Mencari Kepastian Hukum Proses PBJ Dengan ‘SIAPKAH’

by Dewi Utari ◆ Professional Writer | Aug 25, 2019 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

Di tengah tuntutan profesionalisme dan himpitan kriminalisasi, para pelaku pengadaan sudah sepantasnya mendapatkan perlindungan dari negara atas kinerjanya demi kelancaran proses pembangunan yang berkeadilan, manusiawi, dan bermartabat. Namun, pahlawan pembangunan yang satu ini seringkali masih menjadi korban kriminalisasi.

Bahkan, Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor: KEP-109/A/JA/09/2007, Nomor Pol. : B/2718/IX/2007, dan Nomor: KEP-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Nonbudgeter, sampai saat ini belum juga terlihat ‘taringnya’.

Di sisi lain, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah banyak merumuskan kebijakan yang mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja pemerintah agar diperoleh barang/jasa publik yang bermutu dan sesuai dengan standar yang ditentukan. Perubahan kebijakan dari proses pengadaan secara manual di masa lalu hingga e-Procurement seperti sekarang ini sangat membantu memperlancar proses pengadaan barang/jasa.

Inovasi yang luar biasa tersebut tentunya untuk lebih mempermudah pelaku pengadaan dalam menjalankan tugasnya, bukan untuk menjerumuskan para pelaku pengadaan ke dalam jurang kriminalisasi.

Ketidakpastian hukum

Salah satu azas hukum pidana menyatakan bahwa tiada perbuatan dapat dipidana tanpa ada undang-undang yang mengaturnya sebagai tindak pidana. Namun, kebanyakan dari mereka  yang memproses kasus hukum dalam pengadaan barang/jasa (PBJ) menganut azas legalitas formil dan materiil sehingga hukum tidak tertulis pun dijadikan dasar untuk mengategorikannya sebagai tindak pidana.

Kondisi tersebut diperparah oleh tidak pahamnya  para aparat penegak hukum (APH) mengenai aturan PBJ. Hal inilah yang akhirnya melahirkan kriminalisasi karena hukum tidak tertulis dijadikan dasar untuk mengategorikan suatu perkara ke dalam suatu perbuatan pidana.

Kriminalisasi sering mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan. Pelaku pengadaan yang telah menjalankan tugasnya sesuai ketentuan sebagaimana sudah diatur dengan berbagai macam aplikasi dan berbagai produk norma sebagai landasan hukum dalam bekerja, tetapi masih harus menyediakan waktu dan konsentrasinya untuk pemeriksaan yang belum tentu terdapat unsur pidananya.

Banyak waktu yang dikorbankan untuk memenuhi waktu pemeriksaan dan kadang tuntutan ‘entertainment’ si pemeriksa yang berbanding lurus dengan biaya yang keluar. Seringkali si korban kriminalisasi menempuh jalan pintas dengan cara merelakan sejumlah uangnya sekedar agar dia bisa melanjutkan pekerjaannya sebagai bagian tugas negara.

Perlu Kepastian Hukum

Indonesia sebagai negara hukum seyogyanya juga memerhatikan masalah bagaimana kepastian hukum ditegakkan. Selain itu, negara juga semestinya mampu menjaga keadilan hukum agar tidak diskriminatif. Dalam  UUD 1945 sebetulnya telah tertuang pasal-pasal yang mengatakan persamaan kedudukan warga negara di mata hukum (pasal 27) dan hak atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil (pasal 28).

Hal tersebut menyiratkan bahwa manusia bukanlah sebagai obyek hukum semata, melainkan sebagai subyek hukum yang memiliki harkat dan martabat yang sama dan berhak atas rasa aman dari perlindungan ancaman ketakutan dan pemerasan atas tindakan yang di luar tanggungjawab dan kendalinya.

Namun demikian, fakta yang terjadi pada beberapa kasus pemeriksaan dugaan tipikor pada proses PBJ, pelaku pengadaan selalu menjadi bulan-bulanan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Padahal kasus yang sering terjadi adalah pemilik pekerjaan diciderai janji oleh penyedia atau wanprestasi, yaitu adanya penyimpangan pelaksanan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Tindakan  pelanggaran undang-undang yang menjadi syarat ketentuan dalam kontrak menjadi tanggung jawab pelaku. Namun, anehnya pemilik pekerjaan yang dituduh melakukan pembiaran terhadap hal tersebut. Sangat ironis juga, posisi pengelola kegiatan yang tadinya sebagai saksi, tiba-tiba bisa dinyatakan sebagai tersangka tanpa ada bukti yang mengarah padanya.

Usulan Aplikasi

Ketidakpastian hukum pada kasus tersebut di atas, diperparah oleh belum adanya transparansi prosedur penanganan kasus dugaan tipikor pada proses PBJ dan ketidakpahaman APH terhadap proses PBJ.

Untuk itu, akan lebih bagus jika kita memiliki sebuah instrumen, katakanlah suatu aplikasi yang dapat membantu pencarian kepastian masalah hukum tadi. Saya mengusulkan suatu alat/instrumen bernama Sistem Aplikasi Penanganan Kasus Hukum atau disingkat dengan SIAPKAH.

Dengan adanya SIAPKAH, diharapkan semua tahapan prosedur menjadi jelas sehingga deteksi dini terhadap potensi terjadinya fraud dan tipikor akan mudah dicegah. Lingkup tanggung jawab kesalahan administrasi, perdata, dan pidana akan dipilah sejak awal. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah rentan dipidanakan.

Aplikasi tersebut akan mengarahkan pemeriksa intern (APIP) untuk memproses terlebih dahulu setiap aduan masyarakat untuk kemudian dapat dilanjutkan kepada APH bilamana terdapat indikasi tipikor. Prosesnya dilakukan dengan cara menginput dan mengunggah bukti dari tiap proses pemberkasan. Alat tersebut akan sangat membantu APIP dan APH dalam memproses suatu perkara meskipun belum menguasai prosedur PBJ.

Yang dapat mengakses aplikasi SIAPKAH ini bukan hanya APIP dan APH saja, tetapi masyarakat juga. Masyarakat dapat memantau perkembangan runtutan proses penanganan dan penyelesaian perkaranya, apakah telah sesuai dengan proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Jika pemberkasan belum lengkap (bukti belum diunggah dan artinya belum P21), maka proses akan dikembalikan dan dinyatakan P18, yaitu Hasil Penyelidikan Belum Lengkap.

Begitupun juga pada tiap tahapan dari sejak proses perencanaan, penganggaran hingga pelaksanaan akan dapat dilihat siapa pemegang peranan dan siapa yang bertanggung jawab. Hal tersebut akan meminimalkan kejadian pengkambinghitaman atau adanya korban tumbal dari suatu perkara. Misal, ketika ditemukan penyimpangan ada di proses pelaksanaan, hal tersebut tidak akan mencari tumbal dan menyalahkan isi dokumen pengadaan.

Sebaliknya, jika ditemukan bukti penyimpangan saat perencanaan dan ketika di tahap pelaksanaan mengalami kegagalan, maka tanggung jawab administrasi ada di tahapan pemegang kebijakan di tahap perencanaan. Saat diurai mengenai tanggung jawab administrasi, dapat dilanjutkan ke pemeriksaan tanggung jawab perdata dan tanggung jawab pidananya.

Dengan adanya aplikasi yang jelas kronologisnya sesuai keputusan jaksa agung di atas,  maka di samping lebih efisien dari segi biaya dan waktu pemeriksaan, juga tidak begitu mengganggu produktivitas kerja orang yang diperiksa dan mengurangi peluang terjadinya pertemuan pemeriksaan yang cenderung rawan terjadi suap menyuap.

Suatu penegakan hukum harus dimaknai sebagai penegakan keadilan. Hukum dibuat agar masing-masing pihak tidak saling bersinggungan. Sedangkan saat ini yang terjadi di dalam penegakan hukum, bahwa pemeriksa masih berdiri hanya pada lapisan dogmatik hukum sehingga putusan yang keluar sangat jauh dari nilai-nilai keadilan dan menafikan fakta-fakta yang sesungguhnya.

Epilog

Merujuk dari tulisan dengan judul “APIP dalam Pusaran Kriminalisasi” dan “Melawan Kriminalisasi PNS melalui Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan serta Penyetaraan Kewenangan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum”,  maka sudah seharusnya peran APIP sebagai garda terdepan pengawal akuntabilitas keuangan negara semakin diperkuat dengan disyaratkannya kepada mereka untuk memiliki sertifikat keahlian PBJ dan keahlian di bidang hukum. Juga, perlu adanya penguatan Sumber Daya Manusia yang penuh integritas dan kejujuran.

Selain itu, negara perlu memperkuat peran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lembaga yudisial pertama yang memiliki hak preferensi sebelum Pengadilan Tipikor dalam memproses suatu perkara penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Proses pelaksanaan PBJ perlu dilindungi oleh sistem agar dapat dicapai kepastian hukum. Salah satu yang dapat membantu pencarian kepastian hukum tersebut adalah ditaatinya prosedur baku tentang alur proses penanganan suatu perkara secara transparan melalui aplikasi SIAPKAH.

Semoga penegakan keadilan akan lebih terwujud.

6
0
Dewi Utari ◆ Professional Writer

Lulusan S1 Teknik Sipil Undip dan S2 Magister Ilmu Hukum UKSW. Saat ini bekerja sebagai PNS Bapelitbangda Kota Salatiga.

Dewi Utari ◆ Professional Writer

Dewi Utari ◆ Professional Writer

Author

Lulusan S1 Teknik Sipil Undip dan S2 Magister Ilmu Hukum UKSW. Saat ini bekerja sebagai PNS Bapelitbangda Kota Salatiga.

2 Comments

  1. Avatar

    Saya sangat setuju aplikasi SIAPKAH kalau benar2 menjadi baik kedepannya.

    Reply
    • Avatar

      Andai Aplikasi SIAPKAH ini benar2 ada, APH cukup masuk dalam sistem aplikasi untuk pengawalan anggaran jadi tidak spt saat ini yang sbtar 2 pokja dipanggil, di introgasi yang berakibat mengganggu kinerja pokja

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post