Menakar Ulang Integritas Kita

by Agus Sulistiyo ◆ Active Writer | Mar 15, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Benarkah korupsi telah menjadi budaya kita? Rasanya tak mau percaya. Namun faktanya berita penggelapan uang rakyat sambung-menyambung seakan tak berujung.

Sejak Presiden Prabowo disumpah saja, kehebohan di ranah publik seperti patgulipat Denda Sawit, korupsi Timah, misteri Pagar Laut, kelangkaan Gas Melon, ribut Danantara, sampai tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu, tak henti membuat kita mengernyitkan dahi.

Itupun belum termasuk deretan daftar kasus lain yang belum tuntas-tuntas. Eh, tak tahunya muncul (lagi) skandal PT Pertamina dan penggeledahan rumah RK. 

Telunjuk masyarakat kemudian kembali mengarah ke birokrasi kita.
Apa yang kurang? Sistem pengawasan berlapis sudah kita terapkan, minimal three lines. Whistleblowing system juga ada. Bahkan dari awal, rasanya tak sedikit sistem dan prosedur sebagai ‘alat penyaring’ dibuat dalam proses seleksi calon abdi negara demi mendapatkan
birokrat yang berintegritas.

Lalu, kemana mantra pamungkas bernama integritas? Jangan-jangan, birokrasi kita memang memberi celah pupusnya modal utama penangkal korupsi itu. Mari kita coba uji diri kita sendiri.

Integritas: Abstrak namun Krusial

Integritas sering dimaknai sebagai keselarasan antara tindakan dengan nilai moral yang dianut—sebuah konsep abstrak namun krusial. Dalam konteks birokrasi, integritas tidak bisa direduksi sekadar karakter individu, melainkan harus dilihat sebagai produk interaksi antara nilai organisasi, sistem pengawasan, dan faktor eksternal.¹

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa lemahnya mekanisme pengawasan dan budaya permisif terhadap gratifikasi menjadi bukti kegagalan pendekatan konvensional dalam pemberantasan korupsi.²

Ironisnya, meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merumuskan regulasi gratifikasi secara detail, praktik “uang terima kasih” tetap subur dalam transaksi birokrasi.

Korupsi Birokrasi: Refleksi Kegagalan Penguatan Integritas

Peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024 (skor 37, peringkat 99)³ mengkonfirmasi darurat integritas di tubuh birokrasi. Kasus-kasus korupsi struktural tidak hanya mencerminkan kegagalan individu, tetapi juga sistem yang membiarkan praktik patronage, lemahnya reward-punishment, dan intervensi politik.⁴

Misalnya, tekanan untuk loyal kepada atasan sering mengalahkan prinsip meritokrasi, sementara kolusi dengan kontraktor proyek telah menjadi “ritual” penganggaran.⁵ Persoalan ini menuntut reformasi struktural—bukan sekadar kampanye moral—untuk menciptakan ekosistem yang mendorong akuntabilitas.⁶

Masalahnya, metode pengukuran integritas seperti asesmen psikologis dan pengawasan kinerja sering kali tidak dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai integritas dalam konteks birokrasi.

Penelitian menunjukkan bahwa integritas dapat ‘dipalsukan’ dalam situasi pengawasan, dan hal ini sungguh bertentangan dengan tujuan pengukuran itu sendiri.7

Selain itu, lagi-lagi, sifat permisif budaya organisasi dalam toleransi terhadap gratifikasi melemahkan efektivitas metode ini. Akibatnya, intervensi politik juga menambah kompleksitas dalam pengawasan dan pengukuran integritas.8

Self Assessment Integritas

Makin penasarankan dengan makhluk bernama integritas ini. Mengapa setelah bertahun-tahun menikmati dunia birokrasi, sensitivitas kita atas perilaku fraud, atau yang mendekati fraud, menjadi berkurang?

Mari kita bedah siklus ‘pendewasaan’ birokrat kita dari awal sebagai CPNS. Kita asumsikan proses seleksi telah benar-benar bersih. Tentunya contoh kasus dan analisisnya masih perlu diuji lebih dalam karena lebih banyak berdasarkan pengamatan dan intuisi Penulis.

Moral licensing

Sebagai CPNS, seseorang mungkin masih bersemangat mengkritisi kebijakan yang dirasa janggal. Namun, sistem birokrasi kerap mengubah idealisme ini menjadi pragmatisme. Contohnya, dalam proses penempatan awal, meski alasan kesehatan orang tua atau lokasi pasangan dianggap logis, tak jarang negosiasi dengan unit SDM melibatkan ‘transaksi tak kasatmata’.

Misalnya, seorang CPNS di Jawa dipindahkan ke Sumatra setelah ada ‘komunikasi intensif’ dengan pejabat terkait. Di sini, integritas tidak hanya diuji pada kesediaan menerima penempatan, tetapi juga pada sejauh mana kita menahan diri memanipulasi sistem untuk kepentingan pribadi.

Namun, persoalan tak berhenti di situ. Nepotisme dalam promosi menjadi kanker berikutnya. Kasus kepala dinas yang mengangkat keponakan sebagai staf ahli—meskipun kompetensinya dipertanyakan—adalah contoh klasik.

Praktik ini tidak hanya merusak meritokrasi,
tetapi juga mematikan motivasi ASN lain yang berprestasi. Akibatnya, budaya Asal Bapak Senang (ABS) menguat: loyalitas pada atasan dinomor-satukan, sementara inovasi dan keberanian menyuarakan kebenaran dipinggirkan.

Salah satu area abu-abu paling subur adalah pengelolaan anggaran. Pola ‘utak-atik anggaran’ dengan menaikkan proposal sebesar 10% bukan hanya soal kemalasan berhitung, melainkan bentuk normalisasi korupsi struktural.

Misalnya, proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah dianggarkan Rp100 juta, padahal harga pasar hanya Rp70 juta. Selisihnya? Dibagi untuk ‘kelancaran administrasi’.

Dinas luar (DL) yang seharusnya menjadi instrumen kerja, justru berubah jadi ajang rekreasi terselubung. Penentuan lokasi dan tanggal DL seringkali lebih mirip perencanaan liburan: memilih Bali di akhir pekan panjang, atau ‘sidak’ ke wilayah yang dekat kampung halaman.

Lebih miris lagi apabila surat tugas bisa diterbitkan back date untuk mengakomodasi kepentingan pribadi. Di sini, terjadi moral licensing: karena merasa telah bekerja keras, ASN merasa berhak menggunakan fasilitas negara sebagai kompensasi.

Belum lagi budaya ‘yang penting ada bukti laporan’. Seorang staf yang dinas ke Jakarta selama seminggu mungkin hanya benar-benar bekerja dua hari, sisa waktunya diisi jalan-jalan. Namun, laporan yang dibuat tetap detail, seolah-olah semua agenda terlaksana.

Erosi Integritas Harian

Masalah lain yang membuat kita malu adalah absensi fiktif. Jam masuk pukul 07.30 misalnya, hanya berlaku di atas kertas. Pegawai datang pukul 08.30, lalu ‘mengakali’ absen dengan meminta rekan merekam sidik jarinya. Ada pula budaya pulang cepat dengan alasan urusan keluarga, tanpa sanksi yang berarti.

Pada level yang lebih sistemik, kolusi dengan pihak eksternal menjadi rutinitas. Contohnya, proyek pembangunan jalan di desa dikerjakan oleh kontraktor fiktif milik kerabat pejabat.

Atau, mark-up harga pengadaan komputer dengan penggelembungan hingga 30%, dengan ‘uang rokok’ sebagai imbalan bagi panitia pengadaan. Praktik ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap birokrasi.

Epilog 

Ilustrasi penggerusan integritas di atas menunjukkan bahwa mengukur level integritas adalah hal yang menantang. Tentunya hal ini tidak mustahil jika dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan kultural-institusional.

Kasus korupsi di Indonesia menunjukkan perlunya dukungan sistem untuk memastikan integritas birokrasi dapat terjaga. Dengan demikian, semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, harus bersatu dalam reformasi struktur yang mendukung akuntabilitas, transparansi, dan integritas sebagai norma yang dijunjung tinggi.

Catatan Kaki

1). Muhtar, M., Winarna, J., & Sutaryo, S. (2023). Internal control weakness and corruption: Empirical evidence from indonesian local governments. International Journal of Professional Business Review, 8(6), e01278. https://doi.org/10.26668/businessreview/2023.v8i6.1278
2). Glover, W., Li, Q., Naveh, E., & Groß, M. (2017). Improving quality of care through integration in a hospital setting: A human systems integration approach. IEEE Transactions on Engineering Management, 64(3), 365-376. https://doi.org/10.1109/tem.2017.2682267
3). Transparency International, Corruption Perceptions Index 2024.
4). Labolo, M. and Indrayani, E. (2019). Bureaucratic reform and the challange of good governance implementation in indonesia. International Journal of Kybernology, 3(2), 25-42. https://doi.org/10.33701/ijok.v3i2.591
5). Prakasa, S. (2023). International fund assistance and it’s eradication of corruption in indonesia: International law perspectives., 413-420. https://doi.org/10.2991/978-2-38476-022-0_44
6). Liang, J. and Langbein, L. (2018). Linking anticorruption threats, performance pay, administrative outputs, and policy outcomes in China. Public Administration, 97(1), 177-194. https://doi.org/10.1111/padm.12562
7). Ding, F., Wen, B., & Shon, J. (2023). Frontline bureaucratic attitude toward administrative integration: Does organizational configuration matter?. Administration & Society, 55(7), 1255-1289. https://doi.org/10.1177/00953997231165995
8). Nachmias, D. and Rosenbloom, D. (2018). Measuring bureaucratic representation and integration., 39-50. https://doi.org/10.4324/9780429500954-4

 

0
0
Agus Sulistiyo ◆ Active Writer

Agus Sulistiyo ◆ Active Writer

Author

adalah seorang analis kinerja organisasi di salah satu Instansi Pusat. Saat ini ia tengah memperdalam pengetahuan dan keahliannya sebagai kandidat Doktor Administrasi Bisnis di Abu Dhabi University, UAE, dengan dukungan beasiswa LPDP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post