Menakar Peluang Social Enterprise Sebagai Model Baru Ekonomi Kerakyatan

by Tri Wahyono ◆ Active Writer | Dec 9, 2021 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Prolog

Ada tiga aktor pembangunan yang, sementara ini, menjadi andalan. Ketiganya adalah sektor publik (government), sektor  privat (for profit), dan sektor sosial (non-profit). Padahal, sebenarnya sejak Tahun 1949 telah  diperkenalkan aktor keempat atau fourth sector dalam perekonomian, yaitu social enterprise atau biasa disebut bisnis sosial (for-benefit), hybrid dari ketiga aktor sebelumnya (Hunt, 1949).

Setelah lebih dari setengah abad terjadi stagnansi riset tentang social enterprise, barulah sejak tahun 2005 minat terhadap sektor ini berkembang pesat seiring dengan menjamurnya pebisnis baru dari kalangan milenial.

Apa itu social enterprise? Kenapa fenomena social enterprise menarik perhatian, dan bagaimana peluang social enterprise sebagai model ekonomi kerakyatan,  akan diulas dalam pembahasan yang ringan sembari minum kopi hingga mengantarkan pada simpulan di bagian akhir tulisan ini: model social enterprise sangat relevan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang digagas oleh founding fathers.

Apa Itu Social Enterprise

Social enterprise adalah jenis usaha yang menempatkan kemanfaatan sosial sebagai tujuan  utamanya. Social enterprise merupakan ide bisnis yang menggabungkan konsep dasar berusaha  untuk mencari keuntungan dan kewajiban untuk membantu lingkungan sosial, di mana hasil  keuntungan dari aktivitas bisnis akan digunakan untuk mendanai program sosial yang telah  direncanakan.

Social enterprise bukan organisasi non-profit, dan justru menjadi solusi alternatif atas ketergantungan organisasi non-profit kepada charity atau donasi, karena  kemampuan untuk menghasilkan profit membuat social enterprise lebih mandiri dan sustain dalam mengemban misi sosialnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi profit juga menunjukkan kepedulian pada isu-isu  lingkungan dan kemanfaatan sosial melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Akan tetapi, program CSR yang dilaksanakan masih  dalam kerangka maksimisasi profit.

Berbeda dengan state owned enterprise yang menjadikan  kemanfaatan sosial menjadi tujuan utama dan terintegrasi dalam proses bisnis dan pengambilan keputusan strategis perusahaan, social enterprise tentunya bukan bagian dari sektor publik  (government), namun turut membantu pemerintah dalam beberapa hal.

Diantaranya masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan kesenjangan ekonomi. Social enterprise mencari keuntungan dalam rangka mendukung misi sosial dan dilaksanakan secara  suka rela, bukan karena mandat undang-undang sebagaimana peran yang dilaksanakan oleh  pemerintah.

Best Practice: Grameen Bank

Best practice social enterprise merujuk pada kesuksesan Grameen Bank di Bangladesh menyalurkan kredit mikro tanpa kolateral kepada kaum perempuan produktif yang masuk dalam  kategori miskin. Grameen bank mengusung empat prinsip dalam bisnisnya:

  1. Kemiskinan tidak dibuat oleh orang miskin sendiri, tapi institusi dan kebijakan yang  melingkupinya;
  2. Amal bukanlah solusi kemiskinan karena membuat semakin  ketergantungan;
  3. Kemampuan orang miskin sama saja dengan yang lain, yang  membedakan hanya kesempatan mengeksplorasi diri;
  4. Semakin miskin, justru semakin  prioritas untuk menerima bantuan kredit

Meskipun empat prinsip itu berlawanan dengan  perbankan konvensional, namun Grameen Bank justru berhasil mencetak keuntungan bersih 16 juta USD  Tahun 2016, dan di tahun yang sama, founder Grameen Bank, Muhammad Yunus, memperoleh  nobel atas upayanya membangun ekonomi dan kemanfaatan sosial dari bawah.

Pasang Surut Ekonomi Kerakyatan

Ekonomi kerakyatan merupakan ekonomi yang dilatarbelakangi oleh semangat gotong royong  dan kebersamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau sila kelima dari Pancasila. Namun, dalam praktiknya, mewujudkan ekonomi kerakyatan di Indonesia masih jauh panggang dari api.

Sejarah mencatat, pada awal kemerdekaan, founding father kita  telah menyadari bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis, keduanya tidak cocok diterapkan  secara penuh di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia telah memiliki nilai-nilai  kebersamaan dan gotong royong yang tinggi.

Kemudian muncul pemikiran tentang  perekonomian bebasis kearifan lokal Indonesia, antara lain koperasi dari Muhammad Hatta dan  Marhaenisme dari Soekarno. Keduanya mengusung prinsip kebersamaan dan kemandirian ekonomi.

Meskipun saat itu corak ekonomi dan politik Indonesia lebih condong ke arah Uni Soviet dan China  yang beraliran sosialis, namun sampai dengan berakhirnya pemerintahan orde lama, perkembangan  ekonomi kerakyatan belum menggembirakan.

Indonesia bahkan dapat dikatakan di ambang kebangkrutan karena inflasi yang sangat tinggi, anggaran  defisit, serta hutang yang menumpuk. Meskipun sudah ada koperasi, namun kontribusi terhadap  perekonomian sangat terbatas.

Pada awal masa pemerintahan orde baru, para begawan ekonomi Indonesia berasal dari lulusan  Amerika yang mempelajari sistem dan pendekatan ekonomi pasar. Hal itu membawa pengaruh  pada arah kebijakan pemerintah yang diwarnai prinsip-prinsip ekonomi pasar.

Salah satunya  adalah membuka diri terhadap masuknya modal asing, menjadwalkan kembali pembayaran utang  luar negeri, serta membuka kran impor untuk menekan inflasi. Perekonomian terbukti berangsur  membaik, program pembangunan dirancang dalam jangka pendek dan jangka Panjang berupa Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan sebagainya.

Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan

Sayangnya, orde baru  diwarnai dengan merebaknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme imbas dari 35 tahun kekuasaan presiden yang cenderung sentralistik sehingga membuka peluang para elite untuk  mengambil keuntungan pribadi dan golongan.

Puncaknya adalah terjadinya krisis ekonomi Tahun 1997 yang berkembang menjadi krisis sosial  dan memaksa pemerintahan orde baru lengser. Krisis ekonomi dipicu banyaknya utang luar negeri yang jatuh tempo, namun Indonesia gagal bayar, menyebabkan  inflasi melambung tinggi dan nilai tukar rupiah tidak terkendali.

Sampai akhirnya keluar bantuan  likuiditas dari lembaga keuangan internasional, yaitu IMF untuk menyalurkan hutang jangka panjang berbunga rendah untuk menghadapi krisis ekonomi, yang dibarengi dengan serangkaian kebijakan deregulasi, privatisasi, dan mengurangi subsidi agar postur keuangan negara sehat.

Diketahui bahwa bantuan likuiditas tersebut diberikan kepada perbankan nasional yang diselewengkan oleh para pemiliknya sehingga menyisakan masalah yang belum terselesaikan  sampai dengan sekarang.

Terbukti, ekonomi pasar masih mendominasi pembangunan di Indonesia, disisi lain, ekonomi kerakyatan yang dipercaya sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal, gagal menyelamatkan dari keterpurukan ekonomi.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menyisakan masalah kesenjangan baik antara desa dengan kota, maupun antara yang kaya dengan yang miskin. Sampai akhirnya rezim orde baru digantikan semangat reformasi yang  ditandai dengan tiga kebijakan besar, yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan penguatan  akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan.

Patut diakui bahwa reformasi dan desentralisasi telah mengubah pola pembangunan  yang sebelumnya terpusat, menjadi tersebar bahkan sampai level pemerintahan desa. Tren positif  ini diharapkan mampu menumbuhsuburkan ekonomi kerakyatan yang mendasarkan tujuannya  menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kebijakan pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran, merupakan semangat baru untuk menciptakan  pemerataan ekonomi sekaligus kesejahteraan rakyat.

Social Enterprise: Model Baru Ekonomi Kerakyatan

Model bisnis social enterprise relevan dengan semangat gotong royong dan kebersamaan. Bahkan  model bisnis koperasi merupakan salah satu bagian dari pola  bisnis social enterprise.

Salah satu poin menarik dari social enterprise adalah karakteristiknya, yang sejak awal menyadari tujuan pendiriannya untuk misi sosial dan kelestarian lingkungan.

Grassl (2012) mengidentifikasi sembilan  model bisnis social enterprise, yang didasarkan pada tiga variabel yaitu misi yang diemban, model integrasi, dan target populasinya, antara lain:

1. Enterpreneur Support Model

Social enterprise menjual jasa berupa dukungan terhadap pelaku usaha yang berada dalam  target populasi . Contohnya, solar sister yang memfasilitasi ibu-ibu di Afrika untuk berbisnis membawa produk listrik ramah lingungan pada komunitasnya di pedalaman.

2. Market Intermediary Model

Social enterprise menjadi perantara pelaku usaha untuk memasarkan atau menjualkan barang  dan jasa kepada konsumen. Contohnya, social enterprise yang berperan sebagai pedagang besar membeli langsung produk petani untuk mengatasi sistem tengkulak yang merugikan.

3. Employment Model

Social enterprise menciptakan lapangan kerja dan membekali pelatihan kerja. Contohnya  Du’anyam yang memfasilitasi dan membuka lapangan kerja bagi ibu-ibu di Nusa Tenggara Timur untuk memproduksi anyaman bambu berkelas internasional.

4. Fee For Service Model

Social enterprise menarik bayaran secara langsung kepada pengguna layanan yang  memberikan manfaat secara sosial. Contohnya waste4change berbisnis layanan pengolahan sampah yang ramah lingkungan.

5. Low Income Client Model

Social enterprise memberikan layanan sosial yang fokus kepada pelanggan yang berasal dari  golongan ekonomi lemah. Contohnya Amartha.com berupa layanan kredit tanpa kolateral bagi UM.

6. Cooperative Model

Social enterprise yang menawarkan keanggotaan yang berbayar dan memberikan layanan kepada  anggota sesuai dengan kebutuhan bersama, contohnya adalah koperasi.

7. Market Linkage Model

Social enterprise memfasilitasi pertemuan antara penjual dengan pembeli untuk melakukan  transaksi jual beli barang dan jasa. Contohnya sirtanio.id yang menjadi e-commerce fokus memasarkan  hasil pertanian organik.

8. Service Subsidization Model

Social enterprise yang mendanai program sosialnya dengan menjual produk barang dan jasa.  Contohnya adalah sekolah yang menerapkan subsidi silang siswa dari keluarga mampu dan kurang mampu agar semua memiliki  kesempatan memperoleh pendidikan.

9. Organizational Support Model

Social enterprise yang membentuk anak perusahaan untuk menjalankan program sosialnya dan  mendanainya dari kegiatan bisnis. Contohnya perusahaan percetakan  buku, membentuk unit usaha social enterprise yang fokus mendorong budaya literasi kepada  masyarakat.

Sembilan variasi model social enterprise di atas memberikan gambaran bahwa peluang model  social enterprise yang sangat terbuka. Apakah model bisnis ini akan berkembang ke depan? Setidaknya untuk saat ini tren minat terhadap bidang ini terus mengalami peningkatan.

Social Enterprise dan Pengusaha Milenial

Social enterprise tidak dapat dipisahkan dari social enterpreneur sebagai pelakunya. Sering  digaungkan bahwa Indonesia akan menikmati bonus demografi, di mana sebagian besar  penduduknya didominasi oleh usia muda.

Sejalan dengan itu, tren terhadap pertumbuhan minat terhadap social enterprise juga semakin meningkat di Indonesia. Hal ini berkorelasi dengan  semakin bertambahnya pengusaha yang berasal dari generasi milenial.

Survey yang dilakukan  oleh British Council Tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat 34 ribu wirausaha sosial di  Indonesia, di mana 67 persennya berasal dari generasi milenial usia antara 18 sampai dengan 34  tahun. Menariknya, 40 persen dari jumlah itu adalah perempuan. Tren ini semakin menambah  optimisme perkembangan social enterprise ke depan.

Saat ini banyak dilakukan program pendampingan dan inkubasi terhadap munculnya social  entrepreneur yang baru. Tidak kalah dengan Grameen Bank di Bangladesh, Indonesia memiliki  Gojek yang terbukti menciptakan ribuan lapangan kerja, yang mengangkat founder-nya sebagai  Menteri Pendidikan.

Pujian terhadap peran Gojek dalam menumbuhkan UMKM saat pertemuan  G-20 Tahun 2021 menunjukkan bahwa potensi Indonesia sangat besar untuk mengkampanyekan ekonomi kerakyatan.

Lebih lanjut, hasil penelitian British Council mewawancarai kaum milenial,  mereka ingin menjadi wirausaha yang ada ‘meaning’-nya. Jika tidak ada ‘meaning’-nya, mereka  tidak mau. Triawan Munaf (2019) mengamini bahwa para wirausaha sosial tidak hanya  mengejar kepuasan materi, namun kepuasan batin.

Bahkan  dari program secangkir semangat, yaitu mentoring terhadap wirausaha sosial muda, terdapat lima ribu pendaftar untuk menentukan 20 peserta yang akan didampingi. Itu hanya dari satu program. Masih ada banyak program lainnya untuk mendukung tumbuhnya wirausaha sosial di Indonesia.

Epilog: Inilah Eranya

Sangat mungkin di masa depan, kita akan melihat social enterprise yang tumbuh menjadi  perusahaan besar yang bahkan mampu mengakuisisi perusahaan tambang yang selama ini  menjadi simbol industri padat kapital.

Dengan usaha hanya menyediakan kredit mikro yang tidak  mensyaratkan adanya kolateral bagi masyarakat miskin, bukan tidak mungkin Amartha yang baru  berdiri tahun 2010 akan mampu menyaingi bank-bank konvensional di Indonesia.

Bagaimana tidak, per  31 Desember 2020, Amartha mampu menyalurkan 3,18 triliun rupiah kredit kepada  569.417 perempuan yang tersebar di 18.900 desa di wilayah Jawa, Sulawesi, dan Sumatera. Apakah ini pertanda sudah jenuhnya sistem pasar yang selama ini hanya memihak pada pemilik modal, dan terlalu lama mengabaikan ekonomi lemah?

Secara alamiah, kekuatan generasi milenial  akan mengusung model bisnis sosial mendominasi perekonomian Indonesia. Ini adalah eranya social enterprise, menegaskan kembali bahwa pemikiran founding father kita tentang ekonomi  kerakyatan yang berbasis pada kebersamaan, inklusifitas, dan kemandirian adalah pilihan yang  benar.

Referensi:

http://www.wanitawirausaha.com/article/news/buku-panduan-berwirausaha-sosial-dari-dbs dan-ukmc-feb-universitas-indonesia http://www.acrn.eu/resources/Journals/JoE012012/Grassl_SE-Hybridity.pdf https://www.dbs.com/iwov-resources/pdf/indonesia/social-good/Berani jadi SE PORTRAIT-%2030%20Mar%202016-low.pdf

https://drive.google.com/file/d/1Nu6Cqmk-5CVSck9zZQbNHLPnbtDEQ3vC/view

Hunt, J. M. (1949). A social agency as a setting for research—The Institute of Welfare  Research.

Journal of Consulting Psychology, 13 (2), 69–81. https://doi.org/10.1037/h0060325

4
0

Penulis adalah seorang ASN dengan latar belakang pendidikan bidang Pengurusan Piutang Lelang Negara, Akuntansi Pemerintahan, Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Internal Audit, serta Public Policy yang sekaligus menjadi bekalnya dalam menekuni ketertarikannya terhadap ekonomi perilaku dan kebijakan publik. Tiga kata yang menggambarkan dirinya adalah kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan.

Tri Wahyono ◆ Active Writer

Tri Wahyono ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah seorang ASN dengan latar belakang pendidikan bidang Pengurusan Piutang Lelang Negara, Akuntansi Pemerintahan, Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Internal Audit, serta Public Policy yang sekaligus menjadi bekalnya dalam menekuni ketertarikannya terhadap ekonomi perilaku dan kebijakan publik. Tiga kata yang menggambarkan dirinya adalah kesederhanaan, keramahan, dan ketulusan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post