Suatu pagi menjelang siang di kota kembang, saya bersama keluarga mampir di salah satu studio foto yang cukup dikenal banyak orang. Studio foto itu sudah ramai sekali saat kami datang. Kami pun harus menunggu giliran selama hampir satu jam.
Ramainya studio itu menggambarkan betapa banyak orang yang telah memercayakan dirinya untuk diarahkan dan diambil gambarnya menjadi sebuah foto yang indah yang mampu dikenang sepanjang masa.
Satu jam menunggu giliran, membuat saya pun banyak mengamati bagaimana cara kerja para petugas di studio tersebut. Mereka tampak terampil, sigap, tak kenal lelah, dan tetap ramah. Mereka tampak sungguh profesional.
Fokus
Studio foto ini mengajarkan satu pelajaran penting, yaitu apa pun yang dikerjakan secara profesional pasti akan meraih keberhasilan. Sebagaimana pemahaman banyak orang bahwa profesionalisme terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku seseorang, saya melihat ketiganya ditampakkan oleh para petugas disana.
Pemilik studio foto itu sepertinya telah mengajarkan seluruh petugas di sana untuk fokus. Fokus pada pemahaman mengenai seluk beluk fotografi (pengetahuan), fokus pada berbagai teknik pengambilan gambar sampai dengan kualitas hasil (keterampilan), fokus pada pelayanan terhadap pelanggan (perilaku), dan tentu saja fokus pada tujuan bersama mereka. Itulah mengapa saya berpendapat bahwa salah satu kunci profesionalitas itu adalah fokus.
Saya lalu teringat bagaimana saya belajar menulis secara otodidak. Saat saya mencoba untuk menyelesaikan tulisan saya, saat itu pula banyak pekerjaan lain yang harus saya selesaikan terkait tugas-tugas di kantor. Banyaknya pekerjaan di kantor terkadang membuat saya keteteran. Belum selesai satu tugas sudah datang lagi tugas atau pekerjaan berikutnya.
Kondisi seperti itu, saya rasa jauh dari kondisi yang disebut dengan profesional. Padahal, saya juga bermimpi menjadi birokrat profesional sekaligus penulis profesional. Mungkinkah impian itu bisa dicapai dengan cara bekerja seperti ini? Tidak fokus dan mengerjakan banyak hal dalam suatu waktu?
Kerja Bersama dan Silaturahmi
Pertanyaan di atas membuat saya teringat pada pesan sang khatib saat saya menunaikan sholat Idul Fitri beberapa hari lalu. Pesan yang disampaikan oleh sang khatib, yaitu Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat periode 2008-2018, sepertinya pas untuk mengatasi permasalahan saya.
Mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi DKI ini menyampaikan pesan perlunya kerja sama dan gotong royong dalam menyelesaikan persoalan. Selama 10 tahun memimpin provinsi yang memiliki penduduk terbesar di Indonesia ini, Ahmad Heryawan menaruh perhatian yang besar akan perlunya kerja bersama dan gotong royong.
Keberhasilan demi keberhasilan yang dicapai Jawa Barat dalam berbagai bidang banyak dipengaruhi oleh kerja bersama tersebut. Tak ada keberhasilan yang bisa dicapai dengan cara bekerja sendiri. Cara saya membangun mimpi dan harapan pun juga melibatkan banyak teman dan sahabat. Merekalah tempat saya berbagi dan meminta masukan atas segala permasalahan di lapangan.
Ahmad Heryawan, yang juga seorang doktor dari Universitas Padjajaran Bandung, juga mengulas pentingnya silaturahmi dalam mencapai tujuan. Silaturahmi adalah kegiatan yang sudah diajarkan kepada para sahabat sejak zaman Rasulullah. Dengan silaturahmi yang baik, banyak permasalahan bisa diselesaikan.
Dua hal inilah yang menurut saya menjadi kunci kesuksesan Ahmad Heryawan dalam memimpin Tanah Pasundan. Sebuah kesuksesan yang ditentukan oleh kerja bersama dan silaturahmi. Dua hal yang tampak sederhana namun berperan penting.
Pada akhirnya, saya pun menyimpulkan bahwa sukses yang bisa diraih oleh siapa pun mensyaratkan untuk fokus serta mampu bekerja sama dengan semangat silaturahmi. Seorang profesional semestinya mampu untuk fokus baik pada pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Adapun bekerja sama dan bersilaturahmi berperan untuk melengkapi aspek perilaku dalam profesionalitas seseorang.
Profesionalitas Dunia Birokrasi
Di dunia birokrasi hal ini juga berlaku. Fokus dan bekerja sama adalah indikasi profesional yang merupakan kunci keberhasilan birokrasi. Kita sering mengatakan profesional itu penting. Di sisi lain, tingkah laku kita ternyata amatiran, kita tidak mau fokus dan bekerja keras sepenuh hati. Dalam birokrasi, kerja amatiran ini masih sering terjadi, baik di kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah.
Padahal, jika merujuk Undang Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), diharapkan bahwa ASN dapat mewujudkan birokrasi kelas dunia. Birokrasi dengan layanan serba prima dan dipercaya penuh oleh masyarakat. Bukankah itu sesuatu yang masih jauh dari harapan?
Terkait kerja bersama dan bergotong royong, sudahkah perilaku ini dilaksanakan di unit-unit kerja kita? Sepertinya tidak mudah mewujudkan kerja bersama dan gotong royong di dunia birokrasi karena kerja individu masih terjadi di sana sini. Masih selalu saja ada yang ingin terlihat menonjol serta menganggap rekan kerja lain sebagai unsur pelengkap.
Bila kebiasaan tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, maka akan berpengaruh pada kinerja unit kerja dan berpengaruh pula pada kinerja organisasi secara keseluruhan.
Mengapa demikian? Bukankah gotong royong sudah menjadi falsafah bangsa ini sejak dulu?
Menurut saya, salah satu penyebab penting adalah terkait dengan tata laksana dan hubungan kerja di instansi pemerintah yang belum tergambar dengan baik. Kalaupun sudah digambarkan dalam bentuk tertulis, dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Mereka bekerja sendiri-sendiri dan tidak terkait satu sama lain.
Dalam hal fokus pada apa yang harus dikerjakan, untuk mewujudkan birokrasi profesional salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah kejelasan proses bisnis. Kejelasan proses bisnis ini akan menghasilkan prosedur kerja yang memudahkan para pelaksana untuk bekerja fokus dan memberikan kinerja yang terukur bagi organisasi.
Penutup
Saya kembali berpikir, kapan semua tata hubungan kerja bisa tergambar dengan baik? Bagaimana caranya agar semua pelaksana mulai dari level paling rendah hingga level paling tinggi bisa bekerja sesuai yang digambarkan tersebut? Tentu ini tak mudah, untuk mewujudkannya butuh konsistensi dan mensyaratkan kepemimpinan yang andal untuk mengawalnya.
Saat berbenah sudah di depan mata. Bekerja secara profesional tak bisa ditawar lagi untuk menghasilkan birokrasi kelas dunia. Mampukah birokrasi kita mewujudkan hal tersebut?
Berharap motto mewujudkan birokrasi kelas dunia tidak sekedar mimpi, tetapi bisa terwujud dalam kenyataan. Semoga birokrasi Indonesia makin hebat untuk menjadikan negara ini bermartabat di percaturan global dan persaingan yang kian ketat. Insya Allah.
Pegawai BPKP yang dipekerjakan di Kementerian PAN dan RB dan kandidat Doktor pada Program Doktor Ilmu Sosial di Universitas Pasundan. Seorang penulis buku dan sudah menulis lebih dari 20 buku.
Aamiin. Terima kasih untuk Pak Tri Susilo yang telah memberi semangat dan apresiasi buat saya untuk terus berkarya. Mohon dukungan selalu. Sukses buat Pak Tri. Aamin..
Kalau sudah senang/hobbi menulis, segala yg dilihat atau kejadian yg menarik menginspirasi jadi karya yang menarik. Tetap semangat ya Pak Adrinal, semoga menjadi teladan bagi generasi ASN.
Mohon pencerahan pak saya pernah denger bahwa arti profesional adalah segala sesuatu dihargai dengan uang.. Sedangkan bila hanya dilakukan karena minat dan murni dari hati disebut amatir..
Makanua dikenal turnamen kelas pro (profesional yang fokus pada reward) dan turnamen amatir (yg tidak fokus pada uang/reward).. Mohon koreksi bila kurang pas.
Betul Pak. Namun dalam konteks birokrasi profesional perlu beberapa penyesuaian. Bukankah sudah ada tunjangan kinerja sebagai bagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi menuju ASN yang profesional.
Tulisan yang sangat bagus, pak Adrinal,
Kami sebagai ASN tentunya sangat ingin bisa jadi pelayan yang bagus bagi masyarakat.
Namun terkadang keadaan yang dipaksa tidak mungkin terjadi, manakala saat proses adaptasi, sudah dimutasi lagi. Bahkan di tempat yang sama sekali tidak sesuai dengan kompetensi….
Begitulah birokrasi kita. Masih jauh dari harapan seperti yang didengung-dengungkan. Menjadi birokrasi kelas dunia tahun 2014. Tetap semangat Bu Dewi. Tak satu jalan menuju Mekkah.
Menjadi birokrasi kelas dunia tahun 2024. Ralat Bu Dewi