antara profesionalisme ATAU pengabdian—keduanya seharusnya berjalan beriringan.

      Saya percaya gap antar generasi ini justru bisa menjadi kekuatan transformatif. Terima kasih sekali lagi atas perspektif yang mencerahkan. Semoga kita—lintas generasi—bisa terus berdialog dan bersama-sama memperbaiki birokrasi dari dalam.
      Salam hangat dan sukses selalu untuk Anda! 🙏

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post