Bukan Aceh, melainkan Provinsi Lampung yang posisinya paling bawah di Pulau Sumatera, jika dilihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusianya (IPM). IPM merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur dan menjelaskan sejauh mana aksesibilitas masyarakat terhadap hasil pembangunan berupa perekonomian, pendidikan, dan kesehatan (hdr.undp.org). Maka semestinya, untuk melihat bukti pembangunan suatu wilayah, adalah IPM menjadi alat ukur yang objektif.
Akan tetapi, pada praktiknya hal yang negatiflah yang sering muncul di permukaan dan menjadi konsumsi publik. Merujuk pada tiga aspek IPM tersebut, perekonomian Aceh berada di level bawah se-Sumatera. Sebaliknya, indikator pembangunan pendidikan dan kesehatan di Aceh menempati posisi teratas.
Kenyataan ini mungkin sedikit menghibur para policy maker Aceh yang saat ini -dalam kacamata positif penulis- sedang berjibaku, berjuang membuktikan kinerja kepada sebagian masyarakat Aceh yang sedang kecewa dengan berita yang masih trending hingga saat ini, yaitu: Aceh Provinsi Termiskin di Sumatera (Mediaindonesia.com, Edisi 18/02/2021).
Label termiskin di Sumatera tersebut sejatinya telah disandang sejak dua dekade lalu (Cnbcindonesia.com, Edisi 18/02/2021). Berbagai stigma muncul baik dari dalam maupun luar Aceh yang menghakimi setiap individu, lembaga, tradisi bahkan ideologi yang dianut masyarakat Aceh sebagai faktor penyebab dan yang bertanggung jawab atas label kemiskinan itu.
Oleh karenanya, sebagai seorang Aceh, penulis merasa bertanggung jawab untuk mengajak sidang pembaca -khususnya yang mencintai Aceh- untuk berpikir objektif agar melihat kasus ini dari berbagai sudut pandang dan mengajak untuk memberikan kontribusi untuk Aceh tercinta sekecil apapun itu. Baik dalam bentuk ide, pencerahan kepada masyarakat, semangat, inovasi, dan apapun sebagai wujud pengorbanan atas klaim cinta Aceh yang masih terpatri di dada.
Data dan Fakta
Merujuk pada rilis data terkahir BPS 2020, IPM Aceh saat ini berada di angka 71,99 (lebih tinggi 0,05 poin dari IPM Nasional 71,94). IPM Aceh berada di urutan ke-11 setelah Jawa Barat, mengungguli provinsi-provinsi terbesar seperti Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur.
Bukankah ini prestasi? Ya, tentu saja bagi yang dapat meluangkan waktunya untuk menganalisis data yang sebenarnya namun tetap dari sumber yang sama dan diakui negara (Baca: BPS).
Lantas, pantaskah pemerintah dan masyarakat Aceh bangga dengan prestasi ini? Ya, boleh-boleh saja. Namun, tetap saja yang menonjol dari indikator IPM tersebut adalah dimensi standar hidup layak yang diukur dari pengeluaran perkapita Aceh di angka Rp 9,5 juta/tahun.
Angka pengeluaran per kapita Aceh tersebut menggambarkan posisi Aceh sebagai provinsi yang termiskin se-Sumatera saat ini. Sedangkan secara nasional Aceh bertengger di posisi ke-24 termiskin dari 34 Provinsi di Indonesia. Sementara, apabila dilihat dari statistik keuangan pemerintah provinsi (BPS 2020), Aceh mempunyai pendapatan tertinggi ke-6 setelah Papua dan Jawa Tengah dengan Total Rp 13,9 Triliun.
Dalam skala provinsi di Pulau Sumatera, Aceh merupakan provinsi yang terbesar pendapatannya. Untuk mengurus rakyat dengan total penduduk 5,3 juta jiwa Aceh mempunyai anggaran 13,9 trilun. Mari bandingkan dengan provinsi lain di pulau yang sama:
- Sumatera Utara mempunyai 13,8 triliun untuk 14 juta jiwa,
- Sumatera Barat 6,9 triliun untuk 5,5 juta penduduk,
- Riau 8,4 triliun untuk 6,9 juta penduduk,
- Kepulauan Riau 3,8 triliun untuk 2,3 juta penduduk,
- Jambi 4,6 triliun untuk 3,6 juta penduduk,
- Bengkulu 3,3 trilun untuk 1,9 juta penduduk,
- Sumatera Selatan 10,3 triliun untuk 8,6 juta penduduk,
- Kepulauan Bangka Belitung 2,3 triliun untuk 1,4 juta penduduk, dan
- Lampung 6,9 triliun untuk 8,5 juta penduduk.
Anggaran 13,9 triliun untuk mengurus 5,3 juta rakyat Aceh tersebut berada di luar dari anggaran pendapatan 23 kabupaten/kota lainnya dalam provinsi Aceh, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan.
Masing-masing level pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, memiliki tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini mengurangi angka kemiskinan di Aceh.
Fakta ini membuktikan bahwa memang dari 10 provinsi di Sumatera, Aceh belum berhasil menuntaskan kemiskinan secara signifikan. Terbukti dari rata-rata jumlah pengeluaran per kapita tahun 2020 yang berada di posisi terendah dari provinsi lainnya, di mana indikator ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Namun demikian, tidak dimungkiri bahwa di sektor pendidikan dan kesehatan Aceh mengungguli provinsi lainnya. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Aceh adalah 9,33 tahun (tertinggi kedua setelah Sumatera Utara) dan Harapan Lama Sekolah (HLS) Aceh mencapai 14,31 tahun (paling tinggi se-Pulau Sumatera). Sedangkan Angka Harapan Hidup (AHH) Aceh menempati urutan ke-3 setelah Riau dan Jambi dengan angka 69,93 tahun.
Pandangan dan Kontribusi Pemuda Aceh
Isni Radifa Ramli (2018) dalam artikelnya yang berjudul “Miliki Dana Otsus, Aceh Tetap Juara 1 Miskin, Kenapa?” menyatakan bahwa sebab miskinnya Aceh adalah perilaku pejabat (korupsi), program pengentasan pemiskinan yang tidak tepat sasaran, kurangnya pendidikan vokasional, serta budaya pesimistis dan malas sebagian masyarakat Aceh (aceh.tribunnews.com Edisi 24/12/2018).
Begitu pula Raman Dhawis Sandika (2019) dalam opininya yang berjudul “Akar Masalah Kemiskinan Aceh” menyimpulkan beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kemiskinan di Aceh, yaitu lemahnya iklim investasi, kondisi kultural masyarakat, serta lemahnya aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi kunci yang dikuasai oknum tertentu (aceh.tribunnews.com Edisi 05/08/2019).
Kedua penulis asal Aceh itu seakan sepakat bahwa akar kemiskinan Aceh tidak lepas dari komitmen policy maker dan kondisi kultural masyarakat, yang apabila dapat diperbaiki dengan serius, dapat mengubah wajah Aceh ke arah yang lebih baik.
Dua dari jutaan pemuda Aceh masing-masing berstatus mahasiswa/i dari UIN ar-Raniry dan Universitas Gadjah Mada ini saya yakin juga punya keprihatinan yang tinggi terhadap kondisi kemiskinan Aceh.
Namun demikian, keduanya menuangkan ide-ide konstruktif dan punya fikiran kritis yang solutif bagi pembangunan Aceh. Mereka melakukannya dengan hasil tarian pena yang bersumber dari pikiran objektif yang ilmiah. Menginspirasi setiap pembaca untuk lebih menggali potensi yang ada untuk berkontribusi bagi Aceh tercinta.
Sikap yang Benar
Tidak dimungkiri, timbulnya amarah terhadap kenyataan bahwa Aceh menjadi yang termiskin di Sumatera merupakan wujud cinta terhadap daerah ini. Namun, melihat Aceh dari satu sudut pandang saja menunjukkan sempitnya cara berfikir kita sebagai warga Aceh yang mengaku cinta Aceh.
Sekali lagi, sesama warga yang mengaku cinta Aceh tidak berlebihan kiranya apabila kita melihat Aceh dari multiperspektif. Berada di posisi tengah kemudian melihat setiap sudut dengan kacamata objektif adalah cara terhormat seorang awak nanggroe menilai tano kelahirannya, terutama dari sisi ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Hanya melihat dari satu sudut pandang saja tentu akan menimbulkan spekulasi yang tidak seimbang, yang pada akhirnya akan mengubah pola pikir kita yang tadinya independent menjadi berpihak.
Klaim keberpihakan terhadap rakyat adalah alasan klasik yang membutuhkan bukti, sebab policy maker juga mengklaim keberpihakannya terhadap rakyat. Bekerja untuk rakyat, karena digaji oleh rakyat, dan orientasinya adalah kesejahteraan rakyat.
Berkomentar, bersikap, menuangkan ide serta menginspirasi masyarakat dengan data dan analisis objektif merupakan refleksi nilai dari kalimat yang sarat makna dan populer bagi setiap awak nanggroe, yaitu “Udep saree..”.
Bersikap dengan cara terhormat dan menilai serta menjustifikasi dengan data dan analisis yang objektif, kiranya dapat mengantarkan kita pada akhir pepatah ini yaitu “matee sahid”.
ASN pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Republik Indonesia
0 Comments