Peralihan Sumber Daya Penerimaan Negara
Selama tahun 2016 dan 2017 pajak memiliki porsi yang dominan dalam APBN, yakni masing-masing sebesar 86,2% dan 85,6% dari total penerimaan negara. Fakta ini sangat kontras apabila kita bandingkan dengan zaman orde baru, saat penerimaan negara kita masih sangat bergantung dari penerimaan minyak dan gas bumi. Misalnya, selama periode tahun 1979-1985 persentase penerimaan negara dari minyak dan gas bumi mencapai kisaran angka 60% – 65%.
Apabila dilihat dari perspektif sumber pendapatan negara, kekontrasan itu menandakan adanya peralihan dari sumber daya alam (SDA) ke pajak. Pada tahun-tahun selanjutnya, penerimaan negara kita benar-benar akan didominasi oleh penerimaan pajak. Menurut saya, saat ini semestinya kita berada pada tahap akhir peralihan tersebut. Pemerintah sendiri terlihat bersemangat mendorong ke arah sana.
Hal itu dapat dilihat dari target tax Ratio selama lima tahun dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pajak 2015 – 2019 yang cenderung dipatok semakin meningkat. Tax Ratio merupakan salah satu indikator untuk mengukur optimasisasi sistem perpajakan dalam menghimpun penerimaan dan kepedulian masyarakat terhadap aspek perpajakan.
Sayangnya, selama tiga tahun pertama Renstra terjadi gap antara target yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan apa yang telah dicapai oleh pemerintah. Berikut adalah tabel target tax ratio dan capaiannya sejak tahun 2015:
*Target Tax Ratio didapatkan dari Renstra Direktorat Jenderal Pajak 2015-2019
*Capaian Tax Ratio didapatkan dari https://www.kemenkeu.go.id/apbn2017
Cara Pandang Masyarakat
Apa yang penting dari angka-angka di tabel tersebut? Benarkah kita sedang berada dalam sebuah tahap akhir peralihan? Capaian tax ratio tiga tahun pertama yang stagnan pada kisaran angka 10% menjadi penanda bahwa proses peralihan itu sepertinya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh pemerintah.
Proses peralihan tersebut semestinya dapat mempengaruhi bagaimana cara pandang masyarakat terhadap pemerintahan. Di sinilah peran penting pemerintahan secara keseluruhan, bukan sektoral, untuk dapat mengawal proses peralihan ini dengan baik.
Seperti yang dijelaskan oleh Natural Resource Governance Institute (NRGI), ketika penerimaan suatu negara bergantung pada sumber daya alam (SDA), maka masyarakat akan kurang peduli terhadap bagaimana penerimaan tersebut digunakan. Sebaliknya, ketika penerimaan suatu negara bergantung pada pajak, maka masyarakat akan sangat memedulikan bagaimana penerimaan suatu negara tersebut akan digunakan.
Senada dengan NRGI, Michael L. Ross, seorang peneliti dari University of California, dalam penelitiannya mengatakan bahwa jika suatu negara ingin menguatkan penerimaan dari sektor yang menuntut peranan langsung dari sumber daya rakyat (pajak), maka rakyat akan menuntut pelaksanaan pemerintahan yang lebih akuntabel, informatif, dan transparan.
Sebenarnya karakteristik bagaimana rakyat bereaksi terhadap perubahan jenis penerimaan negara tidak dapat terlepas dari kutukan sumber daya (resources curse effect). Salah satu bagian terpenting dari kutukan tersebut adalah bagaimana mendorong peran langsung masyarakat dalam pemenuhan anggaran negara.
Pada masa kelimpahan SDA (resources boomers), masyarakat merasa tidak begitu berperan dan justru terkesan tidak begitu peduli dengan anggaran negara. Sebaliknya, jika peran masyarakat dalam anggaran negara melalui kewajiban pajak menjadi sentral, maka masyarakat akan sangat peduli dengan anggaran negara. Dengan begitu, pemerintah sudah seharusnya mampu menjelaskan dengan baik kepada masyarakat tentang apa peranan mereka serta bagaimana pemerintah akan menggunakannya.
Jika kita kembali melihat pada capaian tax ratio yang cenderung stagnan, sepertinya ada sesuatu yang salah selama ini. Apa masalah sesungguhnya?
Masalah Komunikasi
Selama ini pemerintah sudah berupaya menjelaskannya melalui laporan pertanggungjawaban anggaran dan informasi perpajakan. Namun, laporan tersebut masih berputar pada tatanan birokrasi, misalnya laporan APBN, APBD, ataupun laporan keuangan desa.
Masalah yang timbul kemudian adalah tidak semua masyarakat dapat dengan mudah memahami laporan tersebut. Jangankan masyarakat, dari pihak internal pemerintah sendiri saja masih banyak yang tidak begitu paham ketika membaca laporan tentang kemana uang hasil penerimaan pajak digunakan.
Laporan-laporan tersebut memang ‘baik’ sebagai sebuah instrumen pertanggungjawaban atas apa yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Namun, apakah laporan-laporan tersebut juga ‘baik’, sehingga mampu menjadi penanda bahwa segala aktivitas negara memerlukan sumber daya dari pajak? Bagaimana mungkin laporan tersebut dapat menjadi ‘baik’ ketika untuk memahaminya saja diperlukan sebuah ilmu keuangan negara yang tidak sederhana?
Gap pemahaman inilah yang sedikit banyak memengaruhi pemahaman masyarakat atas apa yang disampaikan oleh pemerintah. Masyarakat sepertinya kesulitan menangkap simbol yang ingin disampaikan pada laporan keuangan karena angka-angka yang tertera disusun dan dijelaskan dengan bahasa yang tidak umum. Kesulitan tersebut bisa terjadi saat masyarakat membaca semua jenis laporan keuangan, baik pemerintah pusat, kementerian, pemerintah daerah hingga desa.
Di sisi lain, simbol tetap penting dalam komunikasi manusia, karena pada dasarnya manusia memahami segala realitas kehidupan melalui pemahaman simbol-simbol. Begitu juga manusia sebagai wajib pajak memerlukan simbol yang mampu menjelaskan apa saja kegunaan atas pajak yang telah mereka setorkan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana pemerintah mampu menyajikan simbol yang mudah dipahami? Simbol yang membuat masyarakat dapat memahami kegunaan pajak dan menstimulasi kesadaran atas kewajiban pajak pada diri mereka. Hal itu sangat diperlukan mengingat hampir sebagian besar penerimaan pajak selama ini berasal dari voluntary tax compliance yang berlandaskan pada kesadaran perpajakan masyarakat.
Mengubah Pola Komunikasi
Seperti yang dikatakan oleh Jurgen Habermas, salah seorang filsuf besar dari Jerman, bahwa dalam mencapai sebuah konsensus bernegara perlu adanya kesalingpahaman antar anggota masyarakat, dan juga antara negara dengan masyarakat.
Atas permasalahan penyampaian simbol, laporan-laporan keuangan tersebut terasa ‘kosong’ karena mayoritas hanya dipahami oleh para birokrat dan akademisi. Boleh diakui atau tidak, masih jarang sekali aktivis sosial maupun politisi mengangkat permasalahan tarif dan pelaksanaan perpajakan dalam kritik mereka terhadap pemerintah.
Bisa jadi hal ini terjadi karena laporan keuangan pemerintah baru dipahami dari sisi pengeluaran. Atau, mungkin laporan keuangan pemerintah gagal menjadi penanda adanya penerimaan pajak yang membuat terlaksananya pengeluaran tersebut.
Kementerian Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sudah mulai mengubah pola komunikasi kepada masyarakat dengan mengeluarkan informasi berbentuk infografis yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Namun, akan tetap menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana dengan instansi pemerintah lainnya? Apakah akan beranjak dengan menggunakan pola komunikasi yang lebih memasyarakat seperti yang telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan? Ataukah instansi pemerintah lainnya masih saja mengandalkan laporan keuangan sebagai satu-satunya informasi kepada masyarakat?
Epilog
Jika pemerintah ingin proses peralihan panjang sumber penerimaan negara dari SDA menjadi pajak dapat berjalan maksimal, sudah selayaknya pemerintah secara keseluruhan meninjau ulang pola komunikasi laporan penggunaan uang negara. Hal itu perlu dilakukan, bukan hanya agar laporan keuangan menjadi mudah dipahami, tetapi juga agar tercapai konsensus bernegara terutama dalam hal perpajakan.***
Apalagi dengan digitalisasi dalam setiap lini, sudahkah birokrasi beranjak memanfaatkan dunia digital dlm penyusunan laporan2 nya, betulkah kita butuh bentuk keras (hardcopy) dari SPJ yang ada