Empat belas Februari tahun 2024 menjadi puncak perayaan pesta demokrasi di Indonesia. Di hari itu, masyarakat pemegang hak pilih memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota Legislatif baik DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten.
Hasil hitung cepat yang keluarkan oleh beberapa Lembaga Survei menempatkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02, Prabowo dan Gibran sebagai pemenang Pilpres.
Pasangan capres-cawapres yang digadang-gadang menjadi pemenang kontestasi Pemilu 2024 tersebut didukung oleh banyak partai, di antaranya Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, PSI, dan Garuda.
Meskipun demikian, kita tentu harus menunggu hasil pemilu resmi yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum terkait siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden nantinya.
Parliamentary Threshold
Kebijakan Parliamentary Threshold merupakan aturan ambang batas perolehan suara yang menentukan suatu partai politik agar bisa masuk ke parlemen. Regulasi inilah yang mengatur tidak semua partai politik berhasil menempatkan wakilnya di parlemen.
Pasal 414 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan bahwa “Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”.
Kebijakan Parliamentary Threshold
terlihat seperti merugikan partai-partai kecil karena tidak dapat masuk
ke parlemen. Namun demikian, hakikat dari adanya Parliamentary Threshold ini
bertujuan untuk menyederhanakan partai politik.
Hal ini sudah ada sejak pasca pemilu tahun 2004. Pada saat itu terdapat 24 partai politik yang bertarung dalam pemilu. Jumlah ini dinilai terlalu banyak, sehingga muncul gagasan Parliamentary Threshold untuk menyederhanakan keragaman partai politik.
Kembali pada hasil Pemilu 2024, menurut hasil perhitungan cepat yang dikeluarkan oleh Litbang Kompas (update 19/02/2024 pukul 10.38 dengan data masuk 99.35 %), terdapat beberapa partai politik yang tidak akan lolos ke parlemen karena mendapatkan suara di bawah Parliamentary Threshold.
Di antara partai politik tersebut antara lain:
- Partai Buruh (0,68%),
- Partai Gelora (0,84%),
- Partai Kebangkitan Nusantara (0.23%),
- Partai Hanura (0,86%),
- Partai Garuda (0.30%),
- Partai Bulan Bintang (0,39%),
- Partai Solidaritas Indonesia (2,81%),
- Partai Perindo (1,38%),
- Partai Persatuan Pembangunan (3,87%), dan
- Partai Ummat (0,47%).
Tidak Memperkuat Sistem Presidensial
Menarik untuk dicermati terkait komposisi partai politik sebagai partai pengusung yang akan “sejalan” dengan program-program pemerintah nantinya dan partai politik yang akan menjadi “oposisi” pemerintah.
Diasumsikan komposisi partai pendukung pasangan Prabowo-Gibran di Parlemen sebesar 42,76%, yang terdiri dari Golkar (14,62%), Gerindra (13,50%), PAN (7,05%), Demokrat (7,59%).
Sedangkan prediksi yang akan menjadi oposisi di parlemen yaitu ada PDI Perjuangan (16,34%), PKB (10,71%), Nasdem (9.93%), PKS (8,41%) dengan total perolehan 45,39%. Maka, dari hitungan-hitungan tersebut partai politik yang menjadi “oposisi” akan lebih dominan di parlemen.
Resistensi yang besar dari parlemen tentu dapat dianggap sebagai “batu ganjalan” yang menghambat pelaksanaan dari program-program pemerintah (eksekutif) nantinya. Namun, di sisi lain, hal ini semakin memperkuat mekanisme checks and balances system antara pemerintah (eksekutif) dengan DPR (legislatif).
Menjaga keseimbangan dalam Sistem Presidensial
Pada hakikatnya, pemilihan umum serentak untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, dan legislatif, bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial.
Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan No. 14/PUU-XI/2013 terhadap Pemilihan Umum serentak, yaitu memperkuat sistem presidensial sesuai yang dianut oleh UUD 1945 pasca amandemen.
Penguatan sistem presidensial diharapkan mampu untuk
menghadirkan pemerintahan yang stabil, yakni dengan adanya dukungan
dari mayoritas fraksi di parlemen terhadap pelaksanaan program-program
yang telah direncanakan oleh pemerintah (eksekutif).
Namun demikian, kita juga perlu berhati-hati agar penguatan sistem presidensial tidak mengarah pada konsolidasi kekuasaan yang berlebihan di tangan eksekutif.
Pemerintah yang kuat penting untuk menjalankan tugas-tugasnya secara efektif, tetapi juga harus ada keseimbangan yang sehat antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kekuasaan oleh lembaga-lembaga ini adalah kunci untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Pemerhati Hukum dan Analis Kebijakan Ahli Pertama pada Pusat Pelatihan Pengembangan dan Kajian Hukum Administrasi Negara LAN RI). Dapat dihubungi pada email: [email protected]
0 Comments