Setiap awal tahun instansi pemerintah di pusat dan daerah akan kembali disibukkan dengan ‘ritual’ penyusunan laporan keuangan (LK) dan laporan kinerja (Lakin). Setelah disusun, masing-masing instansi pemerintah akan menyampaikan LK kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sedangkan Lakin kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB).
Idealnya, kedua laporan ini akan menjadi acuan dalam mengukur penatakelolaan (governance) instansi pemerintah. Sebab, BPK akan memberikan predikat opini (audit opinion), sedangkan Kementerian PAN dan RB akan memberikan indeks pengelolaan kinerja (performance management index).
Dalam suasana kekinian penyusunan kedua laporan tersebut, saya melihat perlunya ide baru agar penyusunan LK dan Lakin ini tidak hanya berakhir sebagai ritual belaka. Setidaknya, pada tulisan ini saya mengusulkan kita perlu memberikan ‘tantangan baru’ kepada instansi pemerintah yang telah mendapatkan predikat opini WTP dan indeks pengelolaan kinerja A selama tiga tahun berturut-turut.
Tulisan saya ini juga relevan dengan hal yang sering dikeluhkan oleh Presiden Jokowi bahwa birokrasi Indonesia sedang terjerembab dalam ‘dunia SPJ’. Dalam pengertian lain, presiden kita ini melihat bahwa birokrasi kita lebih banyak mengerjakan hal-hal klerikal, tidak substansial, daripada hal-hal yang lebih bermanfaat bagi publik.
Ritual Penyusunan LK
Pandangan saya ini juga masih terkait dengan pernyataan Presiden Jokowi yang disampaikan pada acara Persiapan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2017
“Sekali lagi, itu harus jadi sebuah standar bagi kita semuanya. Tentu saya juga perlu ingatkan kepada semuanya, bahwa mendapatkan predikat WTP saja tidak cukup, tidak cukup,”.
Pernyataan presiden kita ini kembali mengingatkan bahwa penatakelolaan instansi pemerintah tidaklah cukup hanya dilihat dari keberhasilan mereka mendapatkan predikat opini WTP. Predikat opini WTP barulah standar minimal. Jika instansi pemerintah ingin dianggap berhasil dalam penatakelolaan, mereka mesti bergerak jauh (beyond) dari sekedar berhasil mendapatkan predikat opini WTP.
Sayangnya, sampai dengan saat ini, saya tidak melihat tindak lanjut dari birokrasi untuk menanggapi pernyataan presiden tersebut. Yang terjadi adalah kita kembali lagi ke ritual penyusunan LK yang akhirnya berujung kepada bertumpuknya pekerjaan administrasi yang berlembar-lembar (administrative paperwork).
Untuk menanggapi pernyataan presiden ini, saya mengusulkan instansi pemerintah yang sudah memperoleh opini WTP selama tiga tahun berturut-turut—para juara (champion)—mesti ‘naik kelas’ atau ‘dipromosikan’ untuk mendapatkan ‘tantangan baru’.
Mereka mesti ditantang untuk tidak sekadar berhasil mencapai opini WTP, tetapi mesti juga berhasil mencapai ‘efektivitas’ atas uang yang mereka belanjakan. Pada tantangan baru ini, para juara ini mesti mampu melihat lebih jauh manfaat produk-produk yang mereka hasilkan.
Tantangan baru ini akan memberikan keyakinan kepada publik bahwa para juara ini telah membelanjakan anggaran negara ataupun daerah secara tepat guna atau tepat sasaran. Artinya, mereka tidak sekadar membelanjakan anggaran dengan proses yang benar, tetapi juga sesuai dengan harapan (ekspektasi) masyarakat.
Tantangan baru yang beyond WTP ini tentunya tidaklah mudah. Sebab, pengukuran ketercapaian (result assessment) terkait aspek tepat guna dan tepat sasaran ini akan bersifat multiperspektif. Sebagaimana sering diulas di literatur, suatu keberhasilan yang diklaim oleh suatu instansi publik belum tentu bisa diterima sebagai keberhasilan menurut pihak lain, seperti pengguna layanan (users).
Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan karakteristik para juara yang sangat bervariasi dalam menyediakan layanan kepada masyarakat. Karenanya, mereka memerlukan ukuran-ukuran spesifik yang sesuai dengan konteks masing-masing.
Ritual Penyusunan Lakin
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, para juara ini juga diukur penatakelolaannya dengan indeks pengelolaan kinerja. Indeks ini mengindikasikan tingkat keberhasilan pengelolaan kinerja suatu instansi pemerintah yang bersifat cyclical, yaitu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan kinerja.
Untuk sekadar memperoleh indeks pengelolaan kinerja ini, para juara ini mesti melalui ‘checklist control’. Mereka akan dicek dalam suatu daftar apakah telah memenuhi berbagai aspek pengelolaan kinerja. Biasanya, daftar ini mencakup pembobotan dari proses perencanaan kinerja (35%), pengukuran kinerja (20%), pelaporan kinerja (15%), evaluasi kinerja (10%), capaian kinerja (20%).
Terdapat salah persepsi bahwa indeks ini mengukur ‘kinerja’ instansi pemerintah. Padahal, Kementerian PAN dan RB pada dasarnya lebih mengukur ‘pengelolaan kinerja’ daripada ‘kinerja’ instansi pemerintah.
Karenanya, tidak aneh jika indeks pengelolaan kinerja ini tidak selalu berelasi dengan kinerja suatu instansi pemerintah. Seperti halnya opini dari BPK yang tidak berelasi langsung dengan ada atau tidaknya korupsi di suatu instansi pemerintah, indeks pengelolaan kinerja tidak serta merta menunjukkan bahwa suatu instansi telah atau tidak berkinerja.
Itulah sebabnya para juara yang telah memperoleh opini WTP dari BPK dan indeks pengelolaan kinerja A dari Kementerian PAN dan RB tidak memiliki imunitas pemotongan anggaran (budget cut) dari pemerintah.
Harapan akan Diskursus Baru
Berdasarkan uraian di atas, saya mengusulkan agar para juara tidak menjadikan lagi penyusunan LK dan Lakin sekadar sebagai ritual. Mereka mesti fokus menghasilkan produk yang bermanfaat untuk publik. Langkah awalnya, mereka mesti mengintegrasikan LK dan Lakin.
Ide mengintegrasikan LK dan Lakin tentu akan menimbulkan pertanyaan baru, yaitu bagaimana memerankan fungsi BPK dan Kementerian PAN dan RB setelah para juara berhasil mengintegrasikan kedua laporan tersebut?
Pertanyaan ini menambah galau saya dengan berbagai model penilaian yang merambah negeri ini, yang akhirnya berakhir sebagai sebuah ilusi. Namun, saya mengajak berbagai pihak untuk memiliki kesadaran kolektif agar birokrasi kita bisa menanggapi pernyataan presiden kita.***
ASN pada Kementerian Keuangan. Tulisannya banyak berfokus pada area-area strategic planning, public budgeting, public policy, dan monitoring and evaluation. Hal itu tak mengherankan, karena latar belakang pendidikannya di Master Public Policy in Economics dari Crawford School of Public Policy, Australia National University.
Apakah saat ini sdh ada langkah2 kongkrit dari Pemerintah terkaig laporan2 tsb?? RPP terkait integrasi LPPD dan LAKIP di daerah hingga saat ini belum ada kabar juga. Bagitu sulitkah koordinasi antar Instansi/Kementerian? Apakah terkait anggaran yg melekat di kementerian tsb? Ungkapan Presiden yang tidak ada tindak lanjutnya. Bertahan dengan ego sektoral.
Birokrasi kita memang boros administratif. Hal2 yg hampir sama dikerjakan dlm berbagai bentuk.
Laporan memiliki beberapa bentuk : laporan kinerja(dulu lakip), laporan keuangan, laporan pelaksanaan pemda (lppd), laporan pertanggungjawaban (lpj) dll.
Audit ada beberapa kali : audit inspektorat (pemprov/kab/kota), BPK.
Boros administratif ini selayaknya dihemat dgn menyatukan hal2 yg sama tapi berulang.