Artikel ini merupakan resensi dari sebuah buku yang berjudul: “Grit: Kekuatan Passion dan Kegigihan”, yang ditulis oleh Angela Duckworth dan diterjemahkan oleh Fairano Ilyas. Buku ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2018.
—
Prolog
Orang bijak berkata bahwa manusia dilahirkan setara. Lalu mengapa ada orang yang bergelimang prestasi, sementara yang lain terpuruk dalam kegagalan? Untuk menjawab pertanyaan itu seringkali kita rawan terjebak pada naluri primitif, yaitu menyalahkan kepemilikan bakat alami.
Artinya, kita sama saja mengatakan bahwa sukses tidaknya seseorang sudah ditentukan sejak lahir oleh Tuhan. Apabila nasib manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, lalu untuk apa manusia berusaha dan bekerja keras? Betapa fatalisnya pendapat itu. Angela Duckworth menentang pemikiran semacam itu.
Meruntuhkan Mitos Bakat Alami Manusia
Dalam bukunya berjudul “Grit: Kekuatan Passion dan Kegigihan”, Duckworth menyarankan agar kita membuang jauh keyakinan bahwa bakat alami merupakan penentu utama kesuksesan manusia. Duckworth menyitir Nietzsche bahwa keyakinan tentang bakat alami manusia super itu tidak lain adalah sihir yang menipu kita.
Duckworth memaklumi jamaknya orang yang percaya pada mitos bakat alami. Ini lantaran orang sukses jarang menampilkan perjuangan-perjuangannya dalam meraih prestasi.
Akhirnya para penonton melihatnya sebagai manusia super yang terlahir berbakat dan sukses. Ibarat kita sedang melihat Lionel Messi menggiring bola dan bergumam, “Ia sungguh berbakat, ia adalah alien”. Pada saat yang sama kita mengesampingkan porsi latihan yang telah dilalui Messi.
Keyakinan tentang bakat alami berbahaya bagi orang yang merasa dirinya berbakat, begitupun bagi orang yang merasa dirinya kurang berbakat.
Bagi orang yang merasa dirinya berbakat, keyakinan tentang bakat alami akan membuatnya sombong. Ia akan terlena sehingga malas berlatih untuk memelihara bakatnya itu.
Sedangkan bagi orang yang merasa dirinya kurang berbakat, keyakinan tentang bakat alami akan membuat dirinya minder dan pesimis. Akhirnya tidak ada semangat lagi untuk terus mengasah ketrampilan.
Duckworth percaya bahwa keyakinan tentang bakat alami merupakan bibit dari suatu kegagalan. Oleh karena itu sejak awal buku ini tampak jelas bahwa Duckworth ingin sekali meruntuhkan mitos tersebut.
Lalu apa tawaran Duckworth? Bagi Duckworth, keberhasilan sangat ditentukan oleh grit atau ketabahan. Seseorang yang tabah adalah orang yang mampu mempertahankan hasratnya pada bidang kegiatan tertentu meskipun ia gagal berkali-kali.
Orang yang tabah tidak pernah menghindari kegagalan, melainkan ia punya kemampuan mengendalikan diri ketika kegagalan itu datang. Orang yang tabah adalah orang yang mau terus berlatih demi hasratnya untuk meraih cita-cita jangka panjang.
Bagaimana Mempertahankan Hasrat?
Hasrat bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil dari suatu proses sosial. Dengan demikian hasrat harus terus dipupuk agar tetap menyala dalam jiwa manusia. Menurut Duckworth, cara memupuk hasrat bisa dilakukan dengan 6 hal.
Pertama, mengenali minat. Kita harus mencoba berbagai macam kegiatan untuk mengenali minat kita. Setelah minat itu ditemukan, kita harus meneguhkan niat untuk mencapai prestasi tinggi di bidang tersebut.
Kedua, latihan terencana. Kita tidak akan berprestasi tanpa menerapkan latihan yang terencana dan konsisten. Latihan terencana dirancang untuk mangasah ketrampilan setiap hari. Latihan terencana dapat meningkatkan kemampuan kita pada bidang minat tertentu.
Ketiga, meredefinisi tujuan. Sebuah tujuan yang baik dapat memupuk hasrat kita dalam menggeluti minat tertentu. Duckworth menyarankan agar tujuan kita bermakna luas. Artinya tujuan tidak hanya untuk memuaskan diri sendiri, tetapi juga untuk memuaskan masyarakat luas.
Keempat, harapan. Kegagalan pasti menyakitkan. Namun hanya orang yang memiliki harapan yang mampu bangkit dari kegagalan.
Kelima, menentukan mentor atau pendamping. Dalam memperjuangkan sesuatu, manusia memerlukan masukkan dan dukungan. Seorang pendamping yang baik akan terus mengobarkan semangat pantang menyerah.
Keenam, berorganisasi. Organisasi adalah mesin sosial terbaik yang mampu menyatukan berbagai orang dalam sebuah semangat, tujuan, dan cita-cita. Berorganisasi dapat menjaga minat, mengobarkan naluri berkompetisi, dan semangat untuk terus berlatih.
Manfaat Ketabahan
Kobaran hasrat pada gilirannya akan menumbukan ketabahan dalam diri seseorang. Ketabahan menjadikan seseorang bekerja dan berlatih keras. Ketabahan membuat orang tertantang untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya.
Ketabahan memotivasi orang untuk berdiri bangkit kembali jika kegagalan datang mendera. Ketabahan membuat orang fokus pada suatu keterampilan. Ketabahan merupakan alasan mengapa orang mau berkorban demi cita-cita jangka panjang. Ketabahan adalah kunci kesuksesan.
Oleh karena itu Duckworth memperkenalkan konsep tentang Indeks Ketabahan. Indeks ini telah diuji coba pada berbagai institusi pendidikan dan perusahaan.
Indeks ini menjelaskan mengapa seseorang dapat menyelesaikan pendidikannya, sementara yang lain tidak. Indeks ini juga menjelaskan mengapa seseorang berprestasi tinggi, sedangkan yang lain terpuruk dalam kegagalan.
Duckworth berhasil membuktikan bahwa ketabahan tidak berhubungan dengan bakat alami—yang sering diasosiasikan dengan Intelegence Question (IQ).
Jika IQ menentukan prestasi, mengapa orang dengan IQ yang sama, bisa memiliki nasib yang berbeda? Atau mengapa orang dengan IQ rendah, bisa lebih berprestasi daripada orang yang punya IQ tinggi?
Dalam bukunya, Duckworth menyajikan banyak bukti ini. Beberapa orang yang kita kenal seperti ilmuwan Charles Darwin, CEO JP Morgan, pendiri Shopify, pendiri Amazon.com, ataupun aktor Will Smith. Mereka itu adalah para teladan ketabahan yang memiliki tingkat IQ biasa-biasa saja.
Epilog
Anda belum terlambat untuk memulai sebab ketabahan dapat dilatih. Duckworth berhasil meyakinkan pembaca bahwa modal bakat dan uang saja tidak cukup untuk mencapai sukses.
Lebih dari itu, kemampuan menghadapi tantangan, terus melakukan latihan, dan bangkit dari kegagalan adalah modal yang paling berharga. Ketabahan merupakan aset psikologis penting yang mengantarkan kita menuju prestasi.***
Peneliti di Sekretariat Jenderal DPD RI. Sedang merintis program “Lets Read Great Again” bersama beberapa aktivis literasi. Pernah menulis buku berjudul Mental Kolonial (2017). Beberapa tulisannya dapat dibaca di blog pribadi zamzammuhammadfuad.blogspot.com dan birokratmenulis.org.
0 Comments